Penanganan Kasus Keracunan H2S PLTP Sorik Marapi Dinilai Janggal

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Energi

Jumat, 08 Maret 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Utara (Sumut) merasa ada kejanggalan pada penanganan kasus keracunan warga sekitar PT Sorik Marapi Geothermal Power (SMGP), yang diduga akibat gas H2S (hidrogen sulfida) yang keluar dari aktivasi sumur panas bumi perusahaan. Sebab, pasca-penerbitan siaran pers oleh PT SMGP, belum ada informasi lebih lanjut terkait pemulihan hak korban, dan utamanya tanggung jawab serius dari pihak perusahaan maupun upaya pemberian sanksi tegas atau pemidanaan oleh aparat penegak hukum.

Walhi Sumut kemudian melakukan penelaahan. Hasilnya, Walhi menemukan adanya ketidakselarasan informasi antara yang dimuat dalam siaran pers PT SMGP ataupun pernyataan para pejabat publik dan penegak hukum di beberapa media terkait kasus ini.

Dalam rilisnya, Walhi Sumut mengatakan, tidak ada upaya serius mitigasi risiko terhadap masyarakat sekitar pada saat kegiatan aktivasi sumur V-01. Walaupun tidak ada kebocoran pipa penyalur gas H2S yang terjadi, namun pada pelaksanaan aktivasi, berdasarkan penuturan masyarakat setempat, alat deteksi H2S yang letaknya di samping Kantor Desa Sibanggor Julu tidak berfungsi.

Kemudian, sosialisasi kegiatan aktivasi hanya didapatkan masyarakat sehari sebelumnya melalui alat pengeras suara di masjid desa. Sehingga, di hari pelaksanaan, masyarakat tidak mendapatkan informasi apapun jika terjadi kesalahan teknis pada aktivitas perusahaan.

Tampak wellpad V, PLTP Sorik Marapi, yang dioperasikan oleh PT Sorik Marapi Geothermal Power (SMGP), di Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara. Foto: Walhi Sumut.

"Kami juga menemukan kelalaian perusahaan dalam mengestimasikan dampak aktivasi terhadap masyarakat sekitar. Aktivasi sumur V-01 dilakukan pada jarak kurang lebih 700 meter dari titik terluar pemukiman warga di Desa Sibanggor Julu. Namun, perusahaan tidak menyebutkan dalam siaran pers-nya jika ada perbedaan ketinggian antara wellpad V yang jadi lokasi aktivasi dengan pemukiman," kata Rianda Purba, Direktur Eksekutif Daerah Walhi Sumut, Kamis (7/3/2024).

Rian menjelaskan, sumur V-01 berada di kisaran ketinggian 1.137 mdpl, sedangkan pemukiman berada pada kisaran ketinggian 951 mdpl. Lokasi pemukiman yang lebih rendah dari sumur aktivasi mestinya jadi perhatian khusus perusahaan.

Mengingat berat jenis H2S lebih tinggi dibanding berat jenis udara, sehingga menimbulkan potensi gas tersebut akan berkumpul ke arah wilayah yang lebih rendah. Dalam konteks ini, kata Rian, PT SMGP cenderung abai pada potensi merambatnya gas H2S pasca-proses aktivasi ke wilayah pemukiman di bawah bukit.

Peta yang memperlihatkan jarak dan ketinggian, antara lokasi wellpad V PLTP Sorik Marapi dengan pemukiman Desa Sibangor Tonga. Sumber: Walhi Sumut.

Rian juga menyoalkan pernyataan Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Mandailing Natal Muksin Nasution, yang menyebut, selain korban yang dirawat di rumah sakit, ada juga beberapa korban dirawat di puskesmas dan klinik. Muksin juga bilang telah mengantisipasi dampak lanjutan dari kebocoran gas beracun, dan lebih dari 300 warga di desa terdampak dievakuasi pemerintah ke pengungsian.

"Berdasarkan temuan kami di lapangan, pernyataan Kepala BPBD Mandailing Natal tidak benar. Tidak ada tempat pengungsian khusus atau shelter bagi para korban terdampak PLTP Sorik Marapi, baik di kawasan Sorik Marapi, maupun di tempat lain," kata Rian.

Adapun ratusan masyarakat terdampak selain yang menjalani perawatan di rumah sakit, kata Rian, mengungsi ke rumah pribadi atau keluarga masing-masing di kecamatan lain, seperti ke Kecamatan Panyabungan. Menurut Rian, hal ini menunjukkan bahwa pernyataan pemangku jabatan seperti Kepala BPBD tidak dapat dipertanggung-jawabkan keabsahannya, dan terkesan menutupi fakta lapangan.

"Bermain kata di atas penderitaan korban adalah tindakan tidak bermoral," kata Rian.

Indikasi pelanggaran hukum

Dari temuan-temuan tersebut, Walhi Sumut menilai ada indikasi pelanggaran hukum yang dilakukan PT SMGP. Yang pertama, melanggar Undang-Undang (UU) No. 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi.

Di Pasal 48 undang-undang ini menyebutkan, Pemegang Izin Pemanfaatan Langsung wajib memahami dan menaati peraturan perundang-undangan di bidang keselamatan dan kesehatan kerja, serta perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan memenuhi standar yang berlaku.

Dalam hal ini, imbuh Rian, PT SMGP tidak memahami dan menaati hal-hal yang dituangkan di dalam Pasal 48 itu, khususnya mengenai undang-undang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Timbulnya korban akibat keracunan massal yang terjadi setelah aktivasi sumur mengindikasikan bahwa adanya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup serius yang terjadi karena aktivitas tersebut. Hal ini bertentangan dengan undang-undang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Selain itu, dalam Pasal 50 UU No. 21 Tahun 2014 ayat (1) disebutkan, setiap orang pemegang izin pemanfaatan langsung yang tidak memenuhi atau melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 huruf b dapat dikenai sanksi administratif. Rian berpendapat, dengan demikian, PT SGMP harusnya dapat dijatuhi sanksi administrasi menurut pasal ini, dikarenakan mereka lalai dalam menjalankan hal yang diamanatkan di dalam Pasal 48 UU No. 21 Tahun 2014 yaitu melakukan pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi kegiatan pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan fungsi lingkungan hidup.

"Sanksi administratif yang harusnya dapat dikenakan diatur di dalam Pasal 50 ayat (2) antara lain peringatan tertulis, penghentian sementara seluruh kegiatan pengusahaan panas bumi untuk pemanfaatan langsung, dan/atau pencabutan Izin Pemanfaatan Langsung," ujar Rian.

Kemudian yang kedua, melanggar UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Fakta bahwa jatuhnya korban karena diduga keracunan gas beracun H2S, menurut Rian, harusnya juga sudah bisa menjadi dasar dijatuhkannya sanksi administratif yang diatur di dalam UU No. 32 Tahun 2009 yang sudah dirubah oleh UU No. 6 Tahun 2023.

Di dalam undang-undang ini, kegiatan usaha yang menyebabkan suatu dampak terhadap lingkungan saja dapat dikenakan sanksi administratif sesuai dengan yang sudah disebutkan di dalam Pasal 82B ayat (2), yang mana setiap orang yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 dikenakan sanksi administratif. Sanksi administratif ini diatur di dalam Pasal 82C yang antara lain berupa teguran tertulis, paksaan pemerintah, denda administratif, pembekuan perizinan berusaha dan juga pencabutan perizinan berusaha.

"Selain itu, aparat kepolisian seharusnya dapat melakukan pemidanaan terhadap pihak-pihak yang bertanggung jawab," ujarnya.

Hal ini dikarenakan di dalam Pasal 99 ayat (2) dikatakan, setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dan apabila perbuatan sebagaimana dimaksud mengakibatkan orang luka/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat dua tahun dan paling lama enam tahun dan denda Rp2 miliar hingga Rp6 miliar rupiah.

"PT SMGP lalai untuk mencegah terjadinya keracunan massal ini dan seharusnya dapat ditindaklanjuti lebih lanjut untuk pemidanaan, mengingat jumlah korban yang terdampak tergolong banyak," ucap Rian.

Lokasi tambang panas bumi dekat dengan ruang hidup masyarakat

Walhi Sumut juga mendapat temuan lain di luar konteks kasus keracunan massal. Pertama, wellpad V berada dalam kawasan Taman Nasional Batang Gadis. Rian menganggap, status hukum wellpad ini patut dipertanyakan. Sebab belum ada informasi jelas terkait hal ini baik dari perusahaan maupun KLHK.

Yang kedua, lokasi operasi PT SMGP sangat berdampingan dengan ruang hidup masyarakat. Misalnya jalur pipa dari ke 6 wellpad melintang bebas di tepi jalanan umum menuju power house. Umumnya, terdapat 3 buah pipa di lintasan, satu buah pipa letaknya di bawah, dan dua lagi berdampingan di atas.

Kondisi pipa di bawah sangat buruk, berlubang, berkarat, dan nampaknya tidak digunakan lagi. Sedangkan pipa aktif di atasnya bersuhu tinggi, akan terasa panas jika disentuh. Jalur pipa ini melintang bebas dan bersentuhan langsung dengan hidup masyarakat.

Ada juga beberapa masyarakat yang memanfaatkan untuk memungut sisa kawat atau besi tak terpakai di sekitar jalur pipa tanpa alat pelindung diri dan mengetahui risiko yang terjadi. Ini tentu sangat berbahaya, mengingat aktivitas masyarakat sangat tinggi, mereka yang sebagian besar petani harus melewati jalur pipa jika ingin ke ladang, belum lagi para anak-anak yang asik bermain di sekitar pipa tersebut.

Atas temuan-temuan tersebut, Walhi Sumut mendesak Mabes Polri untuk mengevaluasi total proses reka ulang yang telah dilakukan oleh Polres Mandailing Natal. Mereka juga meminta Komnas HAM untuk turun ke lapangan dan melihat kondisi korban, memenuhi tuntutan dan kebutuhan korban, serta untuk segera memproses segala bentuk pelanggaran HAM yang dilakukan oleh PT SMGP.

Kemudian, menuntut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK MIGAS) untuk meninjau ulang izin operasi PT SMGP. Walhi juga menuntut Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dan Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal untuk mengambil langkah konkret dalam hal pencegahan, perlindungan, dan pemulihan korban atau masyarakat terdampak aktivitas operasional PT SMGP.

"Mendesak pihak-pihak yang telah disebutkan di atas (Mabes Polri, Komnas HAM, Kementerian ESDM, SKK Migas, Pemprov Sumatra Utara, dan Pemkab Mandailing Natal) untuk bersama-sama mengusut ulang, memproses setiap indikasi pelanggaran hukum, serta menetapkan tersangka," tutur Rian.

"Hal ini bertujuan agar dapat memberi efek jera terhadap PT SMGP, memberi rasa aman dan nyaman untuk warga sekitar, dan untuk mencegah agar kejadian seperti ini tidak terulang kembali," imbuhnya.