Indonesia Perlu Manfaatkan Presidensi G20 Tuk Genjot Adopsi PLTS

Penulis : Kennial Laia

Energi

Kamis, 28 April 2022

Editor :

BETAHITA.ID -  Indonesia dinilai perlu menunjukkan kepemimpinan dalam menggenjot kapasitas energi terbarukan, khususnya surya, melalui Presidensi G20. Pemerintah juga dapat belajar dari pengalaman negara anggota lainnya dalam mendorong pertumbuhan dan percepatan distribusi energi bersih tersebut.  

Menurut Analis BloombergNEF Ali Izadi-Najafabadi menyatakan banyak pihak yang menilai Indonesia masih tertinggal dalam pengembangan energi terbarukan dibandingkan negara anggota G20 lainnya. Namun, Ali optimis proses tersebut dapat dipercepat. 

“Ada banyak peluang bagi Indonesia untuk mereformasi kebijakan atau langkah-langkah regulasi khusus dengan fokus pada peningkatan ekonomi energi dan lingkungan,” kata Ali dalam lokakarya Indonesia Solar Summit 2022, digelar secara daring pekan lalu. 

Senada dengan Ali, Senior Associate untuk Pembiayaan Energi Surya di BloombergNEF Rohit Garde mengatakan, BloombergNEF mengukur kebijakan negara di sektor listrik dan kebijakan karbon.  

Pembangkit Tenaga Listrik di Kupang./Foto: Dok. EBTKE ESDM

Jerman dan Inggris dengan skor masing-masing 84% dan 83% yang mengindikasikan bahwa kedua negara mempunyai kebijakan yang baik untuk pembangkit listrik tenaga surya (PLTS).  

Sementara itu, biaya listrik rata-rata atau levelized cost of electricity (LCOE) PLTS di India, China, Uni Emirat Arab, dan Chili merupakan yang terendah karena tingkat radiasi surya yang tinggi dan pengembangan PLTS skala besar. Dibandingkan dengan negara tersebut, Indonesia termasuk yang tertinggi karena skala dan biaya modal yang tinggi. 

“Indonesia harus meningkatkan ambisinya dengan merevisi regulasi dan menghilangkan hambatan pembangunan,” terang Garde. 

Salah satu isu penting dalam kepemimpinan Indonesia di G20 adalah transisi energi.  Yudo Dwinanda Priadi, Staf Ahli Menteri Bidang Perencanaan Strategis Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, mengatakan rencana pembangunan pembangkit tersebut sudah memiliki Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030. RUPTL yang lebih hijau merupakan landasan untuk mencapai nol karbon pada 2060. 

Menurut Yudi, PLTS memiliki optimasi terbesar di Indonesia, yang akan mencapai 4.680 MW pada 2030. Potensi yang melimpah, biaya yang semakin murah, dan perkembangan teknologi yang pesat menjadikan PLTS ini sebagai  prioritas.  

“Pengembangan PLTS atap juga mencakup implementasi dan insentif yang lebih baik bagi masyarakat yang ingin memasangnya. Pemerintah telah menerbitkan aturan yang relevan, dan peta jalan sedang dalam proses sebagai program strategis nasional,” kata Yudo.  

Di sisi lain, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan, perkembangan energi surya di Indonesia cukup lambat. Pada 2021, potensi teknis yang terlaksana hanya 0,001 persen.

Fabby menambahkan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) juga menjadi kendala, yang meliputi pertanahan dan peraturan.  Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN).  

“Proyek-proyek yang ada membutuhkan perangkat modul surya dari 40% hingga 60%, dan ini belum dipenuhi oleh industri di Indonesia dan belum mendapat bantuan dana dari negara; negosiasinya cukup panjang sementara negara lain cenderung lebih cepat,” ungkap Fabby.

“Sebagai perbandingan, pemerintah Vietnam memiliki kemauan dan komitmen politik yang kuat, regulasi, implementasi, dan insentif untuk kebijakan tarif terkait net metering. Yang juga penting adalah kepastian kebijakan dan transmisi Perusahaan Listrik Negara,” ungkap Fabby.

Meski begitu, Fabby menilai RUPTL 2021 sebagai sinyal untuk menambah lima kali lipat porsi PLTS atap menjadi 4,7 MW serta ekspor ke Singapura dan beberapa wilayah di Indonesia. “Proyek ini memiliki potensi untuk pengembangan energi surya secara besar-besaran,” jelasnya. 

Anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Dyah Roro Esti mengatakan, pihaknya terbuka terhadap masukan masyarakat. Khususnya, kebijakan energi terbarukan yang tengah dibahas di Senayan. 

“DPR sedang mengerjakan RUU Energi Baru Terbarukan dan akan terbuka untuk saran. Rancangannya masih dalam pembahasan,” ujar Dyah. 

“Data dari DEN, Indonesia harus mengoptimalkan 2,5 GW, dan setiap daerah memiliki potensi, baik matahari maupun angin. Oleh karena itu, perlu adanya motivasi dan kemauan politik untuk bekerjasama dengan pemerintah daerah dalam mengoptimalkan dan merealisasikan potensi tersebut,” tambah Dyah. 

Pengembangan di daerah

Ngurah Pasek, Kepala Sub Bagian Lingkungan Hidup dan Pembangunan Daerah, Bappedalitbang Provinsi Bali, menambahkan bahwa Bali telah menerapkan Perda Nomor 29 Tahun 2020 tentang Rencana Umum Energi Daerah (RUED). Aturan turunan juga telah dibuat.  

“Instalasi hingga kabupaten dan kota di Provinsi Bali saat ini sudah mencapai 8,5 MW. Target Pemprov Bali mengenai refocusing anggaran adalah bagaimana pemasangan PLTS atap di perkantoran atau perusahaan dapat berjalan dengan baik,” ujar Ngurah.

Pengembangan PLTS atap juga terjadi di Jawa Tengah.  Nathan Setyawan, Sub-Koordinator Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Jawa Tengah provinsi tersebut satu-satunya yang telah mengembangkan dan mengintegrasikan pemulihan ekonomi dan penggunaan energi terbarukan.

"Pada 2021, kami akan mendorong tidak hanya pemerintah provinsi tetapi juga bupati dan walikota dan sektor swasta untuk penerapan PLTS atap,” ujar Nathan.  

Ia menegaskan peningkatan kesadaran masyarakat dan dukungan Kementerian ESDM akan mendorong pemanfaatan PLTS komunal di daerah terpencil. Selain itu Nathan berharap ketersediaan teknologi pendukung energi bersih yang terjangkau akan membantu pembangunan industri energi terbarukan lokal.

“Harapannya akan ada lembah silikon mini untuk mengembangkan industri berorientasi energi baru terbarukan,” imbuhnya.