Pejuang Lingkungan Syamsul dan Samsir Dihukum 2 Bulan Bui

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Hukum

Senin, 31 Mei 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Pejuang rehabilitasi mangrove, Syamsul Bahri dan M. Syamsul, terpaksa harus rela menerima hukuman 2 bulan pidana penjara yang diputuskan Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Stabat, Kabupaten Langkat, Sumetara Utara (Sumut). Meskipun sejumlah fakta yang terungkap dalam persidangan kasus dugaan penganiayaan yang dilaporkan oleh Harno Simbolon itu justru menunjukkan tuduhan yang dikenakan kepada pasangan bapak dan anak tersebut tidaklah meyakinkan.

Berdasarkan putusannya, Majelis Hakim yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Sapri Tarigan, Hakim Anggota Safwanuddin Siregar dan Hakim Anggota Dicki Irvandi memutuskan Terdakwa Syamsul Bahri dan M. Samsir bersalah dalam perkara nomor Nomor 124/Pid.B/2021/ PN Stb dan dijatuhi hukuman 2 bulan pidana penjara serta dikenakan masa percobaan selama 4 bulan.

Kuasa Hukum Terdakwa, Muhammad Alinafiah Matondang dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan mengatakan, meskipun dihukum 2 bulan kurungan penjara oleh Majelis Hakim, namun Terpidana Syamsyul dan Samsir tidak perlu menjalani hukuman pidana penjara tersebut. Karena hukuman tersebut dipotong waktu Syamsul dan Samsir menjalani penahanan selama kasus ini berlangsung.

"Tidak menjalani hukumannya yang dua bulan, karena dipotong masa penahanannya yang hampir 2 bulan. Tapi apabila dalam waktu 4 bulan ke depan ada melakukan tindak pidana maka Syamsul dan Samsir bisa dieksekusi langsung oleh Jaksa ditahan hukuman 2 bulan," kata Ali, Senin (31/5/2021).

Ketua dan Anggota Kelompok Tani Nipah, Syamsul Bahri (baju lengan panjang) dan M. Samsir (baju biru), diduga jadi korban kriminalisasi karena merehabilitasi mangrove di desanya./Foto: Betahita.id

Pihaknya dari LBH Medan sebagai Kuasa Hukum Syamsul dan Samsir masih meyakini bahwa kasus hukum yang dialami Ketua dan Anggota Kelompok Tani Nipah asal Desa Kwala Serapuh itu adalah kriminalisasi. Namun karena pertimbangan kesehatan dan kondisi Syamsul dan Samsir yang mengaku kelelahan menjalani proses hukumnya selama ini, maka diputuskan pihaknya tidak akan melanjutkan proses hukum Banding yang bisa ditempuh.

"Namun karena kelelahannya dari Terdakwa Syamsul dan Samsir memikirkan proses hukum ini mereka menyatakan tidak usah banding. Karena dilema juga bagi mereka, karena khawatir pada saat ditingkat banding putusan akan berubah dan akhirnya akan lebih buruk."

Direktur Eksekutif Yayasan Srikandi Lestari, Sumiati Surbakti yang selama ini mendampingi Kelompok Tani Nipah mengatakan, putusan Majelis terhadap kasus Syamsul dan Samsir itu sangat tidak berkeadilan dan tidak sesuai dengan fakta di persidangan yang terungkap. Fakta dimaksud salah satunya surat Visum et Refertum yang diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU) sebagai alat bukti dalam persidangan yang diakui oleh Majelis Hakim tidak berkuatan hukum.

"Keterangan saksi dari anggota kelompok (Tani Nipah) tidak dianggap, padahal mereka hadir di lokasi. Sedangkan saksi dari pelapor direspon padahal tidak ada di lokasi kejadian. Ini suatu kejanggalan yang sangat mengecewakan. Kolaborasi kejahatan untuk menundukkan semangat pejuang lingkungan," ujar Sumiati, Senin (31/5/2021).

Seperti diberitakan sebelumnya, pada 8 Februari 2021 lalu, Syamsul Bahri dan M. Samsir, bapak dan anak yang merupakan Ketua dan Anggota Kelompok Tani Nipah, Desa Kwala Serapuh, Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat mendapat surat panggilan dari Kepolisian Resort Tanjung Pura untuk dimintai keterangan pada 10 Februari 2021, sebagai tersangka terkait tuduhan yang diajukan oleh seorang bernama Harno Simbolon yang melapor ke polisi dan menuduh Syamsul, Samsir dan petani lainnya menyerang dia pada 18 Desember 2020.

Keduanya dinyatakan melanggar Pasal 170 ayat 1 KUHP tentang tindak pidana kekerasan. Tuduhan tersebut menimbulkan pertanyaan karena Syamsul dan Samsir tidak pernah diperiksa sebagai saksi atau dimintai keterangan terkait laporan tersebut sebelumnya.

Di hari yang sama saat memenuhi panggilan tersebut, bapak dan anak ini kemudian ditahan. Keduanya sempat berada di sel tahanan selama 14 hari, sampai penangguhan penahanan mereka dikabulkan oleh Kepolisian Resort Langkat pada 24 Februari 2021.

Pada awal bulan Maret, kepolisian melimpahkan berkas perkara ke Kejaksaan Negeri Langkat. Kejaksaan telah melimpahkan berkas perkara ke PN Stabat. Jika dinyatakan bersalah dengan melanggar Pasal 170 ayat 1 KUHP, Syamsul dan Samsir terancam menghadapi pidana penjara maksimal 5 tahun dan 6 bulan.

Apa yang dialami Syamsul dan Samsir ini diduga kuat merupakan upaya kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan. Perlu diketahui, Kelompok Tani Nipah yang diketuai Syamsul pada 2018 lalu mendapatkan Surat Keputusan (SK) perjanjian pengelolaan hutan berbasis kemitraan, dengan Nomor SK.6187/MENLHK-PSKL/PKPS/PSL.0/9/2018 tentang Pengakuan dan Perlindungan Kemitraan Kehutanan (Kulin KK) antara Kelompok Tani Nipah Dengan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Wilayah I Stabat, Desa Kwala Serapuh, Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara Seluas lebih kurang 242 Hektare.

Dengan adanya SK tersebut, Kelompok Tani Nipah melakukan berbagai upaya rehabilitasi kawasan dengan penanaman mangrove atau bakau jenis Rhizopora, dan Nipah. Mereka menanam mangrove, membuka kanal agar air laut leluasa keluar masuk untuk mengairi wilayah kelola masyarakat.

Namun dalam areal konsesi terdapat perkebunan kelapa sawit sekitar 65 hektare yang diduga kuat tidak memiliki izin dan berada di Pulau Nibung (Pulau Serawak). Hal tersebut menimbulkan ketegangan antara pihak pemilik kebun sawit dan Kelompok Tani Nipah. Ketegangan inilah yang diduga kuat membuat Syamsul dan Samsir ditahan dengan tuduhan pengeroyokan dan penganiayaan.