Polda Sultra Dilaporkan ke Propam Polri terkait Tambang PT GKP

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Tambang

Minggu, 03 April 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Selamat Wawonii secara resmi melaporkan Kepolisian Daerah (Polda) Sulawesi Tenggara (Sultra) dan Kepolisian Resort (Polres) Kendari ke Divisi Provesi dan Pengamanan (Propam) Polri, pada Jumat (1/4/2022). Alasannya, Polda Sultra diduga melakukan sejumlah pelanggaran, baik HAM, pidana, maupun etik dalam konflik tambang PT Gema Kreasi Perdana (GKP).

Keberadaan perusahan tambang anak perusahaan Harita Group, di Pulau Wawonii, Kabupaten Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara, ini belakangan menjadi momok bagi masyarakat. Tambang ini mengancam keselamatan warga, mulai dari menggusur lahan pertanian-perkebunan hingga berpotensi mencemari laut. Padahal keduanya merupakan sumber ekonomi utama dari lebih dari 37.000 jiwa warga di Pulau Wawonii.

Tidak hanya mengancam keselamatan dan ruang hidup warga, aktivitas pertambangan yang dilakukan PT GKP juga terindikasi ilegal. Karena banyak ditemukan pelanggaran hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), mulai dari aktivitas tambang di pulau kecil, Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) yang kedaluwarsa, upaya kriminalisasi terhadap puluhan warga penolak tambang, hingga pengerahan aparat keamanan untuk mengintimidasi warga.

"Berdasarkan informasi yang kami dapatkan, PT GKP kembali melakukan pelanggaran hukum, karena melakukan aktivitas pertambangan di atas lahan yang secara sah dimiliki oleh warga," ungkap Muhammad Jamil, Juru Bicara Koalisi Selamat Wawonii dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Nasional, Jumat (1/4/2022).

Perwakilan Koalisi Selamat Wawonii melaporkan Polda Sultra dan Polres Kendari ke Divisi Propam Polri, Jumat (1/4/2022)./Foto: Koalisi Selamat Wawonii

Sebelumnya, pada Kamis (3/3/2022) lalu, PT GKP melakukan penerobosan dan penggusuran dengan melibatkan pengawalan oleh pihak Polda Sulawesi Tenggara di lahan milik La Dani dan Sahria. Keduanya merupakan warga penolak tambang di Roko-Roko Raya yang menolak lahannya menjadi jalan tambang (hauling) perusahaan.

Penerobosan dan penggusuran lahan milik La Dani dan Sahria ini adalah kejadian penggusuran lahan milik warga yang kelima yang dilakukan PT GKP. Penggusuran pertama terjadi pada 9 Juli 2019 di lahan milik Ibu Marwah. Kedua pada 16 Juli 2019 di lahan milik Pak Idris. Ketiga, pada 22 Agustus 2019 di lahan milik Pak Amin, Bu Wa Ana, dan Pak Labaa (Alm). Keempat, pada 1 Maret 2022 di lahan milik Pak La Dani dan Bu Sahria.

Jamil menyebut, warga yang berjuang mempertahankan tanah miliknya tersebut justru dihadapkan dengan aparat hukum dan keamanan bersenjata lengkap yang represif. Para aparat ini bahkan mengancam warga penolak tambang untuk ditangkap dan dibawa ke markas Polda Sultra, karena dianggap menghalang-halangi aktivitas perusahaan tambang PT GKP.

Berdasarkan informasi warga, lanjut Jamil, pascaupaya penyerobotan lahan pada 1 dan 3 Maret 2022 lalu aparat kepolisian masih lalu-lalang di Roko-Roko Raya, dan menginap di basecamp PT GKP. Koalisi juga mendapat informasi yang menyebut bahwa sehari setelah aksi penghadangan, salah seorang perempuan yang terlibat dalam penghadangan didatangi oleh aparat kepolisian (3 orang, 1 berpakaian dinas).

"Dengan nada intimidatif aparat kepolisian menanyakan soal siapa yang menyuruh perempuan melakukan aksi setengah telanjang, lalu polisi tersebut mengancam akan memproses hukum dengan menggunakan UU Pornografi," lanjut Jamil.

Berdasarkan atas penggunaan kekuatan secara berlebihan dan upaya intimidatif yang dilakukan oleh pihak kepolisian, Koalisi Selamat Wawonii berpendapat, Polda Sultra diduga telah melanggar beberapa ketentuan, baik secara HAM, pidana, maupun etik, terkait Pasal 335 Ayat (1) KUHP, Perkap Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian, Perkap Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi, dan Perkap Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian.

"Berangkat dari keterangan tersebut di atas, kami juga menilai adanya pelanggaran HAM berupa pembiaran (by omission) yang dilakukan oleh aparat kepolisian setempat. Hal tersebut dibuktikan dengan sikap dan tindak aparat keamanan Polda Sultra yang tidak mengambil suatu tindakan hukum apapun, serta tidak mengambil tindakan secara preventif untuk memitigasi konflik yang terjadi," terang Jamil.

Selain itu, Koalisi juga menilai kepolisian setempat tampak cenderung mengkawal jalannya aktivitas industri pertambangan pada saat penerobosan lahan sejumlah warga Wawonii yang dilakukan oleh PT GKP, tanpa mempertimbangkan akar masalah sesungguhnya. Padahal PT GKP diduga melakukan sejumlah pelanggaran hukum.

Pertama, PT GKP menambang di pulau kecil yang tentu saja melanggar amanat UU No. 7 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, menerobos lahan warga tanpa didahului penyelesaian hak atas tanah sebagaimana diamanatkan UU No 4 Tahun 2009 jo UU No 3 Tahun 2020 jo UU 11 Tahun 2020.

Kedua, Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) yang diterbitkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada tahun 2014 kepada PT GKP sesungguhnya telah kedaluwarsa. Sebab tiga tahun setelah penerbitan IPPKH tersebut PT GKP tidak melakukan kegiatan apapun di kawasan IPPKH.

Dalam rapat uji administrasi laporan warga ke Ombudsman RI, dalam berita acara tentang Permintaan Keterangan pada 19 Mei 2020, yang dipimpin oleh Komisioner Ombudsman La Ode Ida, dinyatakan oleh Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan bahwa berdasarkan kunjungan lapangan dari Ditjen Gakkum KLHK, pascapenerbitan IPPKH untuk PT GKP pada 2014, pihak perusahaan tidak melakukan aktivitas apapun selama tiga tahun. Sehingga berdasarkan PP 27 Tahun 2012, Pasal 50 Ayat (2) huruf e, dianggap kedaluwarsa karena baru melaksanakan konstruksi pada 2019.

"Ironisnya, pihak PT GKP justru menjadikan IPPKH yang kedaluwarsa itu sebagai dasar untuk melaporkan warga kepada polisi. Yang mana aparat kepolisian justru menindaklanjuti laporan tersebut dengan melakukan pemanggilan, pencarian, penangkapan secara paksa terhadap sejumlah warga," ujar Jamil.

Ketiga, Izin Lingkungan yang dimiliki PT GKP tidak sesuai dengan penataan ruang. Karena dalam Perda RZWP3K dan Perda RTRW Provinsi Sultra tidak ada alokasi ruang untuk tambang dan terminal khusus (tersus). Jika PT GKP mengklaim bahwa telah sesuai dengan Perda RTRW Kabupaten Konawe Kepulauan, maka sesungguhnya keliru, sebab izin tambang dan izin lingkungan telah lebih dulu ada sebelum Perda RTRW Konkep No 2 Tahun 2021 disahkan. Dan, hukum tidak dapat berlaku mundur.

Adapun terkait Terminal Khusus (Tersus) PT GKP, sesungguhnya melanggar RZWP2K No 9 Tahun 2018. Yang mana lokasi Tersus tersebut adalah diperuntukan untuk wilayah perikanan tangkap tradisional. Hal ini juga dikuatkan dengan Dinas Perikanan dan Kelautan Sultra dan Kementerian Kelautan dan Perikanan tidak memberikan rekomendasi apapun terkait pembangunan Tersus tersebut.

Keempat, Klaim PT GKP bahwa memiliki izin lingkungan sebagai legitimasi atas keberadaan perusahaan di Pulau Wawonii sesungguhnya juga keliru. Sebab, izin lingkungan dalam sektor Minerba tidak dapat diurus dan diterbitkan melalui sistem Online Single Submission (OSS). Dalam PP No 24 Tahun 2018 tentang Online Single Submission (OSS), Pasal 58, izin lingkungan terkait minerba harus diurus secara offline, tidak dapat diurus secara online.

Dalam Berita Acara Permintaan Keterangan Ombudsman RI, KLHK meminta klarifikasi kepada BKPM terkait izin lingkungan PT GKP. Badan Koordinasi Penenaman Modal (BKPM) menyatakan bahwa izin lingkungan yang diterbitkan oleh OSS tersebut tidak sesuai karena belum ada addendum Analisi Dampak Lingkungan (Andal) yang menjadi dasar terbitnya IPPKH.

Dalam berita acara yang sama, Ditjen Planologi, Kehutanan, dan Tata Lingkungan pun menyatakan izin lingkungan PT GKP yang diterbitkan oleh OSS tidak sah. Mengingat pasal 85 PP 24/2018, menyatakan kegiatan Minerba harus diproses melalui offline, tidak boleh online.

"Selain sejumlah dugaan pelanggaran hukum itu, yang justru diabaikan aparat kepolisian dalam memproses hukum warga terlapor, proses penangkapan oleh Polda Sultra telah memicu rasa takut bagi warga pulau Wawonii."

Dugaan penyalahgunaan wewenang kepolisian setempat juga terlihat dari perihal perintah Bambang Murtiyoso selaku Direktur Operasional PT GKP yang memerintahkan dan mengerahkan jajaran kepolisian untuk turut menangkap secara sewenang-wenang bagi warga Wawonii yang menolak kehadiran aktivitas industri pertambangan PT GKP pada 3 Maret 2022.

"Koalisi menilai hal tersebut jelas-jelas telah menunjukan sikap diskriminasi hukum yang dilakukan oleh kepolisian Polda Sultra serta telah melecehkan semangat pelayanan kepolisian yang berkeadilan," kata Jamil.

Untuk itu, Koalisi mendesak Divisi Profesi dan Pengamanan Mabes Polri untuk dapat melakukan investigasi pemeriksaan, serta tindakan tegas terhadap dugaan pelanggaran hukum yang diduga dilakukan oleh pihak Polda Sultra terkait aktivitas pertambangan di Pulau Wawonii. Selanjutnya, Koalisi juga mendesak Divisi Propam Mabes Polri untuk dapat mendorong Mabes Polri menindaklanjuti fakta-fakta yang muncul dalam dugaan tindak pelanggaran etik yang diduga dilakukan oleh aparat kepolisian Polda Sultra.