LIPUTAN KHUSUS:
Tragedi Harimau Sumatera: Hidup Dijagal, Mati Dijual (2)
Penulis : Harry Siswoyo dan Betty Herlina
Memperingati Global Tiger Day, tim kolaborasi merilis tulisan hasil investigasi terhadap perburuan dan perdagangan harimau sumatera. Tulisan terdiri dari 4 bagian.
World Tiger Day
Senin, 01 Agustus 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
(Sambungan dari bagian 1)
BETAHITA.ID - Sebut saja lelaki itu Sam. Ia menolak nama sebenarnya diungkap ketika kami bersua beberapa pekan lalu. Sam berperawakan tinggi besar. Suaranya serak dan suka berkelakar.
Mencari lelaki ini di Sarolangun, Jambi, terbilang mudah. Sebut saja namanya, maka orang cenderung akan bertanya balik lagi ke kita. “Ada barang apa? Ular, trenggiling, atau macan?” Kami cukup terhenyak mendengarnya. Dalam hati, agak mustahil rasanya kalau polisi tidak tahu bisnis orang ini.
Sam mengaku memilih berhenti dari bisnis haramnya sejak 2019 lantaran pandemi Covid-19 merebak. Ia kesulitan memasarkan barangnya ke luar, karena tidak ada penawaran. Di gudangnya bahkan sempat menumpuk sisik trenggiling hingga akhirnya harus dimusnahkan karena membusuk.
“Rugi, tidak ada harga lagi barangnya. Bulan lalu ada yang tawarkan 08, tapi saya tolak dan suruh jual ke Palembang. Barangnya dari Sekayu (Sumatra Selatan),” kata Sam di kediamannya. Ngobrol dengan pengepul, kita mesti paham banyak kode. Mereka jarang menyebut langsung kata harimau atau macan. Semua pakai kode, ‘08’ misalnya untuk harimau, ‘TH’ untuk trenggiling hidup, dan ‘Kerupuk’ untuk sisik trenggiling.
Sam termasuk pemain besar. Rumahnya terbilang mentereng untuk ukuran kampungnya. Apalagi untuk orang yang tak menyandarkan dapurnya pada kebun sawit atau karet. Pengakuan si Sam, sebagian harta itu memang didapatnya dari berjualan kulit harimau atau satwa langka yang kerap dipungutnya dari para pemburu di wilayah Musi Rawas, Sarolangun, Jambi, bahkan sampai ke Riau.
Selama berbisnis lebih dari 10 tahun, Sam selalu mengerjakannya sendirian. Paling ia cuma butuh sopir yang bisa menemaninya berkeliling memungut hasil buruan pemburu. Kalau pun ada orang lain yang membantu, Sam lebih suka menggunakan pedagang sayur keliling yang kerap keluar masuk desa pelosok sebagai kurir. Entah itu kulit harimau atau trenggiling, bisa diselundupkan lewat gerobak sayur. Barang pun tiba di rumah Sam dengan aman tanpa khawatir dicurigai orang.
Hebatnya lagi, Sam mengaku pernah memakai ambulans atau mobil box berpendingin untuk kebutuhan pengiriman barang ke luar daerah. Kata si Sam, siapa juga yang mau memeriksa ambulans dengan sirine mengaung. Padahal di dalamnya kadang ada kulit harimau, trenggiling, kepala enggang, dan lainnya. Luar biasa.
Dan tentunya, sebagai pemulus bisnis, Sam kerap membayar sejumlah setoran ke petugas. Baginya, yang namanya sawer atau upeti jangan pernah sampai kurang. Sedikit saja kurang maka jeruji bui di depan mata.
“Malah kini, ada beberapa polisi dan tentara tanya ke saya, ‘kok sudah lama tidak ‘main’ lagi bang?’,” kata Sam terbahak-bahak. “Kayaknya orang-orang itu lagi sepi saweran.”
Kami ikut tertawa mendengar cerocos Sam. Jangan-jangan benar juga ucapan orang ini.
Pengepul bertebaran di Sumatera
Soal relasi pengepul, jangan ditanya. Pada usianya sekarang yang sudah lebih dari 55 tahun, setengah lebih umurnya memang habis bermain di dunia jual beli satwa. Ia bisa menyebut banyak nama para pemain bisnis haram, utamanya satwa langka.
Di Sumatera Barat misalnya, para pengepul kulit harimau atau jenis langka lainnya bertebaran di Dharmasraya, Sijunjung, Solok, Batu Sangkar, Payakumbuh, Pasaman Timur, Pasaman Barat, Kota Padang, Padang Panjang, dan Painan. Ia pun menyebut sejumlah nama pemiliknya, namun meminta kami tidak menuliskan nama mereka. Katanya anggap rahasia saja.
Lalu di Jambi ada di Kota Jambi, Muarobungo, Tebo, Bangko, dan, selain Sam, ada seorang pesaingnya lagi di Sarolangun. Menurut Sam, meski toko si pesaingnya itu sudah tutup hampir empat tahun, namun bisnis berselubung bengkel bubut mobil ini namanya masih populer.
Kelak, usai berbincang dengan Sam, kami sempat menguji informasi ini dengan mencari toko ini di daerah pusat perbelanjaan Kota Sarolangun, dan benar. Orang langsung kenal toko ini. “Sudah tutup. Mau jual apa ular atau macan? Mending langsung bawa ke Kota Jambi saja,” begitu kata beberapa orang yang kami tanya soal toko ini.
Gerbang Pelabuhan Kuala Tungkal di Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi.
Cerita Sam, hampir sebagian besar muara dari bisnis haram kulit harimau dan segala jenis hewan langka di Sumatera umumnya berakhir di Pulau Batam. Dengan pintu masuk utama adalah Pelabuhan Kuala Tungkal di Tanjung Jabung Barat, Jambi.
Bagi mereka yang paham, Kuala Tungkal memang ibarat gudang supermarket. Segala barang haram yang hendak dibuang keluar kebanyakan mampir dulu ke tempat ini. Jaraknya yang dekat dengan Kota Batam, Kepulauan Riau, dan ramainya lalu lintas kapal memang berpotensi membuka banyak celah. Ditambah lagi, ada banyak sekali pintu keluar kapal yang sulit terkontrol.
Dan tentunya, setali tiga uang dengan Kuala Tungkal, Batam pun serupa. Banyak sekali pelabuhan tikus atau pelabuhan kecil yang lemah kontrol atau kalau boleh dibilang nol pengawasan. “Banyak dan aman sekali di jalur tikus,” kata Sam.
Mengenai pelanggan di Batam, Sam menyebut mayoritasnya adalah orang berkewarganegaraan Tiongkok yang tinggal di Batam, Singapura, atau Malaysia. Tak jelas apa profesi mereka, namun Sam menduga orang-orang ini adalah kelompok berduit. Indikasinya cuma ia lihat dari lokasi transaksi yang selalu digelar di resto-resto mewah.
“Saya tak ingat tempatnya. Tapi cirinya resto itu menyediakan menu makanan dari daging buaya, ular, labi-labi atau kura-kura. Mahal-mahal semua makanannya,” kata Sam.
Ia berulangkali mencoba mengingat nama tempat itu, namun sia-sia. Lagipula, kata Sam, tak penting tempat bagi para penjual sepertinya. Yang utama itu cuma uang. Sebab, komitmen jual beli barang seperti kulit harimau dan satwa lain cuma satu, yakni: ada uang maka ada barang. “Selalu dibayar cash. Tidak ada transfer-transferan.”
Kargo-kargo di jalur belakang
“Tahun 2017 kami pernah membongkar penyelundupan satwa lewat Bandara Minangkabau,” kata seorang investigator Balai Besar Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) kepada kami yang sedang menumpang bermalam di Kota Sungai Penuh, Kerinci.
Kata dia, total ada tujuh maskapai yang terindikasi dalam investigasi bisa memasukkan barang di kargo tanpa harus melewati x-ray. Modusnya, barang diantar ke kediaman oknum petugas kargo. Kelak, barang akan diproses dan langsung dimasukkan ke bagasi pesawat tanpa pemeriksaan.
Di tujuan antar, barang akan langsung dijemput oleh petugas kargo yang lain, dan kemudian dikirimkan langsung ke pemilik barang. Dan, persis seperti sebelumnya, barang-barang ini akan keluar tanpa harus melalui proses pemeriksaan.
“Ada dua bandara tujuan yang pernah kami telusuri bisa pakai modus ini. Satu Bandara Juanda (Surabaya) dan keduanya, Soekarno-Hatta (Jakarta),” kata investigator ini lagi. Maaf, namanya tak bisa kami tuliskan di sini. Mengucap ini saja, ia sampai menurunkan suaranya kepada kami. Seolah-olah ada yang menguping obrolan kami.
Petugas Resor TNKS Mukomuko Provinsi Bengkulu menunjukkan barang bukti harimau sumatera yang terjerat.
Cerita ini juga dibenarkan oleh Sam. Malah katanya, pola itu sudah biasa dilakukan para pengepul kalau ada pengiriman ke Pulau Jawa. Mengenai tarifnya, ia menyebut untuk satu lembar kulit harimau lengkap bisa dibanderol mulai dari Rp2.500.000 hingga Rp5.000.000 per lembarnya. Sementara untuk kepala enggang dihargai Rp500.000 per kepala dan trenggiling Rp500.000 sampai Rp1.000.000 per kilogramnya.
Hanya saja, kata Sam, pengiriman via pesawat, terakhir dilakukan para pengepul satwa langka pada 2017. Ini persis seperti informasi yang kami dapat dari seorang kawan investigator.
Dan khusus harimau, pengemasan menjadi kunci. Sebab jika tidak rapi dan bersih, maka ia akan menimbulkan bau dan bisa membuat orang curiga. Itu kenapa, kata Sam, kulit harimau yang akan naik pesawat biasanya akan dikemas dalam kondisi terbalik. “Belangnya mesti di bawah kalau dilipat. Itu membuatnya tidak mencolok dan bisa mengurangi bau kulit dan spiritus.”
Dari obrolan kami dengan para pemburu, begini biasanya mereka mengemas kulit harimau. Usai dikuliti oleh para pemburu, kulit harimau lantas direndam dalam cairan spiritus sebagai pengawet. Cairan ini selain bisa menghilangkan bau busuk, juga bisa membuat kulit awet dan tetap lembut meski telah bertahun tersimpan, yang penting, rajin mengganti spiritus-nya secara berkala. Dan bagi para pemburu harimau terlatih, mereka selalu menyediakan stok spiritus di dalam hutan. Entah itu disimpan di pondok atau terkubur di dalam tanah.
Lantas bagaimana dengan alamat pengiriman? Seluruh nama pengirim, termasuk yang menerima barang, kata Sam, adalah fiktif. Jadi akan sulit sekali melacak siapa pemiliknya jika barang itu sampai terbongkar petugas. Yah maklumlah, nama yang tertera di paket adalah nama sembarang dan mungkin saja tidak pernah tercatat di komputer admin kargo.
“Prinsipnya duitlah yang main. Pegang petugas kargo dan maskapai, amanlah itu,” kata Sam. Alis matanya bergerak-gerak ke atas sementara matanya mendelik kepada kami. Kami menyimpulkan itu semacam kode bahwa zaman kini rasanya tidak ada yang tidak mungkin bisa dibuat.
Sam lantas menyebut dua orang temannya yang bernama Peri dan Manda (bukan nama sebenarnya). Dia termasuk pemain besar seperti Sam. Peri ada di Jambi dan Manda di Dharmasraya, Sumatera Barat. Tapi seperti sebelumnya, ia menolak merinci detail di mana persisnya. Ia menyampaikan nama-nama ini karena keduanya pernah mengirim barang via pesawat.
Menurutnya, temannya itu sangat rapi kalau bermain. Mereka memiliki gudang besar yang memiliki banyak pekerja. Ada yang khusus packing, ada yang menimbang, dan lain-lain. Kami sempat membujuk Sam untuk membantu kami menemui keduanya.
Namun sayang, Sam sudah tidak lagi menyimpan nomor telepon mereka. Ia juga sudah kehilangan komunikasi lantaran Peri pernah tertangkap di Riau untuk kasus penyelundupan kulit harimau. Jadi daripada celaka, ia memilih tidak berkomunikasi dulu dengan Peri.
“Peri ini punya penangkaran buaya juga. Dia barangnya lebih banyak lagi dari saya. Bisa berton-ton untuk Trenggiling. Pengemasan kulit macan (harimau) juga lebih rapi ketimbang saya,” kata Sam.
Jerat harimau sumatera yang ditemukan di dalam kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat. Ratusan jerat masih kerap ditemukan setiap tahunnya. Sebarannya bahkan sudah memasuki jantung hutan.
Di perjalanan, usai dari kediaman Sam. Kami sempat mencoba mencari dimana keberadaan Peri dan Manda di Dharmasraya dan Sijunjung, Sumatera Barat. Namun, tak ada satu pun petunjuk yang jelas. Kabar terakhir yang bisa kami dapat cuma Peri bersembunyi di Jambi dan Manda pindah ke Kota Padang.
Meski begitu, kabar penggunaan pesawat untuk penyelundupan satwa bisa kami yakini kebenarannya usai melipir ke Bandara Minangkabau, Sumatera Barat. “Dulu itu pernah terjadi. Mungkin sudah lima tahunan. Sekarang mana bisa lagi. Ketat,” ujar seorang pekerja kargo dalam obrolan bersama kami di warung kopi.
Sebagai penguat data, kami menelusuri jejak informasi ini di internet dan benar adanya. Sejumlah laporan media pernah mencatat ada beberapa kali penyelundupan satwa di Bandara Minangkabau.
Artikel terkait ini bisa kita temukan paling banyak di tahun 2014. Namun kemudian sepi dan muncul lagi di tahun 2019. Berupa penyelundupan kulit harimau, namun ketahuan. Dalam artikel yang berjudul Penyelundupan Kulit Harimau Sumatra Digagalkan, Rencana Dikirim ke Jakarta yang ditulis oleh langgam.id, penyelundupan itu gagal lantaran terdeteksi oleh mesin detektor (X-ray). Siapa pengirimnya masih menjadi misteri. Namun penting dicatat, bahwa memang ada praktik penyelundupan lewat pesawat.
(Bersambung ke bagian 3)
*Liputan investigasi ini merupakan hasil kolaborasi dalam program “Bela Satwa Project” yang diinisiasi oleh Garda Animalia dan Auriga Nusantara
*Diterbitkan di Ekuatorial.com dan betahita.id sebagai liputan kolaborasi.