Taksonomi Kedua ASEAN Dukung Pengakhiran Bertahap PLTU Batubara

Penulis : Kennial Laia

Energi

Senin, 08 Mei 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Untuk pertama kalinya, ASEAN Taxonomy Board (ATB) mempertimbangkan pengakhiran operasional pembangkit listrik batu bara secara bertahap. Hal itu terungkap melalui terbitnya ASEAN Taxonomy for Sustainable Finance versi kedua (ATSF v2) Maret lalu. 

Institute for Essential Services Reform (IESR) mengatakan, taksonomi tersebut menjadi panduan dalam mengklasifikasi kegiatan ekonomi, terutama yang berkaitan dengan pembiayaan hijau. Langkah ini juga dapat menarik investasi global ke kawasan ASEAN. 

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR mengatakan IESR menyambut kehadiran ATSF v2 sebagai standar bersama ASEAN untuk pembiayaan hijau. Menurutnya, masuknya pendanaan untuk pengakhiran PLTU secara dini merupakan indikasi bahwa pemerintah di kawasan ini mendukung pencapaian net-zero emission pada pertengahan abad ini. 

“Lebih dari separuh listrik di ASEAN berasal dari PLTU batubara. Sedangkan untuk mencapai target Persetujuan Paris, seluruh PLTU harus dipensiunkan pada 2040. Fakta bahwa lebih dari 50% PLTU yang beroperasi di kawasan Asia Tenggara berusia kurang dari 10 tahun memiliki konsekuensi bahwa pengakhiran dini PLTU membutuhkan sumber pembiayaan yang cukup besar,” kata Fabby melalui pernyataan tertulis, Kamis, 4 Mei 2023.  

Ilustrasi energi terbarukan )lpbi-nu.org)

“Dalam konteks ini ATSF v.2 dapat mengakselerasi pengakhiran operasi PLTU di ASEAN melalui pendanaan hijau,” tambahnya. 

Masuknya penghentian operasional PLTU ini diharapkan dapat memfasilitasi ragamnya pemahaman negara anggota ASEAN terhadap transisi energi yang berkeadilan. ATSF v2 ini juga menyertakan kriteria penyaringan teknis (technical screening criteria) terhadap pembiayaan transisi energi, termasuk pengakhiran operasional PLTU batubara, ke dalam kategori Hijau dan Kuning. 

TSC merupakan kriteria kuantitatif atau kualitatif yang menjadi dasar penilaian klasifikasi apakah suatu aktivitas termasuk dalam kegiatan Green (Hijau, berkontribusi sangat penting terhadap tujuan lingkungan), Amber (Kuning, belum memenuhi kriteria untuk Hijau, namun menunjukkan langkah progresif untuk mencapai pembangunan ASEAN yang berkelanjutan) atau Red (Merah, tidak sesuai dengan tujuan lingkungan).

IESR menilai implementasi taksonomi ASEAN ini perlu dioptimalkan seiring keketuaan Indonesia di ASEAN 2023. Indonesia dapat memperkuat kerja sama di antara negara-negara ASEAN dalam mengatasi tantangan transisi energi, di antaranya rendahnya investasi di sektor energi terbarukan dan pengakhiran operasional PLTU batubara. 

Indonesia telah memiliki beberapa peluang pendanaan internasional untuk pengembangan energi terbarukan dan pengakhiran operasional PLTU batubara melalui Just Energy Transition Partnership (JETP),  Energy Transition Mechanism (ETM), dan Clean Investment Fund-Accelerated Coal Transition (CIF-ACT) dengan total USD 24,05 miliar. Namun, IESR mengkaji setidaknya diperlukan USD 135 miliar hingga 2030 untuk biaya transisi energi di Indonesia, termasuk pengakhiran operasi PLTU. 

Farah Vianda, Koordinator Proyek Pembiayaan Berkelanjutan IESR, mengatakan masuknya pembiayaan pengakhiran operasional PLTU ke dalam kategori kuning dan hijau akan memperbesar peluang pendanaan terkait transisi energi. 

“Perlu adanya komunikasi yang jelas dari pihak regulator kepada pelaku usaha dan lembaga keuangan untuk memperbolehkan pembiayaan untuk kegiatan tersebut. Sebab, beberapa lembaga keuangan sudah melakukan komitmen untuk tidak lagi mendukung pendanaan terkait batubara. Namun, tentunya kategori kegiatan ini berbeda,” kata Farah. 

Berdasarkan analisis  IESR, selama lima tahun terakhir, rata-rata investasi energi terbarukan hanya mencapai USD 1,6 miliar per tahun atau 20 persen dari total investasi yang dibutuhkan untuk mencapai target bauran energi terbarukan 23% pada 2025. 

Sementara itu, IESR menghitung, terdapat potensi pendanaan dari internasional sebesar USD 13,1 miliar atau 35,4% dari total proyeksi kebutuhan pembiayaan sebesar USD 36,95 miliar pada 2025 untuk mencapai target bauran energi terbarukan 23%.

Manajer Program Transformasi Energi IESR Deon Arinaldo mengatakan, taksonomi hijau merupakan langkah awal untuk akselerasi transisi energi di ASEAN. Sebagai langkah awal untuk menarik investasi, negara-negara perlu membangun ekosistem pengembangan teknologi emisi bersih seperti energi terbarukan. 

Deon menerangkan, terdapat dua faktor penting untuk mengurangi resiko investasi di energi terbarukan dan menarik pendanaan untuk proyek energi terbarukan. 

“Pemerintah bisa memformulasikan kebijakan jangka panjang yang memberikan kepastian investasi energi terbarukan dan menciptakan kerangka regulasi yang minimal setara antara energi terbarukan dan energi fosil,” ujar Deon. 

Lainnya, insentif untuk industri teknologi energi bersih perlu dibangun agar Indonesia dan negara ASEAN lainnya juga mendapat manfaat pertumbuhan ekonomi yang lebih optimal dari transisi energi.