Ekspansi Kebun Energi Ancam Hutan Alam Kalimantan Utara
Penulis : Aryo Bhawono
Hutan
Jumat, 01 Maret 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - PT Malinau Hijau Lestari teridentifikasi mengusahakan proyek kebun energi (hutan tanaman energi -- HTE) di atas hutan alam yang statusnya merupakan Areal Penggunaan Lain (APL) di Kalimantan Utara. Selain berisiko tinggi terhadap deforestasi, izin kebun kayu ini berisiko memicu konflik akibat ketimpangan kepemilikan lahan.
Hingga saat ini tercatat ada 31 perusahaan HTE di Indonesia dan 1 Perusahaan BUMN Perum Perhutani di Jawa yang berkomitmen akan menyuplai kebutuhan biomassa kayu di 52 PLTU di Indonesia. Dalam dokumen RUPTL, Perusahaan Listrik Negara (PLN) membutuhkan minimal 8 juta ton biomassa kayu setiap tahunnya untuk menggantikan 5 sampai 10 persen batubara.
PT Malinau Hijau Lestari (MHL), menurut analisis data Forest Watch Indonesia, mengelola kawasan seluas 19.045 hektare. Pengkampanye Hutan FWI Agung Ady Setyawan menyebutkan izin perusahaan ini dibebankan di atas hutan alam Kaltara tanpa adanya prinsip keterbukaan informasi dalam proses penerbitan izinnya. PT MHL juga tidak diketahui jenis perizinannya karena bergerak di bidang kehutanan, namun dibebankan di luar kawasan hutan atau areal penggunaan lain (APL). Seharusnya transparansi perizinan dibuka selebar-lebarnya agar publik dapat memastikan prinsip tata kelola dijalankan dengan baik.
“PT MHL merupakan anak perusahaan PT Mitrabara Adiperdana Tbk, perusahaan konsesi batubara di Malinau, yang kini merambah ke usaha komoditas kayu,” ucap Agung.
Menurut Sekretaris Green of Borneo, Darwis, proyek transisi energi seharusnya memenuhi prinsip keadilan dan berkelanjutan. Dia mempertanyakan proses penerbitan izin HTE di Kaltara yang tidak menerapkan Prinsip PADIATAPA (Persetujuan Berdasarkan Informasi di Awal Tanpa Paksaan).
Menurutnya seharusnya PADIATAPA menjadi standar minimal dalam penerbitan izin mengingat Kaltara kaya akan keragaman sumber daya masyarakat adat yang lebih awal hidup dan bergantung terhadap sumber daya hutan.
“Untuk mengatasi ancaman yang ada dari pembangunan HTE di Kaltara, perlu adanya langkah-langkah konkret mengawasi pembangunan HTE mulai dari penerbitan izinnya,” ucap dia.
Ketua Green of Borneo, Nelwan Krisna Wardhany, menambahkan HTE ini membawa ancaman serius karena kawasan di Kaltara, seperti Sebuku, sudah terbebani dengan izin. Sementara usulan pemanfaatan hutan untuk masyarakat masih menghadapi kendala, terutama karena ketidakpastian Rancangan Undang-Undang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.
Tak hanya itu, wilayah Kaltara terutama Malinau, selama ini sulit diakses. Pembangunan HTE bakal kian memeprsulit akses ini.
“Jangan sampai hanya motif untuk mengeksploitasi hutan alam Kalimantan Utara saja,” kata Nelwan.
Seharusnya di Kaltara pemerintah mendorong kesadaran lingkungan dan keterlibatan anak muda dalam gerakan lingkungan mengingat provinsi itu kaya hutan. Dorongan ini dapat dilakukan dengan keterbukaan informasi agar memperkuat advokasi lingkungan dan kesadaran masyarakat.
Manager Kampanye, Advokasi, dan Media Forest Watch Indonesia, Anggi Putra Prayoga, menyebutkan keberadanaan PT MHL menunjukkan pembangunan HTE hanya didominasi oleh korporasi kehutanan. Alhasil motifnya pun sekadar penguasaan hutan dan lahan semata.
Perusahaan HTE hanya ingin memanen kayu yang berasal dari hutan alam dan tidak serius melakukan penanaman tanaman energi.
“Ini bukan soal upaya pengurangan emisi, melainkan eksploitasi alam yang berkedok energi bersih di tengah stagnasi bisnis kayu bulat kehutanan Indonesia. Dan ini merupakan potret di mana pemanfaatan biomassa kayu dari pembangunan HTE tidak memperhitungkan dampak dan keberlanjutan suplai di tengah berbagai permasalahan konsesi kehutanan di Indonesia," kata Anggi.
Apalagi, menurut dia, komitmen Indonesia terhadap pengurangan emisi dari sektor energi kian melemah. Dewan Energi Nasional berencana menurunkan target bauran energi nasional menjadi 17 sampai 19 persen pada tahun 2025. Ambisi awalnya bauran energi nasional sebesar 23 persen yang dapat dicapai pada tahun 2025.
Salah satu strategi percepatan bauran energi terbarukan yang menjadi andalan adalah melalui substitusi energi primer dengan tetap masih menggunakan eksisting teknologi, yakni seperti program co-firing. Co-firing akan memanfaatkan biomassa kayu yang dihasilkan dari pembangunan hutan tanaman energi.