Wamen LHK Setuju Hutan Kinipan jadi Hutan Adat

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Hutan

Jumat, 11 September 2020

Editor :

BETAHITA.ID -  Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Alue Dohong, menawarkan agar hutan di Desa Kinipan, yang selama ini jadi sumber konflik antara masyarakat adat dan PT Sawit Mandiri Lestari (SML), dijadikan Hutan Adat.

Konflik lahan antara masyarakat adat di Desa Kinipan dan PT SML telah berlangsung bertahun-tahun dan terus memanas.

Baca juga: Pakar Hukum: Hutan Adat Tidak Harus Dilihat dari Legalitasnya

Usul tersebut disampaikan Alue Dohong dalam rapat pertemuan dengan pihak Pemerintah Daerah Kabupaten Lamandau, Pemerintah Desa Kinipan dan masyarakat Kinipan serta masyarakat desa lain yang wilayah desanya masuk dalam areal perkebunan PT SML, di Nangabulik, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah, Rabu (9/9/2020).

Tampak dari ketinggian sebagian hutan di wilayah adat Kinipan telah terbabat untuk perkebunan sawit PT SML./Foto: Betahita.id

Dimintai komentarnya tentang pertemuan tersebut, Alue Dohong menjelaskan, dirinya dan perwakilan Komisi IV DPR RI, yakni Wakil Ketua Komisi Dedi Mulyadi, anggota Darori Wonodipuro dan Bambang Purwanto, sudah melakukan pertemuan dan berdiskusi dengan berbagai pihak terkait konflik tenurial yang terjadi di Kinipan. Di antaranya, Pemerintah Kabupaten Lamandau beserta jajaran Forum Koordinasi Pimpinan Daerah, perwakilan masyarakat Kinipan, dan pemilik serta direksi PT SML.

"Berdiskusi terkait opsi yang ditawarkan, semuanya memberikan respon positif. Langkah selanjutnya adalah pertemuan teknis melibatkan Pemkab Lamandau, Pemdes dan masyarakat adat Desa Kinipan serta pihak PT SML. Untuk perumusan langkah-langkah realisasi opsi resolusi konflik tersebut. KHLK yang akan selenggarakan rapat tersebut. Rencananya di Jakarta," kata Alue Dohong, Jumat (11/9/2020).

Dalam siaran pers KLHK, Alue Dohong menjelaskan, terkait konflik tenurial yang terjadi di Desa Kinipan, selain sebagai regulator, pemerintah juga memiliki peran sebagai dinamisator, mediator dan fasilitator dalam mengatasi konflik yang terjadi. Untuk itu, pihaknya mencoba menawarkan solusi kepada para pihak yang berkonflik. Dengan melihat situasi dan kondisi masyarakat Desa Kinipan terlebih dahulu.

Jika masyarakat Kinipan memang menginginkan hutan di desanya dijadikan Hutan Adat, lanjut Alue Dohong, maka ada prosedur yang harus ditempuh. Karena Hutan Adat memerlukan legal formal dan pengakuan hukum Negara.

Akan tetapi jangan hanya dilihat dari objek dan subjek hutan adat dari sisi legal formalnya saja. Karena apabila memang terdapat praktek-praktek tradisional yang turun temurun diterapkan di hutan tersebut, maka itu merupakan satu kesatuan.

Secara teknis, apabila wilayah tersebut statusnya adalah Areal Penggunaan Lain (APL), maka yang diperlukan adalah Surat Keputusan (SK) Bupati tentang Hutan Adat. Namun jika wilayahnya adalah hutan Negara, maka sesuai regulasi, membutuhkan Peraturan Daerah (Perda).

"Kalau memang ada sebagian Desa Kinipan tidak mau menerima kebun plasma, dan di sana memang masih berupa hutan, dapat dijadikan sebagai Hutan Adat sebagai bagian dari HCV (High Conservation Value) pada lokasi izin," kata Wamen Alue Dohong. Namun iamengingatkan, untuk memperhatikan masyarakat yang menginginkan kebun plasma untuk perekonomian.

Selain Hutan Adat, Alue Dohong juga menawarkan solusi lainnya, salah satunya dengan menggunakan skema dalam program Hutan Sosial. Kawasan Hutan Produksi (HP) dan Hutan Produksi Konversi (HPK) yang ada di wilayah Desa Kinipan namun di luar konsesi PT SML, memungkinkan untuk dijadikan Hutan Desa yang dikelola oleh masyarakat adat.

Perusahaan Wajib Identifikasi HCV

Lebih lanjut Alue Dohong mengatakan, terdapat kewajiban yang harus dilakukan oleh perusahaan yang mendapatkan izin pelepasan kawasan. Yakni harus mengidentifikasi kawasan hutan yang bernilai konservasi tinggi atau HCV di lokasi izinnya.

"Artinya, dari izin (pelepasan kawasan hutan) tersebut tidak serta-merta semuanya dibuka, jika ada hutan yang bagus, ada biodiversitas flora dan satwa endemik yang dilindungi di sana, harus dialokasikan sebagai HCV."

Alue Dohong menguraikan, Presiden Joko Widodo telah membuat sejumlah corrective action atas kebijakan-kebijakan pemerintah yang kurang ideal. Salah satunya adalah dengan memberikan akses kepada masyarakat untuk terlibat di dalam mengelola hutan di Indonesia.

Hal itu juga termasuk legalisasi aset masyarakat melalui program Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) maupun Hutan Sosial. TORA yang memiliki target sebesar 4,1 juta hektare pelepasan kawasan hutan, bertujuan untuk memastikan tanah masyarakat memiliki alas legal yang resmi.

Sedangkan Hutan Sosial memiliki target sebesar 12,7 juta hektare memberikan akses legal masyarakat untuk mengelola kawasan hutan. Salah satu objek TORA adalah alokasi 20 persen dari izin pelepasan kawasan hutan yang diberikan kepada perusahaan.

"Jadi 20 persen dari izin itu untuk plasma yang merupakan obyek TORA, itu adalah kewajiban bagi perusahaan," kata Wamen Alue.

KLHK Diminta Evaluasi Perkebunan Sawit di Kinipan

Sementara itu, anggota Komisi IV DPR RI, Bambang Purwanto mengatakan kunjungan kerja Komisi IV DPR RI ke Lamandau 9-10 September 2020 kemarin dilakukan untuk mengumpulkan data sekaligus berkomunikasi langsung dengan masyarakat dan perusahaan, juga pemerintah kabupaten.

"Hasil kunjungan kerja ini nantinya akan dijadikan sebagai bahan pembahasan dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan pihak terkait untuk mencari solusi terbaik penyelesaian konflik. Makanya saya minta data lengkap. Secepatnya (RDP)," kata Bambang Purwanto, Kamis (10/9/2020).

Dalam RDP dengan Eselon I KLHK Rabu (9/9/2020), Komisi IV DPR RI mendorong KLHK untuk melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan kegiatan perkebunan kelapa sawit PT SML di Desa Kinipan seluas 19.000 hektare, mengingat tingginya potensi konflik tenurial yang terjadi. Laporan evaluasi tersebut diharapkan bisa disampaikan kepada Komisi IV DPR RI selambat-lambatnya sebelum dilaksanakannya Rapat Kerja dengan Menteri LHK.

Terpisah Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden, Usep Setiawan yang juga ikut dalam rombongan Wamen LHK dan Komisi IV DPR RI ke Lamandau, mengatakan, kunjungan kerja ini dilakukan untuk menunjukkan bahwa pemerintah pusat juga memberi perhatian serius dalam menangani dan menyelesaian konflik agraria di Kinipan.

"Pemerintah mendengar semua pihak yang terkait kasus ini. Pemerintah merumuskan opsi-opsi penyelesaian yang komprehensif dan berkeadilan bagi semua pihak dalam kasus ini," kata Usep, Jumat (11/9/2020).

Usep menguraikan, substansi terkait skema penyelesaian dan proses lebih lanjut bagi penyelesaian konflik tenurial Kinipan ini masih akan dimatangkan rumusannya oleh KLHK, setelah mendengar aspirasi semua pihak melalui kunjungan kerja tersebut.

"Secara khusus, Kantor Staf Presiden mendorong penyelesaikan kasus Kinipan ini sebagai model penyelesaian konflik agraria melalui jalan reforma agraria dan perhutanan sosial yang mengedepankan hak-hak komunal masyarakat adat dan kelestarian hutan serta lingkungan hidup."

Usep mengungkapkan, ada beberapa agenda yang dilakukan rombongan Wamen LHK ke Lamandau. Salah satunya melakukan kunjungan ke Desa Kinipan untuk meninjau lokasi dan berdialog dengan warga. Akan tetapi agenda tersebut dibatalkan, karena dalam perjalanan menuju Desa Kinipan rombongan Wamen LHK terhadang banjir.

Keinginan Desa Kinipan

Dalam pertemuan dengan Wamen LHK dan Komisi IV DPR RI, Kepala Desa Kinipan, Wilem Hengki mengatakan permasalahan konflik Kinipan ini bukan perkara menang atau kalah, tapi bagaimana kebijakan pemerintah menyelesaikan permasalahan ini.

"Kinipan hanya seujung kuku dari NKRI. Kinipan memilih kearifan lokal, Kinipan memilih melestarikan hutannya. Ada yang salah pak?," ujar Hengki dalam forum itu.

Hengki mengatakan, permasalahan konflik tenurial Kinipan berlarut-larut tak terselesaikan dan butuh perhatian dari pemerintah. Hengki juga mengatakan, dalam permasalah konflik masyarakat adat Kinipan dan PT SML, pihaknya tidak ingin desanya dibenturkan dengan desa lain.

"Kita tidak harus dibenturkan dengan desa-desa lain. Permasalahan Kinipan ya Desa Kinipan. Dan ini dijamin perda sebagai desa."

Hengki juga menyampaikan beberapa keinginan atau tuntutan masyarakat Desa Kinipan dalam permasalahan konflik lahan dengan PT SML. Di antaranya, meminta agar aktivitas pembabatan hutan oleh perusahaan dihentikan, karena masyarakat adat di Kinipan membutuhkan hutan untuk kearifan lokalnya. Selain itu, masyarakat adat Kinipan juga menuntut denda adat kepada pihak PT SML atas kerusakan atau pembabatan hutan di wilayah Kinipan.

"Masyarakat Desa Kinipan sangat setuju operasional perusahaan PT SML dihentikan. Namun kami ingin memastikan terlebih dulu berhenti yang dimaksud seperti apa dan sampai dimana. Maksudnya kita mau jelas titik koordinatnya di mana."

Selanjutnya yang kedua, masyarakat Desa Kinipan menolak kebun plasma yang ditawarkan dan dijanjikan oleh pihak PT SML. Terlebih karena selama ini dirinya sebagai kepala desa tidak pernah dilibatkan untuk mendiskusikan hal-hal terkait plasma tersebut dan tidak pernah diberi daftar calon penerima dan calon lokasi (CPCL) untuk Desa Kinipan.

Kemudian, masyarakat Desa Kinipan telah memiliki kesepakatan dengan berita acara terkait tapal batas dengan beberapa desa tetangga. Kecuali dengan Desa Karangtaba yang saat ini belum selesai. Sehingga pihaknya meminta agar pemerintah bisa memfasilitasi agar menghasilkan kesepakatan dengan Desa Karangtaba tanpa merusak kesepakatan Kinipan dengan desa-desa lain yang sudah dibuatkan berita acaranya.

"Masyarakat meminta status wilayah dan hutan adat di Kinipan segera diakui oleh pemerintah. Dengan hormat saya mohon."

Selanjutnya, masyarakat Kinipan meminta adanya revisi Hak Guna Usaha (HGU) PT SML dan mengeluarkan wilayah Desa Kinipan dari HGU PT SML. Karena masyarakat Kinipan tidak sepakat dan tidak dilibatkan dalam sertifikasi HGU PT SML.

"Kemudian masyarakat Kinipan meminta adanya rehabilitasi dan reforestasi terhadap hutan adat yang telah dirusak selama ini."

Masyarakat Kinipan juga meminta KLHK untuk menjelaskan terkait penyataan Wamen LHK yang menyebut bahwa hanya ada 900 hektare wilayah Kinipan yang masuk atau beririsan dengan wilayah kerja PT SML. Pihaknya juga meminta peta HGU PT SML yang sudah diterbitkan.

"Masyarakat meminta peraturan daerah atau SK Bupati beserta peta dan dokumen yang selama ini digunakan oleh Pemerintah Kabupaten Lamandau untuk menentukan desa-desa terutama di Kecamatan Batangkawa."

PT SML Tidak Masalah dengan Solusi yang Ditawarkan Wamen

Kepada sejumlah wartawan, setelah pertemuan dengan Wamen LHK dan Komisi IV DPR RI di Hotel Grand Kecubung, Pangkalan Bun, Kamis (10/9/2020), Humas PT SML, Wendi mengatakan pihaknya bersedia untuk menghentikan aktivitas kerja di lapangan.

Namun terkait pernyataan Kepala Desa Kinipan yang menyebut masyarakat Kinipan menolak program plasma, Wendi berpendapat, tidak seluruh warga Kinipan menolak program plasma. Karena ada sekitar 80 warga yang menginginkan plasma dari PT SML.

"Bahwa PT SML tidak masalah apabila kami harus berhenti pada satu titik. Cuma yang harus jadi perhatian bersama, pada saat dialog Kades menolak program plasma, tapi ada juga masyarakat berharap program plasma yang berjalan di beberapa desa itu ada juga di Kinipan. Tidak semua masyarakat kinipan menolak plasma," kata Wendi.

Terkait solusi yang ditawarkan Wamen LHK Alue Dohong, Wendi menyebut, hal tersebut masih akan dilakukan kajian oleh PT SML. Namun pada prinsipnya PT SML tidak mempersoalkan usulan solusi yang ditawarkan tersebut.

Pemerintah Mestinya Berpihak Kepada Masyarakat Kinipan

Direktur Save Our Borneo, Safrudin Mahendra mengatakan, pemerintah semestinya tidak perlu melakukan tawar-menawar terkait penyelesaian sengketa lahan yang terjadi di Kinipan. Justru pemerintah seharusnya hadir dan berada bersama masyarakat adat Kinipan.

"Langsung saja lakukan upaya-upaya guna mengakui dan melindungi masyarakat adat dan wilayah adat di kinipan. Saat ini yang paling penting adalah PT SML menghentikan dulu aktivitas pembukaan lahannya di wilayah adat Kinipan. Kemudian akui eksistensi masyarakat adat dan wilayah adat Kinipan. Tentu masyarakat pasti sudah memiliki rencana pengelolaan wilayah adatnya itu. Jadi tinggal pengakuannya (negara) saja," kata Safrudin, Jumat (11/9/2020).

Berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan Koalisi Keadilan untuk Kinipan, luas wilayah adat Desa Kinipan yang masuk dalam wilayah kerja PT SML diperkirakan jauh lebih besar dari luasan yang disebutkan oleh Wamen LHK Alue Dohong, yang hanya sebesar sekitar 900 hektare.

Luas wilayah Kinipan yang masuk dalam areal Izin Usaha Perkebunan PT SML diperkirakan seluas sekitar 4.541,12 hektare. Sedangkan yang masuk dalam areal HGU seluas sekitar 2.626,18 hektare.

Berdasarkan perhitungan hasil penginderaan jarak jauh menggunakan citra satelit tertanggal 30 Agustus 2020, luas wilayah adat Kinipan yang sudah digarap oleh perusahaan kurang lebih 1.857, 57 hektare.