DPR Diprotes Karena Tak Serius Hadapi Gugatan Masyarakat Adat
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Masyarakat Adat
Senin, 04 Maret 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - DPR RI dinilai tidak serius menghadapi gugatan masyarakat adat terkait sikap abai Presiden RI dan DPR RI atas pembentukan undang-undang (UU) masyarakat hukum adat. Sebab, surat kuasa yang ditunjukkan kuasa hukum pihak DPR RI sebagai Tergugat I, dalam sidang lanjutan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN Jakarta, Kamis kemarin, tidak ditandatangani pemberi kuasa.
“Apa yang ditunjukkan oleh Tergugat I menunjukkan ketidakseriusan mereka menghadapi gugatan masyarakat adat atas pembentukan uu masyarakat hukum adat," kata Fatiatulo Lazira, salah satu kuasa hukum para Penggugat, dari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), dalam sebuah rilis, Kamis (29/2/2024).
"Bagaimana mungkin ada surat kuasa tapi tidak lengkap tanda tangan dari Pimpinan DPR selaku pemberi kuasanya?” imbuhnya.
Pernyataan tersebut juga disampaikan Fati di dalam persidangan, sebagai bentuk protes. Sebab Fati dan kuasa hukum lainnya para Penggugat menilai, tanpa dilengkapi tanda tangan Pimpinan DPR RI, surat kuasa Tergugat I tersebut tidaklah sah.
Protes tersebut ditanggapi Ketua Majelis Hakim PTUN dengan memerintahkan kepada kuasa hukum Tergugat I untuk segera melengkapi surat kuasa tersebut dan diserahkan dalam masa sidang berikutnya.
Meski surat kuasa pihak Tergugat I tidak sah, sidang ini tetap berjalan dengan memeriksa bukti surat tambahan dari Penggugat dan bukti surat pertama dari Tergugat I dan Tergugat II (Presiden RI). Segala keberatan kuasa hukum Penggugat dapat dituliskan di dalam kesimpulan akhir.
Dalam sidang tersebut, para kuasa hukum para Penggugat mengajukan beberapa bukti surat tambahan yang dianggap mampu menjelaskan dan mendukung argumentasi para Penggugat, bahwa sangat dibutuhkan ketersediaan produk hukum berupa undang-undang yang mengatur secara khusus tentang masyarakat adat.
"Sangat penting bagi jaminan kepastian hukum atas perlindungan dan pengakuan terhadap masyarakat adat yang selama ini sering pada posisi terancam keberadaannya, bahkan menjadi korban kriminalisasi serta perampasan lahan,” kata Fati.
Selain itu, kuasa hukum Penggugat juga meminta majelis hakim memerintahkan Presiden RI menghadirkan daftar inventarisasi masalah (DIM) terkait RUU Masyarakat Adat di muka persidangan.
Sebab, menurut Fati, Presiden selaku Tergugat II mengklaim sudah menugaskan beberapa menteri untuk menyusun naskah RUU Masyarakat Adat dan DIM. Permintaan tersebut, direspons oleh hakim ketua dengan meminta kepada Tergugat II untuk menghadirkan DIM dimaksud.
Sidang perkara dengan Nomor Perkara 542/G/TF/2023/PTUN.JKT akan dilanjutkan 2 pekan lagi, yakni pada 14 Maret 2024, dengan agenda sidang yaitu mendengar keterangan saksi dan atau keterangan ahli dari pihak para Penggugat serta penambahan bukti surat dari para pihak.
“Kami akan mempersiapkan saksi dan ahli dalam persidangan berikutnya. dimensi administrasi negara, masyarakat adat dan perundang-undangan menjadi fokus kami untuk menjelaskan urgensi pembentukan undang-undang tentang masyarakat adat,” ujar Judianto Simanjuntak, kuasa hukum lainnya para Penggugat.
Judianto mengatakan, pengajuan saksi dan ahli ini sangat penting. Hal ini untuk menguatkan alasan dan dasar pengajuan gugatan bahwa DPR RI dan Presiden RI bersikap abai dan diam atas permohonan yang diajukan oleh para Penggugat yaitu permohonan pembentukan UU tentang masyarakat hukum adat. UU ini, menurut Anto, merupakan kebutuhan hukum masyarakat adat di tengah maraknya pembangunan yang berdampak pada perampasan wilayah adat, penggusuran, kriminalisasi dan ancaman penghilangan identitas budaya masyarakat adat.
"Persidangan perkara ini mendapat dukungan dari publik, komunitas masyarakat adat di seluruh nusantara, dengan harapan agar majelis hakim yang memeriksa dan menyidangkan perkara ini mengabulkan gugatan Para Penggugat," ucapnya.
Sebelumnya, pada 25 Oktober 2023, DPR RI dan Presiden RI digugat oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yang diwakili Rukka Sombolinggi, sebagai Sekjen AMAN, bersama 8 individu masyarakat adat, ke PTUN Jakarta.
Gugatan ini muncul lantaran badan dan dan/atau pejabat pemerintah (onrechtmatige overheidsdaad) tersebut dianggap telah melakukan perbuatan melawan hukum, lantaran tak kunjung melakukan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat.
Meskipun RUU Masyarakat Adat telah masuk ke dalam daftar Program Legislasi Nasional Prioritas (Prolegnas Prioritas) DPR RI, RUU ini mandeg dan tidak pernah naik ke tingkat II (Paripurna) untuk menjadi RUU inisiatif DPR yang kemudian dibahas bersama pemerintah.
“Sejak 2009, RUU Masyarakat Adat berproses tanpa ada kepastian. Situasi tersebut yang mendorong perwakilan kelompok masyarakat adat mengajukan gugatan,” ujar Syamsul Alam Agus, Ketua Badan Pelaksana Nasional PPMAN, dalam sebuah pernyataan resmi, 25 Oktober 2023.