Maleo Tak Pernah Ingkar Janji
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Biodiversitas
Senin, 01 April 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Bisa jadi, di masa yang tak lama lagi, orang-orang berpikir bahwa maleo hanya nama hotel, jalan, atau mobil, yang dipakai karena kata itu indah. Tapi nama itu tak bermakna. Lalu jika orang-orang mencoba menelusuri asal katanya di Internet, mereka akan melihat burung dari Sulawesi dengan dengan tengkorak kepala khas yang kegunaannya masih misterius dari Sulawesi.
Maleo senkawor (Macrocephalon maleo) memang unggas endemik Sulawesi. Hewan ini sudah lama menyandang predikat flagship species. Namanya kerap dijadikan nama jalan, nama hotel, bahkan nama mobil. Sosoknya juga dijadikan ikon khas daerah tertentu. Masalahnya, di saat yang sama burung endemik Pulau Sulawesi ini juga menyandang status Kritis, menurut International Union for Conservation of Nature (IUCN).
Pandji Ariyo Kresna, Manager Program Lapangan di Aliansi Konservasi Tompotika (AlTo), Rabu (6/3/2024), bercerita, perlakuan terhadap maleo dan tempatnya berkembang biak masih terbilang buruk. Faktanya, ujarnya, tren populasinya terus merosot dan jumlah lokasi bertelurnya kini menyusut 82,4 persen sejak 2005 silam.
"Di mana-mana ada ikon maleo, tapi burungnya tidak ada. Lalu ada sebuah hotel bernama Meleo, tapi ironisnya hotel itu justru dibangun di atas nesting ground (tempat bersarang) maleo," kata Pandji.
IUCN menyebut tren populasi burung ini menurun (penilaian Agustus 2021). Justifikasinya, jumlah harian maksimum individu yang mengunjungi tempat bertelur telah menurun lebih dari 80 persen selama tiga generasi terakhir (Summers et al., dalam persiapan). Angka-angka ini disimpulkan berhubungan langsung dengan jumlah total populasi.
Menurut perkiraan, populasi maleo berjumlah 4.000-7.000 pasangan (Butchart & Baker 2000), setara dengan 8.000-14.000 individu dewasa atau total 12.000-21.000 individu. Untuk diketahui, maleo adalah salah satu jenis satwa paling setia pada pasangannya. Maleo jantan dan betina berpasangan seumur hidupnya.
Meskipun terdapat banyak proyek penelitian di berbagai tempat bersarang sejak saat itu, survei ulang terkoordinasi baru dilakukan baru-baru ini dan temuan awal tampaknya mengkonfirmasi berlanjutnya penurunan populasi yang cepat (AlTo 2018). Sangat sedikit lokasi bersarang yang dianggap aman, utuh, terhubung dengan habitat hutan dan aman dari pengumpulan telur (Dekker 1990). Padahal jika terdapat komitmen konservasi jangka panjang, jumlah individu dapat meningkat dengan cepat.
Kawasan utama yang memiliki proporsi populasi terbesar adalah Lanskap Bogani di sekitar Taman Nasional Bogani Nani Wartabone ditambah kawasan Tanjung Dako dan Tanjung Matop di sepanjang pantai di Sulawesi Utara (Argeloo 1994, Butchart & Baker 2000, Gorog dkk. 2005), sedangkan di Sulawesi Tengah lokasi-lokasi utama adalah Taman Nasional Lore Lindu (Butchart & Baker 2000), Cagar Alam Morowali dan Sungai Bosu di dekatnya, dan tiga lokasi di sebelah timur semenanjung (Bakiriang, Libuun dan Pintu Kubur) di Sulawesi Tengah (Butchart & Baker 2000).
Sebagian besar informasi berkaitan dengan situs-situs di Lanskap Bogani di Sulawesi Utara. Di sini, 50 persen dari lokasi peneluran yang diketahui (18/36) dinilai telah ditinggalkan pada 2003, dan lima dari 27 lokasi yang juga dinilai pada 1990-1991 masih aktif pada saat itu (Gorog et al. 2005).
Enam lokasi peneluran lainnya diperkirakan memiliki kemungkinan besar untuk ditinggalkan dalam waktu dekat (Gorog et al. 2005). Salah satu dari lokasi tersebut, Tanjung Binereang, telah menjadi subjek proyek konservasi yang signifikan yang melibatkan pembuatan cagar alam milik swasta lokal yang telah berhasil mencegah penelantaran (Clements 2009).
Lokasi-lokasi di dalam kawasan lindung lebih mungkin untuk bertahan dan jika tidak ada intervensi langsung melalui penjagaan tempat bertelur, kemungkinan besar akan ditinggalkan: 17/26 tempat bertelur di kawasan tidak dilindungi yang dinilai pada 2003 telah ditinggalkan dan 6 di antaranya berstatus "Sangat Terancam" dan dua di antaranya (yang berdekatan) berstatus "Terancam" (Gorog dkk., 2005).
Jumlah individu maleo sulit untuk diperkirakan, karena pasangan datang ke tempat peneluran secara berselang-seling dan betina bertelur sebanyak 8-12 butir telur per tahun (Dekker 1990) dalam periode waktu yang bervariasi.
Peta sebaran izin usaha pertambangan di habitat maleo di Sulawesi. Sumber: Auriga Nusantara.
Di Saluki, salah satu tempat bertelur utama di Taman Nasional Lore Lindu, 162 individu dewasa diperkirakan dari jumlah maksimum telur yang dihasilkan setiap bulannya selama 6 bulan penelitian pada 2015, berbeda dengan perkiraan 325-650 individu di lokasi tersebut pada 2001 (Yanto Samana 2015). Namun Butchart & Baker (2000) secara kasar memperkirakan 10-50 pasang di lokasi tersebut pada 2000, 20-100 individu dewasa.
Kedua penelitian tersebut mengindikasikan bahwa telah terjadi penurunan yang kuat, yang dibuktikan dengan penurunan jumlah telur yang dipanen secara dramatis dari lebih dari 30 butir setiap hari pada awal 1980-an menjadi hanya 1-2 butir per hari pada 1999 (Butchart & Baker 2000). Tindakan untuk melestarikan populasi ini jelas telah mencegah pengabaian lokasi tersebut (Yanto Samana 2015).
Ragam status dan kebijakan perlindungan maleo
Pada 1988 IUCN sudah melabeli maleo dengan status Threatened (Terancam), dan pada 1994 statusnya berubah menjadi Vulnerable (Rentan). Kemudian sejak 2002 statusnya berubah menjadi Endangered (Terancam Punah). Status tersebut bertahan hingga 2021 saat statusnya semakin buruk menjadi Critically Endangered (Kritis Terancam Punah).
Selain itu, secara global maleo juga masuk dalam Appendix I Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES). Appendix I artinya spesies yang terancam punah bila perdagangan tidak dihentikan. Perdagangan spesimen dari spesies yang ditangkap di alam bebas adalah ilegal (diizinkan hanya dalam keadaan luar biasa).
Secara kebijakan, maleo statusnya dilindungi berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian No. 421/Kpts/Um/2/1970, kemudian dicantumkan kembali dalam Keputusan Menteri No. 90/Kpts/um/12/1972. Dalam Keputusan Menteri Pertanian No. 757/Kpts/Um/12/1979, maleo kembali ditetapkan sebagai jenis dilindungi bersama-sama dengan seluruh family Megapodiidae.
Terakhir status dilindungi maleo ditegaskan berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, dengan revisi lampiran terakhir pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.106/MenLHK/Setjen/KUM.1/12/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi.
Selain itu, sejak 2008 maleo masuk dalam Peraturan Menteri Kehutanan No. P.57/Menhut-II/2008 tentang Arahan Strategis Konservasi Spesies Nasional 2008-2018 serta termasuk dalam 25 satwa prioritas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) No. 180/IV-KKH/2015 tentang Penetapan 25 Satwa Terancam Punan Prioritas untuk Ditingkatkan Populasinya Sebesar 10 persen pada 2015-2019.
Sebetulnya, perlindungan habitat maleo diamanatkan dalam Peraturan Presiden No. 18 Taun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.16/MenLHK/Setjen.1/8/2020 tentang Rencana Strategis KLHK Tahun 2020-2024, dan Peraturan Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem No. P.6/KSDAE/SET/3/REN.0/9/2020 tentang Rencana Strategis Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Tahun 2020-2024.
Salah satu titik tempat bertelur Maleo di wilayah yang dikelola AlTo, di Banggai, Sulawesi Tengah. Foto: AlTo
Dalam perkembangbiakannya, maleo membutuhkan lingkungan khusus. Mereka tidak mengerami telurnya, namun menyimpannya dalam tanah atau pasir yang memiliki suhu tertentu. Lokasi yang sesuai biasanya di dekat sumber panas bumi atau geothermal dan pada hamparan pasir di pantai.
Luas habitat maleo diperkirakan sekitar 10.998.236 hektare. Sayangnya, menurut dokumen Strategi Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Maleo Senkawor Tahun 2021-2030, saat ini hanya ada 25 lokasi peneluran maleo yang aktif. Tujuh lokasi di antaranya berada di luar kawasan konservasi, yakni berada di kawasan hutan produksi dan areal penggunaan lain.
Padahal sebelumnya, pada 2005, tercatat 142 lokasi peneluran maleo di seluruh Pulau Sulawesi, berdasarkan kompilasi berbagai sumber (Dekker 1990, Argeloo 1994, Butchart & Baker 2000, Gorok dkk. 2005). Dari 142 lokasi itu, lokasi peneluran yang berada di dalam kawasan konservasi hanya 50 titik saja, sedangkan sisanya, 92 lokasi berada di luar kawasan konservasi.
Apa yang diketahui tentang maleo
Menurut AlTo, maleo merupakan burung anggota family Megapodiidae, yang hanya tersebar di Pulau Sulawesi dan Pulau Buton. Maleo hidup di hutan dataran rendah dan pegunungan Sulawesi, sampai dengan ketinggian 1065 meter di atas permukaan laut. Maleo juga tinggal di habitat pesisir dan lahan basah saat berkembang biak.
Makanan maleo antara lain kacang-kacangan, buah-buahan, biji-bijian, siput, cacing, serangga dan invertebrata yang lain.
Belum diketahui seberapa panjang umur maleo yang hidup alami. Namun pernah ada satu ekor maleo peliharaan yang hidup lebih dari 44 tahun. IUCN memperkirakan panjang hidup satu generasi adalah sekitar 16 tahun.
Maleo jantan dan betina berpasangan seumur hidupnya, dan diperkirakan dapat berkembang biak kalau sudah mencapai umur dua tahun. Saat maleo siap untuk bertelur, pasangan maleo melakukan perjalanan (kebanyakan dengan berjalan kaki, bukan terbang) dari hutan tempat tinggalnya ke tempat bertelur bersama (komunal) di pesisir pantai atau lokasi sumber air panas.
Pasangan burung tersebut bergantian menggali lubang berukuran besar dalam tanah atau pasir. Satu butir telur saja yang dititipkan dalam pasir, kemudian ditutupi oleh pasir atau tanah, lalu burung jantan dan betina kembali ke hutan. Telur tersebut dierami oleh panas matahari di pantai yang hangat, atau panas bumi dari sumber air panas.
Burung jantan dan betina bentuknya hampir sama, sekitar 55-60 cm. Berat burung betina sekitar 1500-1800 gram. Maleo berwarna hitam, bagian bawah berwarna putih, dengan dada berwarna merah jambu muda. Kakinya berwarna hitam, dengan leher berukuran sedang dan ekornya berbentuk kipas. Paruhnya kuat dan berwarna pucat, dan sekitar matanya tidak berbulu dan berwarna oranye kekuningan. Maleo dewasa memiliki bentuk tulang tempurung kepala yang sangat unik yang fungsinya belum diketahui.
Maleo adalah burung pemalu dan pendiam, kecuali di sekitar tempat bertelurnya. Di tempat itu, berbagai jenis suara dapat didengar, termasuk meringkik, berkokok, dan meleter seperti bebek.
Hingga saat ini, belum diketahui seberapa sering pasangan maleo melakukan perjalanan ke tempat bertelurnya, atau berapa banyak telur yang akan dihasilkan seekor maleo betina dalam setahun. Ada yang memperkirakan bahwa sepasang maleo datang ke tempat bertelurnya, bertelur, dan kemudian tetap berada di wilayah tersebut untuk bertelur satu kali lagi sebelum kembali ke hutan sampai musim bertelur berikutnya.
Ada juga yang memperkirakan maleo betina bertelur sebanyak delapan butir per tahunnya, tapi itu hanya sebatas perkiraan saja. Hingga saat ini belum ada penelitian yang dilakukan untuk menentukan berapa buah telur yang dihasilkan maleo betina dalam sepanjang hidupnya, atau bagaimana polanya.
Burung maleo punya telur yang ukurannya terbesar dari seluruh megapoda yang ada, yaitu sekitar 11 cm x 6 cm, dan beratnya antara 175 hingga 270 gram. Bagian kuning telurnya juga terbesar dari seluruh telur megapoda yang ada. Besarnya ukuran kuning telur ini ini terkait dengan perkembangan fisik yang lebih baik anakannya sebelum menetas.
Anak maleo adalah anak megapoda yang paling berkembang bentuk dan fungsinya saat menetas. Yang mana dia dapat langsung terbang, mencari makan sesaat setelah menetas, dan tidak mendapatkan perawatan apa pun dari induknya.
Anak maleo dikenal mandiri. Ia muncul ke permukaan tanah hingga dewasa tanpa didampingi induknya. Foto: AlTo
Maleo diketahui bertelur sepanjang tahun, meskipun pada tempat tertentu sering ada musim yang menghasilkan jumlah telur yang lebih tinggi dari waktu-waktu lainnya. Karena ukuran telurnya yang sangat besar, diperlukan tenaga yang besar pula dan waktu yang lama bagi maleo betina untuk mengembangkan telur berikutnya di dalam tubuhnya. Beda dengan ayam peliharaan, misalnya, yang bisa bertelur hampir setiap hari.
Tempat bertelur bersama biasanya jauh letaknya dari hutan tempat tinggal maleo (sekitar 10 km atau lebih), sehingga kemungkinan kecil pasangan maleo akan sering melakukan perjalanan yang jauh. Selain itu, telah diamati pula bahwa maleo betina yang hidup dalam kandang, bukan di alam, berhenti makan pada masa bertelur, dan mengeluarkan suara yang khas.
Maleo dapat bersarang dan bertelur pada jenis tanah apa saja, sepanjang suhu tanah tersebut antara 32 hingga 38 derajat celsius, dan cukup gembur untuk digali. Dalam kisaran suhu ini, telur maleo terlihat dapat bertahan dari turun-naiknya suhu serta keragaman kelembaban tanahnya.
Telur Maleo memiliki kadar air yang rendah karena besarnya ukuran bagian kuning telur dan kecilnya ukuran bagian albumennya (putih telur). Dengan demikian, telur maleo rentan terhadap dehidrasi. Namun, karena tanah yang digunakan untuk mengerami telur tersebut memiliki kelembaban antara 1.6 persen hingga 45 persen, berarti telur alami agak rentan terhadap dehidrasi.
Kedalaman tanah tempat bertelurnya Maleo di alam sangat beragam. Di Tambun, Sulawesi Utara (daerah bertelur di hutan dekat mata air panas), maleo bertelur di kedalaman antara 20 hingga 85 cm. Kedalaman ini juga tergantung pada jarak terhadap mata air panas tersebut. Di Panua, daerah bertelur di wilayah pesisir kedalaman telur yang dikubur lebih dalam, yaitu sekitar 70 cm di bawah permukaan.
Diperkirakan, maleo memiliki sensor suhu pada paruhnya. Dengan mengamati maleo saat menggali tanah atau pasir dengan paruhnya, para peneliti berpendapat bahwa maleo mungkin menguji suhu tanah untuk menentukan kedalaman yang cukup untuk titipkan telurnya.
Pengeraman bisa berjalan antara 74 hingga 85 hari. Di Panua, waktu penetasan rata-rata mencapai 78,6 hari. Di daerah ini, dapat diamati pula bahwa saat cuaca dingin, sepertinya anak maleo “menunggu” (memperlambat metabolismenya) hingga cuaca cukup hangat untuk menetas. Bila disentuh, telur terasa menghangat sebelum menetas.
Anak Maleo tidak memiliki gigi pada paruhnya, seperti yang ada pada sejumlah burung lainnya, dan untuk menetas mendorong atau menendang dengan kakinya, bukan dengan mematuk. Untuk keluar dari telurnya anak maleo memerlukan waktu beberapa jam.
Setelah keluar, anakan Maleo mulai menggali/membuka lubang untuk muncul ke permukaan tanah. Anak Maleo tersebut menggali dengan mata tertutup, kaki di atas kepalanya, dan menekan tanah ke bawah. Untuk menggali hingga muncul ke permukaan anakan Maleo memerlukan waktu sekitar satu hingga dua hari. Begitu muncul di permukaan, anakan ini membuka matanya dan siap untuk terbang.
Sulit untuk meniru pola letakan telur secara alami, misalnya, bila sebutir telur digali dan dikuburkan kembali secara terbalik, anak yang ada dalamnya akan tumbuh untuk beberapa saat kemudian mati sebelum sempat menetas. Oleh sebabnya, sebaiknya telur maleo tidak dipindahkan tetapi dibiarkan menetas secara alami.