LIPUTAN KHUSUS:

Awas, AC Tak Ramah Iklim Serbu Pasar Indonesia


Penulis : Aryo Bhawono

Selain menggunakan refrigeran usang yang tak ramah iklim, AC berefisiensi rendah juga boros listrik.

Perubahan Iklim

Rabu, 11 Oktober 2023

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Waspada, AC tak ramah lingkungan dan tak efisien sedang menyerbu pasar Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Berbagai merek AC multinasional yang bertanggung jawab atas penjualan ini berpusat di Cina, Jepang, Korea Selatan, dan Amerika Serikat.

Laporan bertajuk ‘Pathways to Prevent Dumping of Climate Harming Room Air Conditioners in Southeast Asia’ memperingatkan perusahaan multinasional kini tengah membuang jutaan pendingin udara yang tidak efisien ke pasar Asia Tenggara dengan memanfaatkan celah regulasi dan peraturan nasional yang tidak ketat. Unit-unit ini mengandung refrigeran dengan potensi pemanasan global (Global Warming Potential/ GWP) tinggi sehingga pemasaran produk tersebut berkontribusi terhadap perubahan iklim, memberatkan jaringan energi nasional, dan membebani konsumen dengan tagihan listrik tinggi.

CLASP, NGO yang menyusun laporan ini, mendokumentasikan lima dari enam pasar di Asia Tenggara yang diteliti, Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam, terdapat AC yang tidak efisien. Sedangkan negara di Asia Tenggara, Singapura, merupakan pasar yang memiliki  AC efisien dengan refrigeran yang lebih ramah lingkungan. 

AC yang tidak efisien ini diproduksi oleh perusahaan multinasional yang membuat model-model yang lebih efisien untuk dijual di pasar negara asal mereka.

Ilustrasi pemanasan global sebabkan suhu air laut naik. (carbonbrief.org)

Temuan laporan menunjukkan berbagai merek AC multinasional bertanggung jawab atas pembuangan unit ini ke pasar Asia Tenggara. Produksi mereka berpusat di Cina, Jepang, Korea Selatan, dan Amerika Serikat. Ironisnya sebagian besar listrik di Asia Tenggara dihasilkan dari bahan bakar fosil. Secara tidak langsung AC yang boros energi berkontribusi terhadap emisi karbon secara  signifikan. 

Pada tahun 2021, sekitar 74 persen dari total penjualan (6,2 juta unit) di enam pasar diklasifikasikan sebagai AC berefisiensi rendah. Penjualan unit-unit tersebut bervariasi di setiap negara. Indonesia dan Filipina tercatat sebagai negara dengan pemasaran tertinggi, masing-masing adalah 97 persen dan 78 persen. . 

Sedangkan Vietnam, Malaysia, dan Thailand memiliki sekitar 60 persen. Singapura memiliki pasar AC yang paling efisien dengan hanya 21 persen penjualan AC berefisiensi rendah.

Sebagian besar AC yang diimpor ke Asia Tenggara tidak memenuhi standar kinerja energi minimum (Minimum Energy Performance Standards/ MEPS) di negara asal produsen. Artinya unit-unit tersebut tidak dapat dijual di pasar domestik mereka. Sekitar 93 persen AC yang diimpor ke Asia Tenggara dari Cina, terutama merek-merek Jepang, tidak memenuhi persyaratan efisiensi MEPS Cina. Lebih lanjut, 59 persen ekspor AC dari Korea Selatan ke Asia Tenggara dan 21 persen ekspor AC dari Jepang ke Asia Tenggara berada di bawah persyaratan negara asal merek.

Enam pasar AC Asia Tenggara menggunakan refrigeran HFC yang memiliki GWP tinggi, yakni R-410A. Jenis refrigeran ini sudah usang dan dijadwalkan untuk dihapuskan secara bertahap di bawah Protokol Montreal. Angka GWP refrigeran ini mencapai 2,088 yang berarti lebih dari 2,000 kali lipat potensi karbon dioksida. 

AC yang mengandung R-410A menyumbang 35 persen dari penjualan Asia Tenggara pada tahun 2021, tertinggi di Singapura (90 persen) dan Thailand (66 persen).

CEO CLASP, Christine Egan, mengaku terkejut dengan temuan ini. Saat keadaan darurat iklim global mengancam dengan rekor suhu tinggi setiap tahunnya, produksi dan penjualan AC yang efisien dan terjangkau tidak meluas ke seluruh pasar di Asia Tenggara dan bagian dunia lainnya. 

“Penelitian ini menunjukkan penghematan biaya dan reduksi emisi dapat dilakukan dengan menghentikan masuknya peralatan yang boros energi ini, sehingga tidak masuk akal jika kita tidak mengambil tindakan untuk menyediakan pendinginan yang dapat menyelamatkan nyawa bagi jutaan orang." ucap Egan melalui rilis pers.

Kini rekor gelombang panas hampir tiap tahun terpecahnya di Asia Tenggara dan tempat lain. Permintaan pendingin ruangan diproyeksikan meningkat secara cepat untuk mendukung keberlangsungan hidup dan mata pencaharian miliaran orang. 

Lebih lanjut laporan itu menyebutkan jika keenam negara ini mencegah pemasaran AC yang tidak efisien maka dapat mengurangi emisi kumulatif selama lebih dari 25 tahun, yakni sebanyak lebih dari 1 miliar ton metrik karbon dioksida atau setara dengan emisi tahunan Malaysia, Filipina, dan Thailand jika digabungkan. 

Selama 25 tahun yang sama, wilayah ini juga akan menghemat USD 148 juta secara kumulatif untuk para konsumen, setara dengan 12 persen PDB Indonesia pada tahun 2021.

Penasihat Senior di Institute for Governance and Sustainable Development (IGSD), Tad Ferris, menyatakan laporan ini memperingatkan praktik perdagangan yang berbahaya bagi setiap makhluk hidup dan ekosistem. Pemasaran AC yang tidak terkendali dan tidak efisien dengan menggunakan refrigeran yang sudah usang menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi masyarakat Asia Tenggara yang rentan dalam menghadapi gelombang panas yang mencapai rekor selama keadaan darurat iklim. 

“Sangat penting untuk membalikkan arah kerusakan ini. Laporan ini menggarisbawahi serangkaian solusi yang mencakup komitmen kolaboratif antara perusahaan multinasional dan negara-negara pengekspor dan pengimpor, untuk menghilangkan biaya siklus hidup yang tinggi dari AC yang tidak efisien dengan refrigeran yang sudah usang," ucapnya. 

IGSD sendiri duduk sebagai lembaga pendukung pembuatan laporan ini.  

Berdasarkan hasil penelitian, mereka merekomendasikan tindak lanjut untuk mengurangi pembuangan limbah. Laporan ini menekankan urgensi penerapan standar kinerja energi yang kuat, mendorong praktik perdagangan yang menguntungkan, dan menegakkan kebijakan anti-pembuangan lingkungan. Langkah-langkah ini sangat penting untuk memastikan akses pendinginan yang berkelanjutan sekaligus mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan dan sistem energi.