LIPUTAN KHUSUS:

Laporan Investigasi: Ada Jejak PT TPL di Balik Bencana Sumatra


Penulis : Kennial Laia

Masyarakat sipil menuntut agar PT TPL segera menjalani audit dan dicabut izinnya secara permanen.

Lingkungan

Selasa, 23 Desember 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  PT Toba Pulp Lestari diduga menjadi salah satu dalang dari bencana ekologis yang melanda wilayah Batang Toru, Sumatra Utara, November lalu. Aktivitas perusahaan industri kehutanan dan bubur kertas tersebut disebut telah menyebabkan deforestasi dan kerusakan di hulu sungai yang memperparah dampak dari curah hujan ekstrem di wilayah tersebut. 

Investigasi terbaru oleh Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) mengungkap, sebagian besar dari 64 anak sungai dan delapan hulu utama yang menjadi sumber utama Aek Sigeaon di Kecamatan Aek Raja dan Sipoholon mengalami kerusakan berat. Aek Sigeaon merupakan anak sungai utama Batang Toru. 

Ketua KSPPM Roki Pasaribu mengatakan, Sektor Aek Raja merupakan salah satu dari lima sektor wilayah konsesi PT Toba Pulp Lestari di kawasan Tapanuli Raya, dengan konsesi seluas 45.562 hektare. 

“Keberadaan konsesi PT TPL di wilayah hulu yang menyimpan banyak sumber air bagi Aek Sigeaon, yang selanjutnya mengalir ke Sungai Batang Toru, menjadi salah satu faktor utama terjadinya kerusakan ekosistem ini,” kata Roki Pasaribu dalam peluncuran laporan investigasi “Jejak PT Toba Pulp Lestari dalam Bencana Ekologi Sumatra, Senin, 22 Desember 2025. 

Foto udara jalan lintas Tarutung-Padang Sidempuan Km. 12 hingga Batu Jomba, Sipirok, Tapanuli Selatan, pada 1 Desember 2025, pasca banjir bandang dan longsor yang melanda Sumatra Utara. Dok. BNPB

“Bencana yang terjadi di Batang Toru serta keberadaan PT Toba Pulp Lestari itu sangat terkait erat, karena sungai-sungai yang ada di dalam wilayah konsesi itu dalam kondisi kritis, dan kami menduga ini karena operasi TPL sejak 1992,” katanya. 

Menurut laporan tersebut, kerusakan di bagian hulu sungai Batang Toru tersebut disinyalir menjadi salah satu faktor utama yang memperparah dampak banjir dan longsor di wilayah Batang Toru. Laporan tersebut menemukan sejumlah kerusakan serius pada sungai-sungai di Aek Sigeaon. Di antaranya alur sungai tertutup tanaman eukaliptus, sempadan sungai ditanami monokultur, hulu sungai ditimbun dan dialihfungsikan, serta muncul aliran air baru yang tidak tercatat dalam peta resmi sungai. 

PT Toba Pulp Lestari juga masuk dalam daftar tujuh korporasi yang diduga memiliki andil besar dalam terjadinya bencana banjir bandang dan longsor di Sumatra Utara. Perusahaan ini mengantongi izin konsesi seluas 167.912 hektare, yang tersebar di 12 kabupaten/kota. Di antaranya enam kabupaten mengalami banjir dan longsor pada 15 November lalu berada di dalam area konsesi PT TPL, yakni Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Kota Padangsidimpuan, dan Pakpak Bharat. 

Roki mencatat, wilayah Batang Toru dan sekitarnya dikepung oleh berbagai perusahaan, termasuk perkebunan kelapa sawit, pertambangan, hingga pembangkit listrik tenaga air (PLTA). Namun dia menyebut PT Toba Pulp Lestari merupakan perusahaan yang paling lama beroperasi di wilayah tersebut, yakni sejak 1992 dengan nama awal PT Inti Indorayon Utama. 

“Perubahan tutupan lahan dari hutan alam ke tanaman monokultur eucalyptus telah menyebabkan penurunan drastis fungsi ekologis kawasan hulu. Struktur akar tanaman eucalyptus yang dangkal dan bersifat hidrofobik mempercepat limpasan permukaan, mengurangi daya serap tanah terhadap air hujan, serta meningkatkan risiko erosi dan longsor,” katanya.  

“Akibatnya, ketika hujan dengan intensitas tinggi terjadi pada 25 November 2025, sistem DAS Batang Toru tidak lagi mampu menahan tekanan hidrologis, sehingga debit air meningkat secara ekstrem dan membawa material kayu serta lumpur ke wilayah hilir,” katanya. 

Kondisi hulu sungai di Sektor Aek Raja yang mengalir ke Aek Sigeaon, selanjutnya bermuara ke Sungai Batang Toru. Dok. KSPPM

Roki mengatakan, saat ini penebangan hutan juga masih terjadi di dalam konsesi PT TPL. Investigasi menemukan bukaan terbaru di area hutan alam area Aek Sigeaon seluas 30 hektare terjadi selama enam bulan terakhir. “Setelah land clearing, kami menemukan tanaman eukaliptus di lokasi tersebut. Dan lokasi yang dibuka juga ada titik-titik sungai Aek Sigeaon, yang bermuara ke Batang Toru,” kata Roki. 

Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Arie Rompas mengatakan, bencana yang terjadi di Sumatra dipengaruhi oleh krisis iklim yang semakin memburuk sekaligus kerusakan lingkungan dan DAS yang berfungsi mengelola dan menyimpan air di Sumatra. “Tutupan hutan alam di DAS Sumatra tersisa 25 persen saja. Artinya, daya dukung dan daya tampung lingkungannya mulai hancur, termasuk di Batang Toru,” kata Arie. 

Menurut analisis Greenpeace Indonesia, Batang Toru mengalami deforestasi sekitar 70 ribu hektare selama periode 1990-2022. Arie juga mencatat, terdapat sekitar izin seluas 40 hektare di DAS Batang Toru, yang sebagian besar merupakan izin kehutanan, pertambangan, dan perkebunan kelapa sawit. 

“Artinya, bencana ini bukan sekedar faktor alam, tapi juga disebabkan oleh ulah manusia. Kita harus pastikan orang-orang yang bertanggung jawab atas bencana ditindak secara hukum karena banyak sekali perizinan dan dokumen lingkungan yang sudah dilanggar, baik korporasi individu maupun pemberi izinnya,” kata Arie. 

Koordinator Jikalahari Okto Yugo Setiyo mengatakan, bencana yang menimbulkan ribuan jiwa meninggal, tidak hanya dilihat dari pelanggaran hukum administratif tetapi sudah bisa dinaikkan levelnya ke pelanggaran HAM berat. Apabila tidak ada kebijakan-kebijakan pemerintah yang memperbaiki maka potensi bencana-bencana ekologi akan terus berulang di masa depan. 

“Kehilangan nyawa dari korban banjir Sumatra harus mengajarkan  pemerintah untuk harus berbenah dan bertanggung jawab menjalankan fungsi pengawasan dan fungsi penegakan hukum. Tidak hanya tata ruang yang dilanggar, namun ada pelanggaran HAM berat yang terjadi,” kata Okto.

Lokasi aliran sungai yang tertutup tanaman eukaliptus di Sittiko Langit, Aek Raja. Berdasarkan data Rupa Bumi Indonesia, seharusnya ada enam titik hulu aliran sungai dan mengalir ke Aek Sigeaon. Dok. KSPPM

Pada 12 Desember lalu, PT TPL disebut menerima surat dari Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Sumatera Utara terkait penghentian seluruh kegiatan penebangan dan pengangkutan kayu eucalyptus hasil budidaya, termasuk pada area Penggunaan Kawasan Restorasi (PKR). Tiga hari kemudian, Kementerian Kehutanan mengumumkan telah mencabut 22 izin perusahaan yang terbukti berkontribusi terhadap terjadinya bencana di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Kementerian Kehutanan juga mengatakan, Presiden Prabowo Subianto telah menginstruksikan audit dan evaluasi secara menyeluruh terhadap PT Toba Pulp Lestari. 

KSPPM mendesak pemerintah segera mencabut izin Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) PT Toba Pulp Lestari secara permanen jika terbukti melakukan pelanggaran. Pemerintah juga harus melakukan pemulihan menyeluruh terhadap hutan-hutan kritis, khususnya di kawasan hulu DAS dan daerah tangkapan air Batang Toru, serta mengembalikan pengelolaan dan penguasaan hutan adat kepada masyarakat adat, yang secara historis terbukti mampu menjaga keberlanjutan ekosistem. 

“Tanpa perubahan kebijakan yang tegas, dan konsesi industri skala besar tetap dipertahankan di kawasan hulu yang vital, bencana ekologis di Sumatra Utara hanya akan terus berulang dengan skala yang semakin besar,” kata Roki.