Selusin Hari Badak Sedunia: Mendekati Pusaran Kepunahan

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

World Rhino Day

Kamis, 22 September 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Sejak 2010, tiap 22 September setiap tahunnya, Hari Badak Sedunia atau World Rhino Day diperingati di seluruh Dunia. Pada 22 September 2022, peringatan Hari Badak Sedunia itu menginjak angka lusin tahun. Namun eksistensi badak tampaknya semakin dekat dengan pusaran kepunahan, terutama di Indonesia.

Badak menjadi salah satu dari 25 satwa terancam punah prioritas untuk ditingkatkan populasinya sebesar 10 persen pada 2015-2019, sesuai Surat Keputusan Direktur Jenderal KSDAE No. 180/IVKKH/2015. Lalu bagaimana angka populasinya kini?

Menurut Sunarto dari Research Associate, Institute for Sustainable Earth & Resources Universitas Indonesia, pertanyaan yang paling umum muncul saat membicarakan badak adalah berapa jumlah badak yang ada. Hal tersebut adalah pertanyaan sederhana namun sulit untuk dijawab.

"Apalagi satwa yang sudah sangat langka seperti badak sumatera akhirnya kita sepakat tidak usah ditanya lagi jumlahnya berapa yang jelas sudah sangat langka dan sudah terlalu langka untuk dihitung. Untuk populasi masih ada di alam akan tetapi tidak ada yang tahu kondisi pastinya seperti apa," ujar Sunarto dalam diskusi virtual Ngopini Hutan: Kinerja Konservasi Badak Sumatera, yang digelar Yayasan Auriga Nusantara, 18 Januari 2022 lalu.

Seekor badak sumatera lahir di Suaka Rhino Sumatera (SRS) Taman Nasional Way Kambas (TNWK), Provinsi Lampung pada Kamis, 24 Maret 2022 pukul 11.44 WIB. Badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) bernama Rosa melahirkan anak berjenis kelamin betina./Foto: Biro Humas KLHK.

Belum ada angka populasi badak terkini di Indonesia yang dikeluarkan secara resmi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebagai otoritas manajemen satwa. Terakhir kali KLHK mencatatkan angka populasi badak lewat dokumen Data Statistik Direktorat Jenderal (Ditjen) Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) 2019.

Menurut dokumen tersebut, populasi badak jawa (Rhinoceros sondaicus) sebanyak 72 individu, angka tersebut berasal dari satu situs monitoring yakni Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK). Sedangkan badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) jumlahnya jauh lebih sedikit, hanya 21 individu. Data tersebut berasal dari tiga situs monitoring, yaitu Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), Taman Nasional Way Kambas (TNWK) dan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL).

Sementara itu, untuk badak kalimantan (Dicerorhinus sumatrensis harrissoni), yang merupakan subspesies badak sumatera yang berada di Kalimantan, tidak tercatat jumlah maupun pertumbuhan populasinya.

Sayangnya dalam dokumen Data Statistik Ditjen KSDAE tahun berikutnya, 2020, entah mengapa tak ada lagi data tentang perkembangan jumlah populasi badak maupun satwa lain yang disampaikan.

Mundur satu tahun ke belakang, Data Statistik Ditjen KSDAE 2018 menyebut populasi badak jawa sebanyak 69 individu, juga berasal dari situs monitoring TNUK. Sedangkan badak sumatera, data populasinya tercatat 26 individu, juga berasal dari tiga situs monitoring yang sama dengan data 2019--TNBBS, TNWK dan TNGL.

Bila dilihat dari data dua tahun tersebut--2018 dan 2019--tampak populasi badak jawa meningkat dari 69 individu menjadi 71 individu, dan populasi badak sumatera justru turun dari 26 individu menjadi 21 individu.

Sumber: Booklet Darurat Konservasi Badak Sumatera/TFCA Sumatera

Jumlah kecil pada populasi badak ini menandakan kegentingan. Peneliti Spesies Yayasan Auriga Nusantara, Riszki Is Hardianto mengatakan, badak sumatera sudah lama mendapat tekanan dari manusia berupa ancaman perburuan, hanya untuk diambil culanya. Ditambah kemampuan reproduksi badak yang rendah, menyebabkan penurunan populasi bahkan kepunahan lokal, seperti yang terjadi di Taman Nasional Kerinci Seblat.

"Kondisi populasi badak sumatera yang ada di alam kondisinya semakin langka. Sehingga muncullah fenomena Allee Effect," kata Riszqi.

Agar mudah dipahaminya, Allee Effect adalah terjadinya penurunan kemampuan bereproduksi yang dikarenakan penyusutan populasi di alam. Khusus untuk badak sumatera, Riszqi bilang, sudah terjadi kerentanan kepunahan yang dikarenakan kepadatannya yang rendah sehingga badak kesulitan dalam bereproduksi.

"Kepadatan yang rendah pada populasi badak sumatera, membuat proses kawin menjadi sulit sehingga kemampuan spesies ini untuk bertahan menjadi rendah."

Selain kepadatannya yang rendah kondisi alamiah badak sumatera yang lambat dalam bereproduksi juga menjadikan badak sumatera masuk ke dalam fenomena Allee Effect. Selain itu badak sumatera yang populasinya terus menyusut akan menyebabkan terjadinya perkawinan sekerabat, yang dapat mengakibatkan degradasi DNA, cacat atau memiliki penyakit bawaan.

"Badak hanya melahirkan dalam rentang 2,5-5 tahun dengan usia matang reproduksi 5-46 tahun. Sekali hamil dalam waktu 18 bulan dan badak hanya melahirkan satu ekor," terang Riszqi.

Bicara kepunahan, maka kasus kematian badak akan menjadi salah satu alarmnya. Namun sayang data angka kematian badak sumatera di Indonesia, sama langkanya dengan data populasi badak. Namun setidaknya ada 5 badak yang mati yang terlaporkan atau terpublikasikan.

Pada 2011 badak bernama Torgamba dilaporkan mati di SRS Way Kambas. Torgamba diduga mati karena faktor kesehatan. Dua tahun setelahnya badak jawa berusia 2 tahun ditemukan mati sejak dua bulan sebelum tulang belulangnya ditemukan di TNUK.

Selanjutnya, ada badak sumatera di Kalimantan Timur bernama Najag yang mati saat akan diselamatkan ke Suaka Badak Kelian pada 2016. Najag mati diduga karena infeksi luka jerat dan masalah kesehatan lainnya.

Badak jawa bernama Samson ditemukan mati di pantai Ujung Kulon./Foto: Balai TNUK

Kemudian pada 2018, badak jawa bernama Samson ditemukan mati di pesisir Ujung Kulon, diduga mati karena usia. Terbaru pada 2019, Badak Manggala ditemukan mati di di Citadahan, Banten, dengan beberapa lubang di tubuh. Dari pemeriksaan, luka-luka ini diduga karena serangan badak dewasa.

Riszqi menegaskan, bila terjadi kepunahan pada badak sumatera, itu bukan sebatas kepunahan pada spesies saja, namun kepunahan pada genus atau marga.

Menurut Riszqi, ada hal ironis yang terjadi di Indonesia. Di Indonesia, kotoran hingga tulang belulang badak dilindungi, tapi terhadap habitatnya belum tentu. Di Kalimantan Timur misalnya, habitat badak di sana kondisinya terfragmentasi dan terancam aktivitas kegiatan usaha industri ekstraktif.

RAD Penyelamatan Populasi Badak Sumatera

Pada 2018, untuk mengisi kekosongan kebijakan nasional terhadap konservasi badak, KLHK mentapkan Rencana Aksi Darurat (RAD) Penyelamatan Populasi Badak Sumatera yang berlaku mulai 2018 hingga 2021. Ada sederet peraturan perundangan serta hasil pertemuan para pihak yang mendasari lahirnya RAD ini.

Sederhananya, RAD satu ini dibuat demi menyelamatkan populasi badak sumatera di alam. Ada kegentingan pada populasi badak sumatera, baik yang berada di Sumatera maupun di Kalimantan, yang membutuhkan upaya aksi darurat. Implementasi program penyelamatan badak sumatera ini berjangka waktu 3 tahun (2018-2021).

Menurut ketentuannya, kriteria suatu populasi dianggap dalam keadaan darurat apabila dalam suatu populasi atau sub-populasi ataupun individu terpisah dan tidak saling berhubungan. Indikatornya yakni tingkat laju perkembangbiakan rendah, terisolasi, terdapat dalam jumlah tidak viable--kurang dari 15 individu potensial bereproduksi, dan ancaman yang tinggi dari perburuan dan kehilangan habitat.

Terhadap kedaruratan tersebut, ada dua macam aksi darurat yang dilakukan. Pertama terhadap populasi yang kurang dari 15 individu potensial reproduksi per kantong populasi dan populasi yang terisolasi, dilakukan penyelamatan individu ke suaka badak sumatera. 

Hal ini dilakukan karena populasi tersebut dipandang tidak lagi viable untuk mempertahankan populasi, mengingat laju perkembangbiakan yang rendah dan tingginya resiko kematian. Disamping itu laju perkembangbiakan badak di suaka sumatera dapat ditingkatkan. Apabila di suaka badak sumatera telah berkembangbiak mencapai populasi yang viable maka dapat dilakukan pengembalian populasi ke habitat alam.

Kedua, terhadap populasi dengan jumlah 15 individu atau lebih, mengingat kondisi tingginya ancaman kehilangan habitat dan perburuan, maka dilakukan aksi darurat berupa proteksi intensif dan monitoring populasi.

Pada bagian penutup RAD disebutkan, hal-hal yang belum tercantum dalam dokumen RAD, seperti perlindungan dan pengelolaan habitat, kebijakan pusat dan daerah, pendanaan, pengembangan teknologi pengembangbiakan badak sumatera, akan disusun dalam dokumen Strategi Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Badak Indonesia 2018-2028.

Hal terakhir menimbulkan pertanyaan. Sebab hingga RAD Penyelamatan Populasi Badak Sumatera ini akhirnya selesai pada 2021, SRAK Badak Indonesia dimaksud tak jelas wujudnya.

Terlepas dari SRAK Badak yang tak kunjung tampak wujudnya, konon RAD Penyelamatan Populasi Badak Sumatera tengah dalam proses pembaruan. Banyak pihak berharap RAD badak sumatera terbaru ini dapat segera terbit, sebagai acuan kegiatan konservasi satwa dilindungi ini.

"Pemerintah sepertinya sudah memulai untuk memperbarui RAD, dan untuk itu memang diharapkan pemerintah dapat segera mengeluarkan rencana yang baru. Termasuk bila memungkinkan rencana jangka panjang 10 tahun agar kegiatan konservasi di lapangan, termasuk yang dilakukan oleh mitra-mitra di tingkat lokal dapat dilakukan dengan efektif," kata Samedi, Direktur Tropical Forest Conservation Action for Sumatera (TFCA-Sumatera).

Idealnya, lanjut Samedi, semua tindakan konservasi, baik di tingkat bentang alam maupun spesies, didasarkan pada perencanaan yang efektif. Ia mewanti-wanti, agar jangan sampai Indonesia kehilangan satu-satunya genus badak Dicerorhinus yang saat ini hanya ada di Indonesia.

"Penggunaan bantuan teknologi reproduksi tampaknya sudah merupakan keharusan," ujar Samedi.

Samedi menguraikan, konservasi badak sumatera dengan dukungan TFCA-Sumatera saat ini dilakukan berdasar RAD Penyelamatan Populasi Badak Sumatera (2018-2021). Yang mana keputusan pendanaan konservasi badak dari TFCA-Sumatera dilakukan sebelum berakhirnya RAD.

Samedi menyebut, dalam RAD 2018-2021, TFCA-Sumatera memberikan dukungan penuh terhadap kegiatan di Leuser barat, dan juga memberikan dukungan sebagian aksi darurat di Leuser timur, yang mana saat ini sedang dibangun fasilitas breeding di Aceh Timur, untuk mengkonsolidasikan individu yang harus diselamatkan di wilayah Leuser bagian timur. Selain itu TFCA-Sumatera juga mendukung sebagian kegiatan konsolidasi populasi di TNWK dan TNBBS di Lampung.

Meskipun RAD 2018-2021 telah usai, Samedi bilang, pihaknya masih berkomitmen untuk mendukung penerapan Teknologi Reproduksi Berbantuan atau Assisted Reproductive Technology (ART), sebagai bagian dari konsolidasi dan penyelamatan populasi. Ke depan TFCA-Sumatera rencananya juga akan mendukung kegiatan yang dilakukan oleh FKH IPB University.

Untuk diketahui, TFCA-Sumatera merupakan salah satu penyokong dana konservasi spesies terancam punah, termasuk badak di Sumatera. TFCA-Sumatera sendiri adalah sebuah skema pengalihan utang untuk lingkungan (debt-for-nature swap) sebesar USD30 juta yang dibuat oleh Pemerintah Amerika Serikat dan Pemerintah Indonesia pada 2009, yang ditujukan untuk kegiatan konservasi bentang alam di Sumatera.

Pada 2014 TFCA-Sumatera mendapat tambahan mandat untuk mengelola dana sebersar USD12,68 juta. Dana tambahan tersebut dikhususkan untuk mendukung kegiatan konservasi satwa karismatik Sumatera yang terancam punah, yaitu badak, harimau, gajah dan orangutan sumatera.

Fokus dukungan pelaksanaan konservasi badak sumatera oleh TFCA-Sumatera meliputi penyiapan kelembagaan yang berperan sebagai pengarah dan penyelia program secara nasional, menyediakan data akurat mengenai kondisi populasi untuk pengambilan keputusan konservasi yang tepat, menyediakan Strategi Rencana Aksi Konservasi (SRAK) dan mendukung penyiapan langkah-langkan RAD Badak.

Dalam siklus hibah 6 (2017-2018), sebanyak Rp20 miliar--sekitar 10 persen dari total dana TFCA-3 (USD12,68 juta)--dihibahkan untuk kegiatan di tiga bentang alam di Sumatera, yakni di TNWK, TNBBS dan TNGL. Tercatat ada 6 mitra lembaga konservasi yang menerima pendanaan tersebut, yaitu WWF senilai Rp3,4 miliar untuk kegiatan di TNBBS, YaBI sebesar Rp3,1 miliar di TNWK, ALeRT Rp4,2 miliar di TNWK, Yapeka Rp5,2 miliar di sekitar TNWK, FKL Rp1,8 miliar di bagian timur Kawasan Ekosistem Leuser dan YLI Rp2,4 miliar di bagian barat Kawasan Ekosistem Leuser.

Masih Cari Badak Sumatera Liar di Alam

Di TNWK, para konservasionis masih berupaya melakukan pencarian dan penemuan (trajectory) individu badak liar, yang dipercaya masih ada di alam. Bila ditemukan, badak liar tersebut rencananya akan dievakuasi untuk dikembangbiakkan di Suaka Rhino Sumatera atau Sumatran Rhino Sanctuary (SRS), yang dilakukan Balai TNWK bersama Yayasan Badak Indonesia (YaBI).

Namun upaya trajectory badak di alam ini ternyata sulit dilakukan. Belum ada wujud penampakan badak liar yang tertangkap kamera yang dipasang sekitar 60-70 unit di TNWK selama beberapa tahun terakhir. Sejauh ini keberadaan badak liar di Way Kambas hanya teridentifikasi melalui tanda-tanda sekunder, seperti bekas tapak, kaisan kaki, urine dan kotoran badak, serta tanda-tanda sekunder lainnya.

"Tanda-tanda sekunder masih tetap ada seperti yang dijelaskan di atas. Tetapi untuk lebih menyempurnakan butuh tanda visual berupa foto atau video dari kamera trap. Tetapi dari bebarapa yang dipasang dari kurun waktu 2020-2022 belum didapatkan (foto maupun video). Kami selalu berusaha maksimal untuk mendapatkan tanda visual tersebut," terang Nandri Yulianto, Pengendali Ekosistem Hutan (PEH), Balai TNWK, Senin (19/9/2022).

"Kendalanya sangat sulit mencari tanda-tanda badak secara visual untuk nantinya di-rescue untuk suporting breading di SRS," tambah Nandri.

Selain trajectory dan penyelamatan badak di alam, ada agenda besar lain yang dilakukan dalam upaya penambahan populasi badak di Way Kambas, yakni program breeding (menernakkan) di SRS melalui pola semi insitu.

Upaya breeding ini terbilang cukup berhasil. Badak di SRS yang awalnya hanya 5 individu, kini sudah bertambah menjadi 8 individu. Tiga individu badak baru itu lahir pada 2016, 2018 dan 2022 lalu. Komposisi jenis kelaminnya 3 jantan dan 5 betina, yakni, Bina (betina), Ratu (betina), Andalas (jantan), Harapan (jantan), Andatu (jantan), Delilah (betina), Rosa (betina) dan bayi badak terakhir yang lahir pada 24 Maret 2022 lalu juga berkelamin betina.

"Badak awal di SRS 5 individu sudah ada penambahan 3 ekor badak pada tahun 2016, 2018 dan 2022 terakhir kemaren. Target (RAD) penambahan populasi tercapai."

Seekor bayi badak lahir di SRS Way Kambas, Maret 2022 lalu./Foto: Biro Humas KLHK

Nandri bilang, sebetulnya ada teknologi yang bisa diterapkan untuk menambah jumlah populasi badak di SRS, yakni Teknologi Reproduksi Berbantuan atau Assisted Reproductive Technology (ART). Namun teknologi satu ini membutuhkan biaya yang besar dan juga butuh laboratorium lengkap.

"Teknologi ini masih membutuhkan orang luar untuk suporting-nya."

Menurut Nandri, sejauh ini usia badak tidak terlalu berpengaruh pada reproduksi badak. Selama sistem reproduksinya bagus, breeding pada badak masih bisa dilakukan. Meskipun begitu, Nandri mengakui, perkawinan sedarah masih jadi ancaman.

"Sehingga diperlukan individu baru dari trajectory (pencarian badak di alam) lalu dilakukan rescue dan dilakukan penambahan individu baru di SRS untuk meminimalisir inbreeding. Ini tujuan dari trajectroy dan rescue badak dari alam," ujar Nandri.

Saat ini, lanjut Nandri, Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati Spesies dan Genetik (KKHSG) dan tim tengah menyiapkan dokumen RAD yang baru, sebagai langkah pembaruan untuk konservasi badak, terutama di Sumatera bagian utara di Aceh, Sumatera bagian selatan di TNWK dan TNBBS dan di Kalimantan Timur.

Kondisi tak jauh berbeda terjadi di Bentang Alam Bukit Barisan Selatan. Badak di sana terbilang sangat mengkhawatirkan. Upaya penyelamatan seluruh individu badak yang tersisa ke SRS di TNWK tampaknya belum membuahkan hasil, karena belum ada satupun badak sumatera yang berhasil tertangkap untuk diselamatkan.

Berdasarkan data yang disampaikan Balai TNBBS, jumlah badak liar di Bentang Alam Bukit Barisan Selatan diestimasikan hanya sebanyak 12 individu saja. Estimasi tersebut pun hanya berdasarkan hasil trajectory pada 2017 lalu.

Di tahun berikutnya, sudah tidak ada lagi angka estimasi populasi yang terlaporkan. Yang ada hanya data sebaran tanda-tanda sekunder saja dan itu sudah jauh menurun di 2022.

Tanda sekunder berupa tapak badak misalnya. Menurut hasil survei pada 2016, jumlah tapak badak yang ditemukan masih sebanyak 69 tapak. Namun di tahun-tahun selanjutnya jumlah tapak badak yang ditemukan terus menurun secara drastis.

Pada 2017 misalnya hanya 29 tapak, pada 2018 ada 23 tapak, di 2019 sebanyak 15 tapak, pada 2020 dan 2021 masing-masing 6 tapak dan sepanjang 2022 ini hanya 1 tapak saja.

Beberapa upaya dilakukan di taman nasional seluas sekitar 313.572,48 hektare itu, seperti pemasangan kamera jebak, survei okupansi mencari dan menemukan badak di wilayah Intensive Protection Zone (IPZ) seluas 100.137 hektare, mengkoleksi sampel fecal DNA di wilayah IPZ, patroli dan perlindungan habitat, serta penelusuran informasi perburuan melalui Tim Reaksi Cepat (TRC) TNBBS.

Seperti halnya di Way Kambas dan di Bukit Barisan Selatan, para konservasionis di Kalimantan Timur (Kaltim) yang dikomandoi BKSDA Kaltim sejak bertahun-tahun lalu juga masih berupaya menemukan badak sumatera liar yang diperkirakan masih ada di alam.

Untuk diketahui, saat ini hanya ada satu individu badak sumatera yang menghuni Suaka Badak Kelian, di Kabupaten Kutai Barat. Nama badak itu Pahu. Ia mulai menghuni Suaka Badak itu sejak 2019 lalu. Suaka Badak Kelian sendiri merupakan bekas lahan perusahaan tambang PT Kelian Equatorial Mining (KEM) yang telah direklamasi.

Badak berkelamin betina itu kini tengah dirawat dan diawasi oleh tiga dokter hewan sekaligus, terutama organ reproduksinya, agar upaya pelestarian satwa pemalu ini bisa terwujud.

"Kondisi Pahu secara umum sehat, semua dilaporkan secara berkala oleh 3 dokter hewan yang bertugas di sana. Untuk menambah populasi, tentunya perlu adanya perkawinan. Nah, kegiatan survei yang dilakukan salah satunya adalah untuk menemukan badak jantan yang mungkin masih ada di hutan Kalimantan," ujar Jono Diputro, PEH Seksi Konservasi Wilayah II Tenggarong, BKSDA Kaltim.

Tangkapan layar video camera trap menunjukkan badak sumatera di kalimantan berkubang di lubang lumpur./Foto: WWF-Indonesia.

Seperti yang diwacanakan di Way Kambas, di Kaltim upaya penambahan populasi badak melalui ART atau bayi tabung juga akan dicobakan. Rencana penerapan ART ini, menurut Jono, masih dibahas dalam RAD yang baru. Meski demikian, diakui Jono, penerapan ART ini membutuhkan biaya yang tinggi.

"Namun juga cukup sepadan dengan upaya penambahan populasi spesies yang masuk kategori kritis ini," imbuh Jono.

Jono menerangkan, potensi gangguan terhadap habitat badak di Kaltim cukup besar. Itu terlihat dari habitat tempat ditemukan Badak Pahu, yang mana habitatnya terfragmentasi dan dikelilingi oleh pertambangan, sawit, kegiatan illegal logging bahkan perburuan.

"Terkait perburuan, memang di Kabupaten Kutai Barat tidak spesifik memburu badak, namun jerat yang dipasang untuk payau, babi dan lain-lain juga bisa membahayakan badak."

Jono berpendapat RAD Penyelamatan Populasi Badak Sumatera merupakan dokumen sangat penting. Karena RAD merupakan peta jalan untuk kegiatan konservasi badak. Apabila sudah tersusun dan sudah disahkan, itu akan menjadi pedoman bagi para pelaku konservasi badak.

"Saat ini kami masih fokus untuk peningkatan populasi, baik dari ART maupun survei di lokasi-lokasi habitat badak. Kami memiliki SDM yang cukup baik untuk kegiatan survei. Harapannya akan ada pendanaan yang lebih untuk kegiatan tersebut, juga termasuk pendanaan untuk perawatan Badak Pahu di Suaka Badak Kelian," harap Jono.

Sejauh ini Betahita belum mendapat gambaran yang jelas tentang wajah konservasi badak di Bentang Alam Leuser. Upaya wawancara dan permintaan data dan informasi kegiatan konservasi badak kepada pihak pengelola TNGL tidak membuahkan hasil. Pihak Balai Besar TNGL hanya mengarahkan Betahita untuk menanyakan konservasi badak di TNGL kepada Direktur KKHSG.

"Maaf ya mas, terkait konservasi badak apalagi terkait rencana tanggap darurat badak sumatera sebaiknya ditanyakan langsung kepada pimpinan kami, dalam hal ini Direktur KKHSG supaya informasinya satu pintu, apalagi saya kan baru sebulan di TNGL belum banyak memperdalam masalah tersebut. Harap maklum," kata Mamat Rahmat, Kepala Balai Besar TNGL, melalui pesan Whats App kepada Betahita.id.

Arahan Mamat tersebut sebelumnya sudah coba dilakukan oleh Betahita.id. Namun upaya konfirmasi dan wawancara kepada Direktur KKHSG tidak mendapatkan respon apapun.

Sebaran Badak di Indonesia

Dilihat dari sebarannya, populasi badak sebagian besar berada di dalam kawasan konservasi. Badak jawa misalnya, menurut Yayasan Badak Indonesia (YABI) populasinya saat ini telah terbatas, terkonsentrasi pada TNUK sejak 1930-an. 

Badak jawa sebelumnya menempati daerah penyebaran yang cukup luas di Asia Tenggara meliputi Teluk Benggala (India) hingga Myanmar, Thailand, Kamboja, Laos, Vietnam, Semenanjung Malaya, Pulau Sumatera dan Pulau Jawa. Namun populasi badak jawa di Vietnam dinyatakan punah pada 2010. 

Ukuran populasi di TNUK stabil sejak tidak ada data perburuan yang terekam selama 3 dekade. Pada 2017, menurut siaran pers Balai TNUK, populasi badak jawa tercatat 67 individu, yang tersebar di bagian selatan Kawasan. Semenanjung Ujung Kulon, yaitu daerah-daerah aliran sungai Cibandawoh, Cikeusik, Citadahan dan Cibunar. 

Daerah sebaran tersebut merupakan daerah dataran rendah, memiliki sumber air dan memiliki kecukupan pakan sepanjang tahun, serta relatif minim terhadap gangguan manusia. Akan tetapi habitat badak di TNUK diprediksi mendekati batas daya dukung dan populasi badak akan sulit berkembang tanpa upaya pengelolaan yang intensif.

Sementara itu, untuk badak sumatera, sebagian besar populasi terkonsentrasi di TNBBS, TNWK dan TNGL (di Leuser Timur dan Leuser Barat).

Masih menurut YABI, dahulu populasi badak sumatera tersebar di sepanjang Assam-India, Myanmar, Semenanjung Malaya, Sumatera dan sebagian besar pulau Kalimantan, serta populasi yang terisolasi di Vietnam, Laos, dan Kamboja. 

Saat ini populasi terbesar yang tersisa terdapat di Indonesia (kurang lebih 70 persen dari total populasi di Dunia), yaitu di TNGL, TNBBS, dan TNWK, dan sedikit populasi yang terisolir di Kalimantan.

Populasi badak sumatera pada 1974 berkisar antara 400-700 individu dan terus mengalami penurunan yang drastis sejak era 1980 dan 1990, akibat perburuan. Perburuan bahkan membuat badak sumatera dinyatakan punah sejak akhir 2001 di Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). 

Populasi di Semenanjung Malaya (Sabah dan Serawak) juga telah dinyatakan punah. Meskipun kasus kematian badak sumatera akibat perburuan terakhir diberitakan pada 2002, hal tersebut berdampak pada semakin kompleks permasalahan yang terjadi pada badak sumatera saat ini, akibat kritisnya kondisi populasi yang tersisa.

Berdasarkan Analisa Viabilitas Populasi dan Habitat (PHVA) Badak Sumatera tahun 1993, populasi badak sumatera di Sumatera berkisar antara 215 -319 individu, atau dengan kata lain telah terjadi penurunan populasi badak sumatera sekitar 50 persen dalam kurun waktu 20 tahun (1974-1993). 

Selama dekade terakhir, delapan kantong populasi badak sumatera di Sumatera telah punah. Tekanan perburuan liar telah mengurangi jumlah populasi badak sumatera menjadi kira-kira antara 145-200 individu, yang mendiami TNGL (60-80), tempat lain di Provinsi Aceh (10-15), TNBBS (60-80) dan TNWK (15-25).

Namun seperti halnya badak-badak di Asia Tenggara pada umumnya, populasi badak sumatera menurun akibat adanya kombinasi ancaman kehilangan kawasan hutan habitatnya akibat perambahan, perubahan fungsi hutan menjadi areal perladangan, illegal logging dan perburuan cula yang didorong oleh asumsi masyarakat yang keliru, yang mana cula badak dianggap memiliki khasiat sebagai obat dan bagian tubuh badak lainnya.

Untuk diketahui, badak sumatera maupun badak jawa masuk dalam daftar Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar Dilindungi, menurut PermenLHK No. P.106 Tahun 2018. Selain itu, seperti disampaikan di awal, menurut Surat Keputusan Direktur Jenderal KSDAE No. 180/IVKKH/2015, badak merupakan salah satu dari 25 satwa terancam punah prioritas untuk ditingkatkan populasinya sebesar 10 persen pada 2015-2019. 

International Union for Conservation of Nature (IUCN) mengkategorikan badak jawa dan badak sumatera ke dalam Daftar Merah Spesies Terancam, dengan status Critical Endangered atau Kritis Terancam Punah.

Kemudian, Convention on International Trade in Endangered Species (CITES) mengkategorikan badak ke dalam Appendix I. Yang artinya seluruh spesies tumbuhan dan satwa liar yang masul dalam daftar Appendix I dilarang dalam segala bentuk perdagangan internasional. Terdapat kurang lebih 800 spesies yang termasuk dalam Appendix I, termasuk badak sumatera dan badak jawa.

Peredaran Badak Sumatera di Dunia

Badak bernama Harapan yang dipulangkan ke Indonesia dari Amerika Serikat pada 2015 lalu./Foto: USAID

Menurut data CITES, tercatat ada sekitar 19 individu badak sumatera yang diekspor dalam keadaan hidup dari Indonesia ke sejumlah negara, seperti Inggris, Malaysia dan Amerika Serikat, dalam rentang waktu 1986 hingga 1991. Peredaran badak sumatera tersebut diketahui untuk tujuan penelitian ilmiah, koleksi kebun binatang dan pengembangbiakan di penangkaran atau perbanyakan buatan.

Selain badak yang keluar dari Indonesia, ada pula badak sumatera hidup yang kembali pulang ke Indonesia. Jumlahnya sebanyak 4 individu, yakni pada 1997, 1998, 2007 dan 2015. Empat badak tersebut dipulangkan dari Inggris dan Amerika Serikat, yang mana 3 di antaranya untuk koleksi kebun binatang dan satu individu lainnya untuk tujuan pengembangbiakan di penangkaran atau perbanyakan buatan.

Data CITES juga menunjukkan bahwa bagian-bagian tubuh badak juga beredar di Dunia internasional, seperti tulang, kaki, rambut, tanduk, kulit, gigi dan lain sebagainya. Sebagian besar bagian-bagian tubuh badak tersebut diperuntukkan bagi penelitian ilmiah dan tujuan komersial.