Melawan Insentif Kebijakan untuk Perkebunan Kelapa Sawit Jahat

Penulis : Redaksi Betahita

Hukum

Kamis, 03 Oktober 2019

Editor : Redaksi Betahita

Betahita.id – Walhi bersama PBH Kalimantan resmi menddaftarkan Permohonan Keberatan atau Uji Materiil kepada Presiden terkait dengan ketentuan Pasal 51 ayat (2) PP 104/ 2015 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan.

Baca juga; 1 Juta Hektare Sawit Serobot Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut

Walhi menilai peraturan itu mereka ajukan untuk diuji materiil karena memuat insentif khusus melegalkan kejahatan yang dilakukan secara bersama oleh Pemerintah Daerah, Gubernur atau Bupati/ Walikota bersama dengan korporasi perkebunan, khususnya kelapa sawit. Ketentuan ini memperbolehkan penggunaan kawasan hutan dengan fungsi konservasi dan/ atau lindung untuk perkebunan selama satu daur.

Penerbitan PP 104/ 2015 yang ditetapkan pada 22 Desember 2015 dan diundangkan pada 28 Desember 2015 ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari ketentuan PP 10/ 2010 Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan jo. PP 60/ 2012 tentang Perubahan Atas PP 10/ 2010.

Konsesi perkebunan kelapa sawit milik PT Agriprima Cipta Persada (PT ACP). Dok. Greenpeace.

Pada pemerintahan SBY, kedua PP ini diterbitkan sebagai dasar untuk melegalkan keterlanjuran perizinan dan aktivitas perkebunan di kawasan hutan dengan fungsi produksi. Selanjutnya, pada Pemerintahan Jokowi, keterlanjuran perizinan dan aktivitas perkebunan di kawasan hutan diperluas hingga kawasan hutan fungsi konservasi dan lindung.

Menurut Even Sembiring, Manajer Kajian Kebijakan WALHI mengatakan penerbitan PP 104/2015 merupakan salah satu kebijakan di tahun awal Pemerintah Jokowi paling buruk. Penerbitan PP ini melanjutkan sekaligus memperluas upaya penghapusan kejahatan dan perilaku buruk konspirasi korporasi perkebunan khususnya kelapa sawit dengan penerbit izin. Penerbitan aturan dalam situasi Indonesia sedang sibuk menghadapi persoalan karhutla 2015.

Semangat melawan karhutla dalam Inpres 11/ 2015 tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan yang diterbitkan pada 24 Oktober 2015 seolah runtuh dengan adanya PP ini. “Langkah awal Kebijakan bermuka dua Pemerintah Jokowi dimulai,” katanya.

Dalam permohonan ini, WALHI dan PBHKalimantan berkedudukan sebagai wali (gurdian) dari lingkungan yang dalam perkembangannya mempunyai hak hukum (legal right). Adapun yang diwakili adalah keseluruhan ekosistem yang berada di kawasan hutan dengan fungsi konservasi dan lindung.

Even menjelaskan, diberikannya kesempatan terhadap korporasi perkebunan, termasuk kelapa sawit melanjutkan usahanya selama 1 (satu) daur tanaman pokok di kawasan hutan dengan fungsi lindung dan konservasi sama artinya menghancurkan habitat asli flora dan fauna yang endemik, sehingga berpotensi menjadikan mereka sekedar dongeng untuk generasi mendatang.

Menurut dia, dengan membiarkan alih fungsi kawasan hutan lindung menjadi perkebunan sama halnya memperbesar potensi bencana. Kawasan hutan dengan fungsi lindung yang seharusnya memberikan perlindungan dan memastikan kelanjutan kesuburan tanah dikorbankan untuk investasi perkebunan. Rakyat dan lingkungan hidup dikorbankan untuk kepentingan investasi.

“Krisis kemanusiaan akibat kerusakan lingkungan hidup yang didengungkan Jokowi tentunya tidak bisa diselesaikan oleh PP ini. Bahkan dengan adanya PP ini, kerusakan lingkungan hidup dan krisis kemanusiaan akan semakin parah,” sebut Even Sembiring.

Penerbitan PP 104/ 2015 bertentangan dengan beberapa peraturan peundang-undangan lebih tinggi. Secara hierarki peraturan perundangan yang disimpangi oleh Pasal 51 ayat (2) PP 104/2015 adalah (1) UU 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya; (2) UU 41/1999 tentang Kehutanan (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang; (4) UU 12/ 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan; (5) UU 18/ 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

Kondisi ini mengakibatkan penegak hukum mengalami kesulitan untuk melakukan penindakan terhadap larangan sekaligus ancaman pidana terhadap aktivitas perkebunan di kawasan hutan. Salah satu contohnya di Kalimantan Barat.

Khairuddin, Direktur Eksekutif PBHKalimantan menyebutkan bahwa di Kalimatan Barat terdapat indikasi Izin Usaha Perkebunan kelapa sawit yang berada kawasan konservasi Cagar Alam 20 ha dan Taman Nasional seluas 288 ha. Sedangkan di Hutan Lindung seluas 7.683ha.

“Sepengetahuan kami belum ada penegakan hukum oleh Kepolisian maupun KLHK terhadap IUP Kelapa Sawit yang berada di kawasan hutan dengan fungsi konservasi dan/ atau lindung. Apabila dipotret untuk kawasan hutan secara keseluruhan, perkiraan total luas IUP kelapa sawit yang berada di kawasan hutan di Kalimantan Barat mencapai 90.111 hektar. Menurut kami, Pasal 51 ayat (2) PP 104 merupakan salah satu faktor penghambat penegakan hukum tersebut,” kata Khairuddin