Indonesia dan Lebih dari 40 Negara Setuju Meninggalkan Batu Bara

Penulis : Syifa Dwi Mutia*

Perubahan Iklim

Sabtu, 06 November 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Lebih dari 40 negara telah setuju untuk menyetop penggunaan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara secara bertahap. Deklarasi tersebut diumumkan pada konferensi perubahan iklim atau COP26 di Glasgow, serta merekognisi batu bara sebagai dalang pemanasan global. 

Negara-negara pengguna batu bara utama, termasuk Indonesia, Kanada, Korea Selatan, Polandia, Ukraina, dan Vietnam telah setuju dalam kesepakatan melakukan transisi energi lebih cepat. Namun beberapa negara yang bergantung dengan batu bara, termasuk Australia, Cina, India, dan AS tidak ikut menandatangani deklarasi. 

Negara ekonomi maju berkomitmen berhenti menggunakan PLTU batu bara pada 2030. Sementara itu negara ekonomi rendah menargetkan hal serupa pada 2040. Mereka juga berjanji untuk mengakhiri semua investasi pembangkit listrik tenaga batubara baru di dalam maupun luar negeri. 

Penggunaan batu bara adalah salah satu penyebab terbesar emisi gas rumah kaca, sebagaimana yang disampaikan oleh Badan Energi Internasional (IEA). Emisi dari energi kotor ini juga kembali meroket setelah sempat turun akibat lockdown pandemi tahun lalu. 

PLTU batu bara Pelabuhan Ratu, Banten. Foto: Greenpeace

Indonesia menyatakan keinginannya untuk menutup operasi PLTU batu bara sebelum 2040. Menurut Tata Mustasya, Koordinator Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara, inisiatif ini dapat menjadi jalan keluar bagi Indonesia untuk menghentikan operasi PLTU batu bara di 2040.

“PLTU batu bara dengan kapasitas saat ini sebesar 31,9 GW telah berkontribusi sangat besar terhadap krisis iklim serta dampak kesehatan, sosial, dan ekonomi yang merugikan rakyat Indonesia. Belum lagi tambahan sebesar 13,8 GW PLTU di dalam RUPTL 2021-2030, 90 persen di antaranya akan dibangun di Jawa dan Sumatera yang sudah mengalami kelebihan kapasitas,” kata Tata, Jumat, 5 November 2021. 

Tujuan “menyerahkan batu bara ke dalam sejarah” telah menjadi fokus utama bagi Inggris untuk mendorong dunia membatasi pemanasan global dan berada 1,5 derajat celcius di atas tingkat pra-industri.

Sekretaris Bisnis dan Energi Inggris Kwasi Kwarteng, melihat melihat komitmen ini sebagai bentuk ambisi negara-negara untuk menghentikan penggunaan batu bara.

“Hari ini menandai momen paling penting dalam upaya global kita untuk mengatasi perubahan iklim, sebagaimana negara-negara dari seluruh penjuru dunia bersatu di Glasgow untuk menyatakan bahwa batu bara tidak berperan dalam pembangkit listrik di masa depan kita. Komitmen ambisius hari ini yang dibuat oleh mitra internasional kita menunjukkan bahwa akhir dari batu bara sudah di depan mata,” kata Kwarteng, dikutip oleh The Guardian (3/11).

Beberapa juru kampanye lainnya menyambut baik atas pengumuman penghentian penggunaan batu bara, yang juga mencakup komitmen oleh lebih dari dari 20 negara untuk menghentikan pendanaan pengembangan bahan bakar fosil di luar negeri pada akhir 2022, dan mengalihkan sekitar $8 miliar per tahun yang dihemat ke dalam investasi energi bersih sebagai gantinya.

Sependapat dengan Kwarteng, Direktur Sosial di lembaga penelitian E3G, Chris Littlecott, mengatakan, “Komitmen pada batu bara ini jelas merupakan kemajuan besar, dan tidak terpikirkan satu atau dua tahun yang lalu. Ini adalah tanda perbaikan yang nyata.”

Di sisi lain, komitmen ini dilihat masih belum cukup jauh. Direktur kampanye di Friends of Earth Jamie Peters, mengatakan, “Poin utama dalam pengumuman yang mengecewakan ini adalah bahwa batu bara pada dasarnya diizinkan untuk terus berjalan seperti biasa selama bertahun-tahun. Beberapa orang mungkin mendengar apa yang dikatakan perdana menteri pada pembukaan COP, membandingkannya dengan ini, dan bertanya-tanya mengapa ada perbedaan antara kata-kata dan tindakan.”

Para ahli dan juru bicara mengatakan bahwa perjanjian penghentian yang ditandatangani oleh para negara itu sudah sangat terlambat. Penilaian para ahli menemukan bahwa untuk mencapai tujuan tersebut, negara-negara maju harus menghapus batu bara secara bertahap sebelum tahun 2030, bukan pada 2030-an seperti kesepakatan baru tersebut.

Koordinator kebijakan batu bara senior di kelompok Climate Action Network Europe, Elif Gündüzyeli, mengatakan, “ini bukan pengubah permainan. Batas waktu penghentian bertahap tahun 2030 harus minimum, dan perjanjian ini tidak memilikinya. Batubara sudah mahal [dibandingkan dengan energi terbarukan] dan tidak ada yang mau menaruh uang lain di batu bara.”

Sekretaris Bisnis Shadow Inggris, Ed Miliband mengatakan pada BBC (4/11) ada "kesenjangan mencolok" dari Cina dan penghasil emisi besar lainnya, yang belum berkomitmen untuk menghentikan peningkatan penggunaan batu bara domestik.

Miliband juga mencatat bahwa tidak ada penghapusan minyak dan gas secara bertahap. Ia mengatakan pemerintah Inggris telah melakukan pembiaran terkait hal tersebut. 

Kepala delegasi Greenpeace di COP26, Juan Pablo Osornio, mengatakan, "Secara keseluruhan pernyataan ini masih jauh dari ambisi yang dibutuhkan untuk bahan bakar fosil dalam dekade kritis ini. ’Cetakan kecil’ itu tampaknya memberi negara-negara kelonggaran besar untuk memilih tanggal penghentian mereka sendiri." 

Jika dunia ingin tetap berada dalam batas 1,5 derajat celcius, IEA mengatakan semua pengembangan baru bahan bakar fosil harus dihentikan mulai tahun ini. Direktur eksekutif IEA, Fatih Birol, juga sering menyerukan agar dunia berhenti menggunakan batu bara, yang menghasilkan lebih banyak karbon ketimbang sumber listrik lainnya, jika krisis iklim ingin ditangani.

Penulis merupakan reporter magang di betahita.id