Tak Libatkan Masyarakat Adat, RUU Cipta Kerja Digugat
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Hukum
Selasa, 29 September 2020
Editor :
BETAHITA.ID - Surat Presiden perihal Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja dinilai cacat dan harus dibatalkan. Salah satu alasannya karena penyusunan RUU Cipta Kerja tidak melibatkan masyarakat adat.
Hal tersebut disampaikan Perkumpulan HumA Indonesia dalam amicus curiae brief yang dikirimkan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta atas perkara Nomor 97/G/2020/PTUN.JKT, 21 September 2020 kemarin.
Baca juga: Greenpeace: RUU Cipta Kerja Ancam Ekosistem Pesisir dan Mangrove
"Kami menyusun amicus brief sebagai bentuk solidaritas penolakan RUU Cipta Kerja yang sedang dikebut oleh pemerintah dan DPR. RUU Cipta Kerja akan berdampak buruk bagi masyarakat adat, masyarakat lokal, petani, perempuan, buruh, nelayan, aktivis lingkungan, guru dan dosen, mahasiswa, konsumen, pengusaha sektor informal, pencari kerja, dan secara umum memang sangat merusak tatanan demokrasi kita," kata Dahniar Andriani, Koordinator Eksekutif HuMa, dalam siaran pers HuMa yang diterima pada Selasa (22/9/2020).
HuMa menganggap penyusunan RUU Cipta Kerja oleh pemerintah melanggar kewajiban untuk meminta persetujuan masyarakat adat.
Berdasarkan dalil-dalil di atas, HuMa sebagai penyusun amicus brief menyimpulkan bahwa Objek Sengketa melanggar undang-undang dan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Sehingga HuMa meminta kebijaksanaan Majelis Hakim untuk mengabulkan gugatan Para Penggugat, menyatakan batal atau tidak sah Objek Sengketa, dan mewajibkan Tergugat untuk mencabut Objek Sengketa.
Terpisah, Deputi Advokasi dan Riset HuMa, Erwin Dwi Kristianto mengatakan, majelis hakim PTUN yang menangani perkara gugatan Surat Presiden perihal RUU Cipta Kerja seharusnya memperhatikan dalil-dalil yang disampaikan dalam amicus brief HuMa tersebut.
"Dengan dalil-dalil yang ada, sudah selayaknya PTUN membatalkan surpres. Konsekuensinya pembahasan RUU (di DPR RI) harus dihentikan. Untuk kasus a quo, signifikansinya baru bisa dijawab dalam putusan, apakah hakim perkara a quo mempertimbangkannya (dalil-dalil) dalam putusan," kata Erwin, Selasa (29/9/2020).
Erwin menjelaskan, secara norma, hakim wajib mempertimbangkan amicus curiae yang diajukan oleh publik, karena Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman mengamanahkan hakim untuk mencari, menggali, dan mempertimbangkan rasa keadilan di masyarakat.
Dalam prakteknya, amicus curiae ini sering dimanfaatkan oleh publik, bahkan ahli dan lembaga negara, untuk memperkaya diskursus mengenai kasus. Bisa jadi menambah analisis hukum, atau mengajak hakim untuk menyadari signifikansi kasus tersebut dalam pemenuhan keadilan substantif.
"Bahkan jalur amicus curiae ini dipakai oleh lembaga negara seperti Komnas HAM dan Komnas Perempuan. Ada banyak putusan di mana majelis hakim mencantumkan amicus dalam putusannya, baik sependapat atau tidak sependapat dengan amicus. Misalnya Perkara Nomor 371/Pid.B/2020/PN.Jkt Utr."
Sejauh ini persidangan perkara gugatan Surat Presiden perihal RUU Cipta Kerja masih berlangsung di PTUN Jakarta. Pada Selasa (29/9/2020), imbuh Erwin, sidang digelar dengan agenda tambahan bukti surat terakhir. Diperkirakan persidangan perkara gugatan ini dalam waktu dekat akan segera berakhir.
Gugatan Surat Presiden RUU Cipta Kerja dengan Nomor 97/G/2020/PTUN.JKT ini diajukan oleh Koalisi Masyarakat Sipil pada 20 April 2020 lalu. Dalam perkara ini, para penggungat terdiri dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Merah Johansyah, dan Perkumpulan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).
Sedangkan pihak tergugat adalah Presiden Republik Indonesia. Dengan objek gugatan adalah Surat Presiden Republik Indonesia Nomor R-06/Pres/02/2020 perihal Rancangan Undang-Undang tentang Cipta Kerja.
Terbitnya Surat Presiden ini menandakan penyerahan RUU Cipta Kerja hasil penyusunan di pemerintah untuk dibawa ke tahap pembahasan di DPR RI. Pembahasan di DPR RI telah selesai dilakukan di Badan Legislatif dan hanya tinggal disahkan di Sidang Paripurna DPR RI.