Cerita Warga Korban UU Minerba

Penulis : Kennial Laia

Tambang

Rabu, 23 Juni 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Setahun sejak rancangan undang-undang (RUU) Minerba disahkan, petani dan nelayan mulai merasakan dampaknya. Rakyat kecil itu, terutama yang aktif melawan kegiatan tambang di kampung-kampung, mengaku dikriminalisasi dengan pasal karet dalam aturan tersebut.

Salah satu pasal yang sedari awal dipermasalahkan adalah pasal 162 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba). 

Pasal ini berbunyi “Setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan Usaha Pertambangan dari pemegang IUP, IUPK, IPR, atau SIPB yang telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).”

Pasal ini disebut pasal karet karena dapat mengkriminalisasi masyarakat dan kelompok masyarkat sipil yang mengkritisi praktik merusak perusahaan tambang.

Gerakan masyarakat sipil yang tergabung dalam #BersihkanIndonesia menggelar aksi protes terhadap UU Minerba di Jakarta, Senin, 21 Juni 2021. Foto: Istimewa

Hal itu dialami oleh Yaman, seorang nelayan yang tinggal di Desa Matras, Kecamatan Sungailiat, Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

Pada 10 November 2020, Yaman yang merupakan Ketua Kesatuan Nelayan Tradisional Pesisir Matras bersama nelayan lainnya menggelar aksi damai dengan menaiki kapal isap pasir milik PT Timah yang beroperasi di sekitar pesisir Pantai Matras sejak 9 November 2021.

“Aksi ini untuk mengusir kapal itu. Kami minta kapal itu balik agar tidak menambang di situ,” jelas Yaman dalam konferensi pers virtual, Senin, 21 Juni 2021.

Menurut pria berusia 39 tahun itu, nelayan di Desa Matras telah menolak kehadiran PT Timah sejak 2015. Yaman bilang, wilayah izin usaha pertambangan perusahaan berpelat merah itu mencapai luas 6.000 hektare, terbentang dari Pantai Matras hingga Pesaren.

Pihaknya geram karena kegiatan tambang itu berdampak pada jumlah tangkapan nelayan. Hingga hari ini jumlah tangkapan nelayan telah berkurang jauh. Nelayan yang tadinya dapat menangkap 70 hingga 80 kilogram ikan setiap melaut, kini hanya bisa menghasilkan 10 kilogram saja.

Hal itu karena aktivitas penambangan pasir menghasilkan sedimen bawah laut yang terangkat ke permukaan. Kapal-kapal pasir isap milik PT Timah beroperasi 0-2,5 mil dari bibir pantai juga mengusir ikan-ikan.

Akibatnya nelayan harus menempuh jarak lebih jauh. Namun, kapal tradisional berukuran 8 meter yang biasa mereka gunakan hanya dapat menjaring ikan tak lebih dari 2,5 mil. Selain kesulitan menjaring ikan, Yaman mengaku nelayan rugi karena operasional bertambah untuk membeli solar.

Beberapa hari setelah aksi, Yaman dan 12 nelayan lain menerima surat panggilan dari kepolisian. Di kantor polisi, mereka dikenai sanksi pasal 162 UU Minerba karena aksi protes itu dianggap “menghalangi usaha pertambangan.”

Hal serupa dialami Nurul Aini, 46 tahun, warga Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Desa itu adalah desa terdekat dengan area pertambangan emas milik PT Bumi Suksesindo (PT BSI) yang beroperasi di Gunung Tumpang Pitu.

Perempuan petani itu mengaku terjadi konflik sosial antara warga desa sejak perusahaan itu datang. Selama bertahun-tahun terjadi pro dan kontra. Dia juga menyebut PT BSI telah “menghabisi” gunung yang menjadi sumber resapan air bagi masyarakat lokal yang berprofesi sebagai petani dan nelayan.

Nurul mengaku aktif melawan kehadiran perusahaan tambang emas itu karena memikirkan generasi di masa mendatang. Dia khawatir karena telah merasakan kekurangan air.

Karena kegiatannya itu, Nurul mengaku telah dipanggil ke kantor polisi beberapa kali. Parahnya lagi dia menerima berbagai macam intimidasi dari ‘preman tambang’.  Dia juga pernah menerima ancaman bahwa rumahnya akan dibakar.

“Saya menolak tambang itu bukan tanpa alasan. Sebagai seorang ibu, saya memikirkan anak cucu saya kelak,” katanya.

Karena itu pula Nurul memutuskan ikut menjadi pemohon dalam permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang pertambangan Mineral dan Batubara tersebut (UU Minerba). 

Gugatan itu telah dilayangkan  secara daring, Senin, 21 Juni 2021. Bersama Nurul, dua organisasi masyarakat sipil yakni Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Nasional dan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur turut menjadi pemohon.

Nurul bilang, dia ingin undang-undang itu dicabut. Dia memimpikan kehidupan desa yang tenang, di mana petani dan nelayan bisa mencari penghidupan tanpa konflik sosial dan intimidasi dari perusahaan tambang.

Yaman yang turut menjadi pemohon judicial review itu mengatakan hal serupa. “Harapan saya aturan itu dicabut, apalagi pasal 162 itu sangat memberatkan nelayan,” pungkasnya.