Koalisi Pembela HAM: Negara Harus Investigasi Kasus Golfrid

Penulis : Redaksi Betahita

Hukum

Kamis, 10 Oktober 2019

Editor : Redaksi Betahita

Betahita.id – Koalisi Pembela Hak Asasi Manusia  menilai kematian pengacara lingkungan Walhi Medan, Golfrid Siregar, tidak wajar.  “Ada indikasi penganiayaan terhadap Golfrid terkait kasus yang sedang diadvokasi mendiang sebelum meninggal dunia,” kata Kepala Departemen Advokasi Eksekutif Nasional Walhi, Zenzi Suhadi, Kamis,  10 Oktober 2019, dalam konferensi pers di kantor Walhi, Tegal Parang, Jakarta.

Baca juga: Kasus Golfrid, Ironi Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

“Seharusnya pemerintah melindungi dan menjaga serta menjamin suara-suara dari masyarakat sipil karena negara membutuhkan second opinion dari kebijakan yang dikeluarkan negara,” katanya

Golfrid pada dini hari Kamis 3 Oktober 2019 ditemukan dalam keadaan sangat kritis akibat luka parah di bagian tempurung kepala. Golfrid dibawa ke rumah sakit, hingga akhirnya meninggal dunia pada, Minggu, 6 Oktober 2019.

Golfrid Siregar, advokat lingkungan hidup di Walhi Sumatera Utara. Kredit: Walhi

Semula keluarga memperoleh keterangan dari aparat keamanan, bahwa Golfrid mengalami kecelakaan lalu lintas di flyover Jamin Ginting. Namun TKP kemudian berubah ke underpass Titik Kuning.

“Kami menduga, almarhum bukan meninggal karena kecelakaan lalu lintas. Namun karena mengalami tindak kekerasan yang mengakibatkan kematian. Terlebih sebelumnya ada kasus kematian Yohanes Balubun, aktivis Masyarakat Adat Nusantara wilayah Maluku, yang kematiannya di 2016 diarahkan oleh aparat kepolisian akibat kecelakaan. Di Nusa Tenggara Barat (NTB), upaya pembunuhan terhadap Direktur Eksekutif Walhi NTB Murdani di awal tahun ini juga belum terungkap,” katanya.

Zenzi menilai kekerasan terhadap Golfrid boleh jadi karena  saat ini ia merupakan advokat Walhi dalam dua kasus yakni gugatan pada Gubernur Sumatera Utara karena tetap memberikan izin terhadap PT NSHE dan pelaporan perwira polisi di Polda Sumut karena menghentikan penyelidikan kasus pemalsuan tanda tangan ahli dalam kasus PLTA Batang Toru ke Mabes Polri.

“Pola kekerasan dan diskriminasi terhadap pegiat lingkungan, kian berkembang,” katanya.

Jika sebelumnya ancaman, kekerasan dan kriminalisasi hanya dialami oleh masyarakat dan tokoh masyarakat, kini mengarah pada aktivis pendamping dan pimpinan organisasi, penasehat hukum, dan para ahli. “Kalau dilihat perkembangannya saat ini sudah darurat dalam hal tanggung jawab negara menjamin dan melindungi aktivis lingkungan karena sudah berkembang pola kekerasan dan ancaman kepada pembela lingkungan,” kata Zenzi.

Papang Hidayat, perwakilan Amnesty International Indonesia mengatakan Polresta Medan telah menetapkan dua orang perampok Golfrid sebagai tersangka. “Informasi baru, polisi sudah menetapkan dua tersangka dari tiga orang yang membawa Golfrid ke rumah sakit. Dugaan perampokan. Ini saya kira kasusnya diarahkan ke perampokan,” katanya.

Pernyataan tersebut dinilai Papang merupakan segregasi terhadap pejuang HAM dan lingkungan hidup. Papang menambahkan adanya hal janggal jika peristiwa yang dialami Golfrid adalah perampokan. Barang-barang milik Golfrid seperti ponsel, tas, dompet, hilang kecuali sepeda motor. “Motor merupakan barang mahal sebagai objek perampokan,” ujarnya.

Dalam kesempatan itu, Koalisi Pembela Hak Asasi Manusia mengeluarkan lima tuntutan, Pertama, pengusutan tuntas penyebab kematian Golfrid dilakukan oleh Mabes Polri.

Kedua, negara harus melakukan investigasi dengan segera dan tidak memihak atau memastikan bahwa suatu penyelidikan dilakukan dengan alasan yang masuk akal untuk percaya bahwa suatu pelanggaran terhadap HAM dan kebebasan telah terjadi dalam suatu wilayah jurisdiksinya. Sebagaimana yang tertera pada pasal 9 (5) Deklarasi Pembela Hak Asasi Manusia yang disahkan oleh PBB pada 9 Desember 1998.

Ketiga, Komnas HAM segera turun membentuk tim pencari fakta independen, karena peristiwa ini dialami oleh pembela lingkungan hidup dan hak asasi manusia.

Keempat, mendesak agar negara segera mengeluarkan kebijakan (Peraturan Presiden), yang memastikan jaminan perlindungan bagi pembela lingkungan hidup dan hak asasi manusia. Agar tidak ada lagi kriminalisasi dan tindak kekerasan yang berujung pada kematian.

Kelima, mendesak pemerintah dalam menyusun kebijakan dan menjalankan program pembangunan, menempatkan perlindungan hak hidup rakyat dan keberlanjutan ekologis prasyarat utama. Agar atas nama pembangunan tidak menempatkan barisan nyawa rakyat terancam dan kehancuran ekologis.