LIPUTAN KHUSUS:
Jatam: Jangan Tutup Mata atas Dosa Tailing PT Freeport
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Apalagi masih terdapat permasalahan tailing di PT Freeport, yang telah menyebabkan kerusakan lingkungan dan membuat negara merugi ratusan triliun rupiah.
Freeport
Senin, 21 Desember 2020
Editor :
BETAHITA.ID - Keputusan pemerintah menggunakan tailing atau limbah tambang PT Freeport Indonesia untuk bahan material konstruksi jalan di Merauke menjadi sorotan masyarakat sipil. Apalagi masih terdapat permasalahan tailing di PT Freeport, yang telah menyebabkan kerusakan lingkungan dan membuat negara merugi triliunan rupiah.
Baca juga Pembuangan Tailing ke Laut Dalam Ancam Masyarakat Pesisir
Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Merah Johansyah mengatakan, penggunaan tailing atau limbah tambang PT Freeport Indonesia untuk bahan material konstruksi jalan, haruslah berdasarkan pembuktian melalui kajian khusus dan kajian tersebut semestinya disampaikan kepada publik. Karena menurut Merah, tidak semua spesifikasi tailing dapat digunakan untuk bahan material konstruksi jalan.
"Harus dibuktikan dengan kajian, Kementerian PU juga harus membuka kajian itu. Karena tidak semua spesifikasi tailing itu bisa digunakan. Harus ada uji toksisitas, termasuk unsur kimia dan kandungan bahan berbahaya beracun (B3) dalam material itu," kata Merah, Kamis (17/12/2020).
Merah menduga, tailing yang akan digunakan untuk bahan material pembangunan jalan itu adalah tailing yang berada di bagian hulu Sungai Ajkwa. Karena tailing yang agak padat berasal dari kawasan hulu Sungai Ajkwa, di mana di kawasan tersebut merupakan lokasi Modified Ajkwa Deposition Area (Mod ADA) PT Freeport.
"Jadi harus dijelaskan kepada publik, bahwa tidak semua tailing itu bisa digunakan untuk kepentingan material konstruksi jalan dan kajiannya harus dibuka kepada publik. Ini Kementerian PU bisa menjadi semacam anak perusahaan Freeport juga kalau begini caranya. Kok mengurusi sisi itunya to KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) ini. KLHK-kan tugasnya pengawasan dan penegakan hukum. Jadi kita lihat seperti itu."
Kritik Merah terhadap KLHK ini dilatari oleh sikap KLHK yang lebih getol mengurusi penggunaan tailing PT Freeport untuk material konstruksi jalan, ketimbang melakukan pengawasan dan penegakan atas pelanggaran hukum dan lingkungan yang terjadi. Merah mengibaratkan izin penggunaan tailing untuk material pembangunan jalan sebagai "sertifikasi halal" terhadap tailing.
"Saya lihat KLHK mengeluarkan beberapa peraturan pedoman penggunaan itu (tailing). Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan Bahan Beracun Berbahaya (PSLB3) ini justru menjadi semacam direktorat yang memberi, dalam tanda kutip, sertifikasi halal terhadap tailing. Tailing inikan limbah dan ini apa kaitannya dengan penyusunan AMDAL yang baru-baru ini."
Merah mengungkapkan, baru-baru ini pihak PT Freeport melakukan pembaharuan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Yang mana penyusunan pembaharuan AMDAL ini, menurutnya, juga menimbulkan kecurigaan. Lantaran terkesan dilakukan secara tergesa-gesa memanfaatkan situasi pandemi Covid-19.
"Dan sekarang sedang pembaharuan AMDAL. Tanggal 27-28 Juli banyak mengundang dan membuat pelatihan AMDAL yang dibuat secara singkat dan secara daring (dalam jaringan), dan pada Agustus melakukan konsultasi publik penyusunan dokumen AMDAL. Jadi Juli mereka (PT Freeport) melakukan pelatihan AMDAL untuk masyarakat, Agustus mereka membuat pembaharuan dokumen AMDAL, untuk izin lingkungan."
Lebih lanjut Merah mengatakan, izin penggunaan tailing PT Freeport untuk material pembangunan jalan ini sama saja dengan mencuci dosa pembuangan tailing PT Freeport yang selama ini dibuang ke Sungai Ajkwa dan telah mengakibatkan pendangkalan parah serta sedimentasi hingga ke muara sungai yang terhubung dengan Laut Arafura.
"Tailing itu puluhan tahun mengalir ke muara dan perairan Arafura. Mengancam keberadaan Suku Sempan. Di wilayah Agimuga. Kabupaten Mimika Timur. Ikan-ikan mati dan nelayan tidak lagi mendapatkan ikan. KLHK mengabaikan kerusakan lingkungan hidup di sungai itu yang menurut BPK, kerugian negara akibat kerusakan lingkungan itu sebesar Rp185 triliun 2019."
Merah menambahkan, pembuangan tailing ke sungai ini telah terjadi sejak puluhan tahun lalu. Selain Sungai Ajkwa, terdapat 5 sungai lain yang telah rusak parah akibat pendangkalan yang disebabkan pembuangan tailing. Yakni Sungai Aghawagon, Sungai Otomona, Sungai Minajerwi, Sungai Aimoe dan Sungai Tipuka.
"Diperkirakan jumlah tailing yang dibuang atau dihasilkan adalah 160 ribu ton per hari. Bahkan semenjak tahun 80-an terjadi pengendapan dan sedimentassi parah sampai ke muara. Jadi KLHK tidak boleh membiarkan Freeport memanfaatkan tailing dengan cara digunakan kepentingan infrastruktur, mencuci dosa atau menyelesaikan masalah hukum tailing. Karena itu sudah sampai ke laut."
Merah mengingatkan, jangan hanya karena ingin mengambil manfaat dari sebagian kecil tailing untuk material jalan, namun pemerintah malah menutup mata dari dosa-dosa dan pelanggaran hukum PT Freeport. Menurut Merah, KLHK seharusnya lebih fokus dalam mengawasi pelanggaran hukum dan lingkungan yang sudah terjadi selama ini, bukan malah menjadi tukang stempel untuk setiap rencana kerja PT Freeport.
"Itu sama saja menjadi green washingnya PT Freeport. Sama saja KLHK mengambil peran sebagai semacam departemen lingkungannya PT Freeport. Ganti saja plangnya jadi kementerian lingkungan hidup di bawah koordinasi PT Freeport. Jadikan kementerian lingkungan hidup PT Freeport. Jangan bicara kementerian lingkungan hidup Indonesia lagi, karena situasinya begitu."
Material Agregat Infrastruktur
Sebelumnya, pada Selasa (15/12/2020) lalu, KLHK dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) melepas 4.000 ton tailing milik PT Freeport Indonesia dari Jetty Jembatan 2 Mill Post 11 Wilayah Kerja PT Freeport di Kabupaten Mimika ke Dermaga Kali Tamu di Merauke.
Tailing PT Freeport ini rencananya untuk digunakan sebagai material agregat infrastruktur jalan di Merauke. Pemanfaatan tailing ini disebut-sebut pertama kali dilakukan selama berdirinya PT Freeport Indonesia.
Dalam siaran persnya, Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan Bahan Beracun Berbahaya (PSLB3), Rosa Vivien Ratnawati mengatakan, pemanfaatan limbah B3, termasuk tailing, merupakan salah satu gagasan penanganan masalah lingkungan di PT Freeport Indonesia.
"Melalui Roadmap yang ditetapkan pada tahun 2018, telah disusun langkah-langkah penanganan masalah lingkungan hidup termasuk di dalamnya bagaimana mengatasi tailing dengan pendekatan pemanfaatan sebagai sumber daya yang dapat digunakan sebagai material infrastruktur sipil jalan dan bangunan pada internal PTFI (PT Freeport Indonesia), Pemerintah dan Pemerintah Daerah, seperti yang kita saksikan bersama pada kesempatan ini," ujar Vivien.
Pemanfaatan tailing tersebut merupakan implementasi dari Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.129/Menlhk/Setjen/PLB.3/3/2020 Tentang Izin Pemanfaatan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun pada PT Freeport Indonesia. Melalui izin tersebut, tailing yang merupakan limbah bahan berbahaya dan beracun dapat digunakan oleh Kementerian PUPR sebagai material agregat infrastruktur jalan untuk pembangunan jalan di Merauke.
Bahkan, karena telah memenuhi kriteria teknis Standar Nasional Indonesia (SNI) dan pedoman teknis yang berlaku di Kementerian PUPR, maka penggunaan tailing sebagai material agregat infrastruktur jalan dapat dilakukan secara lebih luas, tidak hanya terbatas di Merauke atau di lokasi internal PT FI saja, namun secara bertahap dapat digunakan di seluruh wilayah Indonesia.
Dalam mendorong pemanfaatan tailing sebagai sumber daya, Pemerintah telah menerbitkan beberapa kebijakan, antara lain:
- Keputusan Bersama Menteri LHK, Menteri PUPR, dan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Nomor: SK.780/Menlhk/Setjen/10/2019 tanggal 8 Oktober 2019 tentang Kebijakan Pemanfaatan Tailing PT Freeport Indonesia, yang di dalamnya memuat kesepakatan bahwa tailing perlu dimanfaatkan untuk mendukung pengembangan wilayah, infrastruktur, industri dan pertanian;
- Memperluas peluang pemanfaatan tailing yang merupakan limbah bahan berbahaya dan beracun sebagai material pendukung infrastruktur melalui Keputusan Menteri LHK Nomor SK.129/Menlhk/Setjen/PLB.3/3/2020 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri LHK Nomor SK.550/Menlhk/Setjen/Plb.3/8/2019 tentang Izin Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun untuk Kegiatan Pemanfaatan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun PT Freeport Indonesia sebagai Penghasil Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun;
- Memberi ruang pemanfaatan tailing oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah dan stakeholder lainnya melalui Peraturan Direktur Jenderal PSLB3 Nomor P.1/PSLB3/Set/Kum.1/1/2020 tentang Tata Cara Pemanfaatan Tailing PT Freeport Indonesia di Kabupaten Mimika Provinsi Papua.
Lebih lanjut, dalam siaran pers yang dirilis KLHK, Vivien menjelaskan, untuk mencapai tujuan pengelolaan Limbah B3 guna mengurangi tingkat risiko kesehatan manusia dan lingkungan hidup serta tercapainya pembangunan yang berkelanjutan, maka KLHK mengutamakan prinsip ekonomi sirkular sebagai framework dalam kebijakan dan strategi nasional pengelolaan Limbah B3 di Indonesia.
Ekonomi Sirkular memandang, persoalan Limbah B3 dapat diselesaikan dengan memanfaatkan Limbah B3 sebagai sumber daya. Hal ini juga sejalan dengan prinsip 3R, yaitu daur ulang (recycling), penggunaan kembali (reuse) atau produksi ulang (recycle) sehingga dapat menggantikan bahan baku (alternative material) suatu produk serta peningkatan dan pertumbuhan ekonomi masyarakat.
"Pemanfaatan tailing sebagai material agregat infrastruktur jalan seperti yang dilakukan pada kegiatan kali ini, membuktikan bahwa limbah tailing dapat menjadi sumber daya dan mendukung program Presiden Joko Widodo untuk pemerataan pembangunan di seluruh wilayah Indonesia atau yang kita kenal dengan istilah “Indonesia-Sentris”, dimana pembangunan infrastruktur menjadi salah satu prioritas, terutama di wilayah Papua dan Papua Barat demi terwujudnya kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia," kata Vivien.