Peneliti: Listrik 35.000 Megawatt, Haruskah?

Penulis : Redaksi Betahita

Energi

Senin, 20 Agustus 2018

Editor : Redaksi Betahita

Betahita.id – Analis The Institute for Energy Economics and Financial Anaysis (IEEFA) mempertanyakan pengadaan listrik 35.000 megawatt. "Apakah perlu sebanyak itu dan apakah mayoritas dari batubara," kata Elrika Hamdi.

Elrika mengatakan,  argumen atas batubara selama ini adalah karena harganya murah dan Indonesia punya banyak cadangan batubara. “(Tapi) think again,” ujarnya.

Menurut Elrika, argumen bahwa batubara energi murah adalah versi PLN. Argumen ini, katanya, tak didukung data memadai . Perhitungan biaya pembangkitan (levelized cost of energy/LCOE) tak pernah diungkap. “Transparansi data detail pembangkit dan transmisi, procurement system PLN sulit didapat.” dia menambahkan. Selain itu, di luar negeri sudah banyak teknologi pembangkit yang menghasilkan harga listrik US$2,5-3,5 sen per kWh, dan terus turun.

Soal ketersediaan cadangan batubara Indonesia juga masih simpang siur. Dalam ajang besar batubara Coaltrans 2018, misalnya, muncul perkiraan bahwa batubara akan habis dalam 25-50 tahun. "Pertanyaan selanjutnya tentang batubara ini adalah berapa kalorinya?” ujar Elrika.

Ilustrasi jaringan listrik

Ia mengatakan, batubara kalori rendah sudah jarang dipakai di luar negeri. Tapi, di Indonesia batubara ini masih banyak dipakai. Kalori rendah biasa ditemukan pada potensi pembangkit mulut tambang seperti PLTU Riau 1 yang belakangan ramai karena kasus dugaan suap yang melibatkan anggota DPR.

Mengenai pertumbuhan ekonomi sebagai alasan untuk pembangunan banyak PLTU, menurut IEEFA, ekonomi berkembang tak hanya soal pengadaan listrik. Pembangunan ekonomi terutama di daerah terpencil perlu pendekatan yang komprehensif.

Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Walhi Nasional menilai, tarik ulur DMO menunjukkan impulsifnya kebijakan batubara. “Ini menunjukkan pemerintah lagi galau, nggak tau ambil devisa dari mana. Kebijakannya sama sekali tidak mencerminkan kebutuhan energi masyarakat,” katanya.

Kondisi ini, menunjukkan tak adanya political will yang sungguh-sungguh dari pemerintah untuk roadmap energi lebih bersih, ramah lingkungan, hingga tak perlu terus menerus menggantungkan energi dari sumber daya yang volatile. "Bagaimana kita mau memastikan ketahanan energi kalau harga komoditas itu bukan kita yang tentukan," tuturnya.

Di samping itu pemanfaatan energi terbarukan, menurutnya, masih jauh dari target dan harapan karena tak ada kebijakan dasar pemerintah untuk meletakkan landasan kuat ke depan dengan basis energi yang benar-benar dimiliki. “Energi angin, surya relatif mahal karena subsidi untuk fossil fuel. Selain tak patuh bayar PNBP, jaminan reklamasi, jaminan pascatambang, pencemaran dan dampak kesehatan juga harus ditanggung masyarakat. Itu semua subsidi bagi harga yang dianggap murah.”

Jika DMO dihapuskan?

Peneliti Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, Rizky Ananda mengatakan, penghapusan harga khusus DMO batubara akan menambah beban PLN setidaknya US$4,2 miliar atau Rp58 triliun. Ini dihitung dari selisih harga khusus DMO US$70 per ton dan HBA Juli, US$104,65.

Menurutnya kalau iuran ekspor kena maksimal pada US$3 per ton, terkumpul maksimum US$1,39 miliar atau sekitar Rp19.47 triliun. Dengan hitungan penambahan 100 juta ton, seperti perkiraan Menteri Luhut, PLN akan tetap terbebani US$2,8 mliar atau Rp39 triliun.

Perlu diperhatikan, kata Risky, kondisi tata kelola batubara saat ini masih menyimpan banyak masalah, seperti per Maret 2018 masih ada 710 IUP non CNC.

"Izin non CNC ini tidak dicabut tapi juga tidak diakhiri," katanya.

Hingga Juli 2018, setidaknya ada Rp4,5 triliun piutang PNBP dari batubara. Catatan akhir 2016, masih ada 631.000 hektar konsesi batubara di hutan lindung, 212.000 hektar di kawasan konservasi.

"Hingga Juni 2018, baru 60 persen IUP Minerba sudah menempatkan jaminan reklamasi dan hanya 16 persen menempatkan jaminan pascatambang."

Dengan kondisi ini, industri batubara malah menerima insentif berlebihan dari negara, mulai dari kenaikan target produksi batubara tahun 2018 sebesar 5 persen dari RKAB 2017, sekitar 485 juta ton. "Ini bertentangan dengan RPJMN 2015-2019 yang menetapkan produksi batubara 406 juta ton tahun 2018."

Insentif lain berupa penundaan kewajiban penggunaan kapal nasional dari 1 Mei 2018 menjadi 1 Agustus 2020. Pemerintah juga memberi penundaan kewajiban asuransi nasional untuk ekspor batubara hingga Februari 2019 sesuai Peraturan Menteri Perdagangan No 48/2018.

Mengutip laporan Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) 2016, kata Rizky, dari ribuan IUP minerba tercatat di KESDM, hanya 1654 IUP membayar PNBP. Dari semua yang membayar PNBP, hanya disumbang 112 perusahaan.

"Upaya pemerintah menggenjot produksi dan ekspor menaikkan penerimaan negara tanpa perbaikan sistem pengawasan dan penegakan hukum bagi perusahaan yang tidak patuh akan jadi bumerang bagi pemerintah.  Mengapa? (Karena) sistem verifikasi batubara masih lemah."

Ada, misalnya, indikasi perbedaan data antara laporan survei (LS) dengan data BPS dari Ditjen Bea Cukai Catatan PWYP, perbedaan data LS dan Bea Cukai mencapai 93,4 juta ton batubara.

Sementara itu, Analis Institute for Energy and Financial Analysis (IEEFA) Elrika Hamdi menyoroti dampak kebijakan batubara terhadap tarif litrik dan subsidi kepada PLN. Tahun ini, subsidi untuk PLN naik jadi Rp59,9 triliun dari Rp45 triliun karena kenaikan harga BBM dan batubara plus nilai tukar rupiah yang terdepresiasi terhadap dolar Amerika Serikat.

Risikonya, jika PLN terus bergantung pada bahan bakar fosil, akhirnya PLN tetap bergantung pada harga komoditas yang naik turun.

Dari pemodelan IEEFA terhadap subsidi PLN untuk lima tahun sejak 2017, dengan asumsi harga BBM dan batubara naik 10% pada 2018, 5% pada 2019, selebihnya kenaikan flat, pada 2021 akan terjadi subsidi lebih banyak, 46%. Diperkirakan, pada 2020-2022—andai rencana penambahan PLTU seperti pencanangan 35.000 megawatt-pembangunan PLTU selesai (COD) dan PLN harus membayar semua daya Independent Power Producer (IPP) sesuai Power Purchase Agreement (PPA).

"Akibatnya, yang kena kalau nggak subsidi dari pajak, atau tarif listrik naik. Sebenarnya kita double burden sebagai konsumen dan pembayar pajak," kata Elrika.

Dengan kata lain, katanya, bila IPP 55% terdiri dari pembangkit batubara, 25% dari gas, PLN terpapar risiko kenaikan (volatility) harga batubara dan gas. Ditambah lagi nilai tukar rupiah yang besar dalam jangka panjang.