Sangihe, Si Zamrud Kecil yang Terancam Tambang
Penulis : Kennial Laia
Tambang
Sabtu, 10 Juli 2021
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Di ujung utara Sulawesi, ada sebuah zamrud bernama Kepulauan Sangihe. Wilayah ini berbatasan langsung dengan Pulau Mindanao, Filipina, dan merupakan salah satu pulau terluar Indonesia. Luasnya 737 kilometer persegi, menjadikannya sebagai pulau kecil. Meski begitu, kekayaannya berlimpah. Hutan primer, satwa endemik, sumber daya bahari, hingga kearifan lokal penduduknya.
Masyarakat Sangihe hidup berdampingan dengan alam secara turun-temurun. Menurut Jull Takaliuang, aktivis lingkungan yang tumbuh dan besar di pulau tersebut, penduduk Sangihe memiliki kearifan lokal yang menghargai alam. Salah satunya, upacara adat Tulude yang diwariskan nenek moyang.
Tulude berasal dari kata suhude yang artinya melepaskan sesuatu dari ketinggian hingga meluncur ke bawah. Namun dalam upacara sakral itu, maknanya menjadi menolak bala atau bencana. Upacara ini berlangsung selama 31 Januari hingga 2 Februari.
“Upacara itu adalah ungkapan syukur atas pemeliharaan Tuhan kepada manusia dan alam di sepanjang tahun yang lewat, dan memohon pertolongan Sang Pencipta untuk tahun yang baru,” kata Jull.
Perayaannya disertai dengan tarian adat, pembuatan kue adat, dan nyanyian syukur dan doa-doa kepada Mawu Ruata Ghenggong Langi atau Tuhan yang Mahakuasa. Doa itu dipanjatkan untuk menjaga alam dan lingkungan di Sangihe, jelas Jull.
Wajar, masyarakat Sangihe memang hidup bergantung pada alam. Mayoritas penduduk adalah petani dan nelayan. Data statistik kelautan dan perikanan milik pemerintah menyebut Kepulauan Sangihe sebagai tiga besar dari ekonomi nelayan terbanyak di Sulawesi Utara.
Badan Pusat Statistik Sulawesi Utara mencatat, selama periode 2017-2019, produksi perikanan laut Kepulauan Sangihe masuk enam terbesar dari 15 kabupaten/kota. Berturut-turut menghasilkan 31.123,22 ton, 18.816 ton, dan 13.673 ton.
Tak hanya hasil laut, ada pula gunung bawah laut bernama Gunung Api Banua Wuhu di Pulau Mahengetang serta enam Gugusan Gunung Api Kawio Barat. Ada ekosistem bakau seluas 632 hektare dan tertumbu karang diperkirakan mencapai 6.773 hektare, membentang dari Brave Hills Napo-Para Island hingga Pulau Bukide.
Salah satu prosesi upacara adat Tulude, mengusung kue adat Tamo diiringi tambur dan tetua adat di Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara. Foto: budaya-indonesia.org
Di daratan, ada Gunung Sahendaruman, yang merupakan hulu 70 sungai. Gunung ini merupakan huten primer berstatus lindung. Di sini pula, berhabitat seriwang sangihe (Eutrichomyias rowley) atau manu’ niu dalam bahasa lokal yang berstatus kritis atau terancam punah.
Burung seriwang sangihe bahkan sempat hilang 100 tahun, namun muncul kembali dalam 20 tahun terakhir. Masih ada sembilan burung endemik di hutan itu. Empat kritis dan lima rentan.
Ada juga kuskus beruang talaud (Talaud bear cuscus), spesies marsupial Phalangeridae dan merupakan hewan endemik. Satwa ini tersebar hanya di tiga pulau di dunia yakni Pulau Salibabu, Kabupaten Kepulauan Talaud; serta Pulau Nusa dan Pulau Buide di Kabupaten Kepulauan Sangihe.
Menurut Jull, flora dan fauna di wilayah kabupaten itu sangat terjaga. Sebab, masyarakat tidak mengeksploitasi sumber daya alam secara berlebihan. Masyarakat mengambil sesuai dengan kebutuhan, bahkan ada wilayah di Gunung Sahendaruman yang tidak dijamah.
“Manusia mempunya batasan untuk memanfaatkan sejauh yang disadari bahwa ada hal-hal lain yang tidak perlu disentuh dalam konteks sumber daya alam.
“Kesadaran itu bertumbuh sejak lama bahwa ada area tertentu yang tidak pernah didatangi kecuali ada peneliti masuk ke situ. Pola pikir orang Sangihe sederhana, bukan karena terbatas, tapi kearifan lokal yang sangat tinggi,” tutur Jull.
Di bawah ancaman tambang
Kini kearifan lokal itu berada di bawah ancaman pertambangan emas. Menurut Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), PT Tambang Mas Sangihe (TMS), perusahaan asal Kanada telah mengkavling 57% dari keseluruhan pulau, seluas 42.000 hektare.
Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, PT TMS merupakan pemegang Kontrak Karya Generasi ke-VI. Izin konsesinya mencakup Gunung Sahendaruman, termasuk di dalamnya 80 desa dan 7 kecamatan.
“Di dalam area izin itu ada kehidupan, sehingga ada perampasan ruang hidup,” kata Merah.
Peta konsesi tambang emas PT Tambang Mas Sangihe yang mencakup lebih dari setengah luas Kepulauan Sangihe. Foto: Jatam Nasional
Advokasi Jatam selama ini menemukan pulau-pulau kecil yang dijadikan tambang mengalami kerusakan ekologis yang masif dan kehilangan ruang penghidupan masyarakat. Di Kepulauan Sangihe, kata Merah, kerusakan itu mulai terlihat dengan hilangnya hutan mangrove seluas 3,5 hektare di area pertambangan di Teluk Binebase.
“Kalau kegiatan tambang emas ini dimulai, kerusakannya bisa sampai 10 kali lipat,” terang Merah.
Kerusakan itu termasuk hilangnya sejarah dan identitas orang Sangihe. Gunung Sahendaruman, misalnya, adalah tempat yang dipercaya sebagai awal mula Kerajaan Sangihe-Talaud.
“Ini kekayaan hayati luar biasa yang tidak bisa dikompensasi kalau rusak. Selain itu ada juga identitas, sejarah dan kebudayaan yang tidak ternilai yang akan dikorbankan hanya demi emas,” kata Merah.
Masyarakat dari berbagai elemen menolak kehadiran perusahaan tambang emas asal Kanada PT Tambang Mas Sangihe. Foto: Istimewa
Sentimen Jull serupa. Dia percaya di mana ada tambang, di situ ada kehancuran lingkungan. Dia khawatir, kehidupan yang tenteram dan sejahtera itu hilang. Bayang-bayang pencemaran, kemiskinan, prostitusi, dan kekerasan terhadap perempuan bisa meningkat. Karena itulah, masyarakat sepakat menolak tambang.
Penolakan itu termasuk pengajuan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta oleh lima warga Sangihe awal Juli lalu. “Satu-satunya tuntutan kami adalah pencabutan izin (PT TMS). Tidak ada kompromi,” kata Jull.
Mengapa masyarakat menolak? Begini jawaban Jull.
“Patokan kesejahteraan dan kebahagiaan, jangan hanya diukur dari uang. Hidup bersahaja. Mengambil secukupnya dari alam, dan menghargai alam. Itu cukup.”