Pembangkangan Konstitusi dan Ancaman Ekologi

Penulis : Aryo Bhawono

Hukum

Kamis, 03 Februari 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Pemberlakuan UU Cipta Kerja dan peraturan turunannya pasca putusan Mahkamah Konstitusi dianggap sebagai pembangkangan konstitusi. Sikap ini diduga terkait dengan niat mengeksploitasi sumber daya alam.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mencatat selama ini UU Cipta menjadi dasar hukum pemerintah untuk menggenjot 211 proyek dan program strategis nasional. Seluruh program pemerintah ini berpotensi merampas wilayah kelola rakyat, deforestasi, merusak lingkungan, dan penggusuran. 

Seluruh program pemerintah tersebut antara lain sebanyak 47 proyek bendungan, 56 proyek pembangunan jalan tol, 15 proyek pelabuhan, 8 proyek pembangunan bandara, 16 proyek kereta api, 15 proyek sektor energi, program food estate, program Pengembangan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) di 5 provinsi, serta lainnya. 

Tinjauan Lingkungan Walhi 2022 bertajuk Membangkang Konstitusi Mewariskan Krisis Antar Generasi mencatat selain kepentingan program pemerintah kondisi ekologi Indonesia juga terancam oleh aktivitas tambang dan perkebunan. Sebanyak 33,4 juta Hektar hutan Indonesia dibebani izin usaha pemanfaatan hasil hutan yang dikuasai oleh 1.502 unit perusahaan. Lebih dari 4,5 juta Ha hutan ditambang.

Aksi petani menolak Undang-Undang Cipta Kerja Omnibus Law di Jakarta, 2020. Foto: Konsorsium Pembaruan Agraria

Program pemerintah dan penguasaan hutan untuk investasi pun menyisakan konflik. Hingga 2021 Walhi mencatat 72 persen konflik terjadi pada proyek-proyek perusahaan swasta, diikuti dengan 13 persen konflik yang terjadi pada PSN. 

Selain itu kriminalisasi terhadap warga yang mempertahankan wilayah kelolanya dari ancaman investasi marak terjadi. Sepanjang 2021 sebanyak 58 kasus, tertinggi kriminalisasi yang terjadi di sektor pertambangan sebanyak 52 persen dan kriminalisasi di sektor kehutanan dan perkebunan sebanyak 34 persen. 

Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Zenzi Suhadi, menganggap negara telah gagal melindungi keselamatan rakyat, wilayah kelola rakyat serta lingkungan hidup dengan serangkaian kebijakan, produk hukum dan program-programnya. Apalagi ditambah dengan gelagat pemerintah mengesampingkan putusan MK No. 91/ PUU-XVIII/2020 yang menyebutkan UU No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. 

“Seperti yang baru-baru saja terjadi, penerbitan Peraturan Presiden No. 113 Tahun 2021 tentang Struktur dan Penyelenggaraan Badan Bank Tanah, pasca putusan MK yang menyatakan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat,” kata dia.

Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako), Feri Amsari, mengungkapkan pengesampingan putusan MK ini juga dilakukan kembali oleh pemerintah ketika mengesahkan UU Ibu Kota Negara. Ketidaklengkapan studi, rendahnya mutu naskah akademik, dan minimnya partisipasi publik dalam UU itu dilakukan oleh pemerintah dan DPR. 

Ia menyebutkan pemerintah tak memiliki pertimbangan kepentingan publik ataupun ekologi ketika memutuskan UU itu. Modal mereka hanya rasa percaya diri karena memiliki kekuatan politik besar.

Padahal berbagai studi kelayakan lingkungan, pembangunan perkotaan, hingga berbagai studi sosial seharusnya dipenuhi. Proses pembentukan perundangan paling memenuhi pertimbangan hakim konstitusi dalam putusan MK mengenai UU Cipta Kerja 

“Toh bagi mereka masyarakat sipil tidak bisa apa-apa sehingga bisa disahkan,” ucap dia.