LIPUTAN KHUSUS:

Uji Tuntas Bisnis, HAM, dan Lingkungan Bencana Sumatera: Riset


Penulis : Kennial Laia

Reformasi penilaian di bidang bisnis, HAM, dan lingkungan penting untuk meminta pertanggungjawaban perusahaan.

Lingkungan

Kamis, 18 Desember 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Masyarakat sipil mendesak pemerintah untuk melakukan uji tuntas bisnis, hak asasi manusia (HAM), dan lingkungan hidup setelah bencana longsor dan banjir bandang yang menghancurkan sejumlah wilayah di Aceh dan Pulau Sumatra. 

Dalam laporan terbarunya, Pusat Studi Ekonomi dan Hukum (CELIOS) dan Pusat Studi HAM Universitas Islam Indonesia (Pusham UII) menyatakan, terdapat kebijakan negara dan keputusan politik yang tidak akuntabel dalam tata kelola bisnis, HAM, dan lingkungan di wilayah bencana tersebut. 

Studi tersebut juga mengungkap, sejumlah perusahaan yang menjadi sampel penelitian terafiliasi dengan korporasi yang diduga, oleh Kementerian Lingkungan Hidup, berkontribusi pada situasi bencana di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat, salah satunya PT United Tractors Tbk. 

“Kalau kita masih ingat, dua dari delapan perusahaan yang dipanggil Kementerian Lingkungan Hidup sebagai terduga pelaku pengrusakan hulu sungai di Sumatra, yakni PT Agincourt Resources dan PT Danusa Tambang Nusantara, merupakan anak perusahaan dari PT United Tractors Tbk. Perusahaan tersebut mempunyai 95 persen saham di PT Agincourt Resources dan 60 persen saham di PT Danusa Tambang Nusantara,” kata Direktur Hukum CELIOS, Mhd Zakiul Fikri. 

Situasi bencana banjir di Sumatera Utara. Foto: BPBD Sumatera Utara.

Temuan laporan tersebut mengungkap, selama periode 2020–2025, pencemaran lingkungan menjadi isu paling dominan dengan 354 kasus, mencerminkan tingginya tekanan aktivitas bisnis terhadap daya dukung lingkungan, disusul kekalahan hukum perusahaan di peradilan (195 kasus) dan sanksi administratif diberikan pemerintah (172 kasus). Adapun perusahaan yang ditelisik berjumlah 15 perusahaan dan melantai di bursa saham dan masuk dalam daftar LQ45. 

Zakiul mencatat, dari 354 kasus tersebut, 82 temuan terjadi di PT United Tractors Tbk yang tersebar pada berbagai dimensi risiko HAM, lingkungan, K3, sosial, hukum, dan rantai pasok. 

“Padahal, perusahaan tersebut dua tahun terakhir memperoleh penilaian PROPER (Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup) dengan status emas yang diberikan Kementerian Lingkungan Hidup,” kata Zakiul. 

Belum ada tanggapan atas laporan tersebut dari United Tractors maupun KLH.

Penilaian tersebut merupakan capaian tertinggi standar kepatuhan terhadap tata kelola lingkungan hidup di Indonesia. “Dengan demikian, temuan ini memperlihatkan kesenjangan yang nyata, bahwa citra emas perusahaan di atas kertas justru berbanding terbalik dengan kenyataan eksternalitas negatif yang dihadapi masyarakat terdampak di lapangan,” kata Zakiul. 

Dari sisi HAM, laporan tersebut menilai kinerja 15 perusahaan energi yang tercatat memiliki saham unggulan di Indonesia. Para peneliti menemukan, 66,7 persen perusahaan energi dengan saham unggulan di Indonesia memperoleh skor buruk dalam moral dan integritas bisnis, HAM, dan lingkungan. 

Hal ini terlihat dari luasnya konflik sosial dan pelanggaran HAM berulang di area operasional perusahaan. Di antaranya intimidasi warga (150 kasus), blokade jalan (122 kasus), dan sengketa agraria (118 kasus). Sementara, lemahnya perlindungan pekerja tercermin dari kecelakaan alat berat (87 kasus) hingga menyebabkan kematian (83 kasus).

“Perusahaan-perusahaan ini tidak terlepas dari persoalan sosial, lingkungan, dan tata kelola, mencakup masalah pencemaran lingkungan, praktik intimidasi warga, sengketa agraria, hingga menjadi aktor kunci penyebab banjir dan longsor di Sumatera beberapa pekan terakhir,” kata peneliti Pusham UII Sahid Hadi. 

“Kesenjangan ini menunjukkan bahwa bencana di Sumatera sesungguhnya merupakan bukti nyata tentang betapa mahalnya biaya sosial dan kemanusiaan dari praktik bisnis yang tidak menghormati HAM dan lingkungan serta lemahnya pengawasan, mitigasi, dan kinerja perlindungan HAM dari negara,” katanya.  

Per 15 Desember 2025, korban meninggal akibat bencana Sumatera mencapai 1.016 jiwa dan 212 masih hilang. Puluhan ribu rusak, memaksa 1,1 juta jiwa mengungsi. 

Studi lain November lalu menaksir kerugian akibat bencana di tiga provinsi tersebut mencapai Rp 68,67 triliun. Angka tersebut jauh lebih tinggi dari kontribusi Penjualan Hasil Tambang (PHT) per Oktober 2025 sebesar Rp 16,6 triliun. Sementara Penerimaan Negara Bukan Pajak tambang hanya Rp 929 miliar rupiah pada Agustus 2025. 

Selain itu, kontribusi fiskal seperti Dana Bagi Hasil perkebunan kelapa sawit dan pertambangan mineral dan batubara sangat kecil, sebesar Rp 12 miliar untuk kelapa sawit dan Rp 56,3 miliar untuk pertambangan mineral dan batubara. 

“Artinya, pendapat-pendapatan tersebut tidak sebanding dengan kerugian bencana ekologis yang ditanggung masyarakat,” kata peneliti CELIOS, Muhamad Saleh.  

“Dari peristiwa bencana Sumatera kita belajar bahwa proyek-proyek pembangunan ekonomi yang agresif memiliki tingkat destruksi yang tinggi. Karena itu, penilaian atau uji tuntas bisnis, HAM, dan lingkungan harus direformasi dan diterapkan terhadap pembangunan ekonomi ke depan,” katanya. 

Reformasi kebijakan ini penting, sebab saat ini empat dari lima instrumen bisnis, HAM, dan lingkungan yang ada masih bersifat sukarela, belum memiliki mekanisme verifikasi lapangan, dan tidak membuka hasil penilaian ke publik.

"Akibatnya, mutu penilaian risikonya menjadi tidak dapat dipertanggungjawabkan karena tidak mampu mendeteksi dampak dan risiko HAM dan lingkungan secara akurat," kata Saleh. 

“Pemerintah juga harus melakukan uji tuntas HAM dan lingkungan terhadap seluruh perusahaan yang terafiliasi situasi bencana di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Dan berikan sanksi tegas berupa penghentian aktivitas bisnis sementara atau permanen jika terbukti melakukan pelanggaran deforestasi dan alih fungsi lahan di wilayah tersebut,” ujarnya.