Transisi Cepat Energi Bersih Cegah 180.000 Kematian di Indonesia 

Penulis : Kennial Laia

Energi

Kamis, 20 Juli 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Transisi yang lebih cepat ke energi bersih dapat menyelamatkan lebih dari 180.000 nyawa di Indonesia. Pensiun serta pembatalan proyek pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara baru menjadi cara efektif untuk mencegah kematian dan menekan biaya kesehatan sebesar USD 100 miliar atau Rp 1.500 triliun beberapa dekade ke depan. 

Data ini diungkap dalam studi terbaru dari Center for Research on Energy and Clean Air (CREA) dan Institute for Essential Services Reform (IESR), berjudul “Health Benefits of Just Energy Transition and Coal Phase-out in Indonesia”, yang diluncurkan pada Selasa, 18 Juli 2023.  

Penelitian CREA dan IESR mengembangkan jalur pengakhiran operasional PLTU batubara berbasis kesehatan yang pertama di Indonesia, berdasarkan pemodelan atmosfer yang terperinci dan penilaian dampak kesehatan per pembangkit listrik (health impact assessments, HIA). Jalur ini memaksimalkan manfaat kesehatan dari peralihan PLTU batubara ke energi bersih dengan mengakhiri operasional PLTU batubara yang paling berpolusi terlebih dahulu. 

“Hasil dalam penelitian ini menunjukkan PLTU batu bara sebagai pembunuh senyap yang tidak kita sadari serta luput dari perhatian pemerintah dan masyarakat. Padahal polutan dari pembangkit telah menyebabkan kematian dan beban ekonomi yang besar yang harus ditanggung seluruh masyarakat," kata Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa dalam peluncuran laporan secara daring, Selasa, 18 Juli 2023. 

Sekelompok anak-anak bermain dilatari pembangkit listrik tenaga batu bara (PLTU). Foto: Greenpeace Indonesia

Emisi polutan udara dari PLTU batu bara bertanggung jawab atas 10.500 kematian di Indonesia pada 2022 dan biaya kesehatan sebesar USD 7,4 miliar, menurut hasil penelitian tersebut. Kecuali pembangkit listrik bersih dipercepat, dampak kesehatan ini akan terus meningkat dengan beroperasinya PLTU batu bara yang baru. Apalagi penggunaan dan kapasitas PLTU batu bara diproyeksikan meningkat selama satu dekade ke depan. 

Untuk menghindari kerugian kesehatan dan ekonomi berulang, pemerintah harus berinvestasi pada pada penghentian PLTU batu bara dalam periode yang lebih cepat. Investasi sebesar USD 32 miliar (Rp 450 triliun) diperlukan untuk merealisasikan target ini. 

Studi tersebut menghitung, dengan penghentian operasi PLTU batu bara ini, biaya kesehatan yang dihindari pada 2040 mencapai USD 130 miliar atau setara Rp 1.930 triliun. Sementara itu jumlah kematian yang dapat dicegah lebih dari 180.000 jiwa. 

Menurut Lauri Myllyvirta, salah satu penulis laporan dan analis utama CREA, besarnya dampak kesehatan masyarakat terjadi karena seluruh PLTU batu bara di Indonesia tidak memiliki alat pengendali emisi polusi udara yang efisien. Alat ini harusnya dapat mengendalikan gas beracun seperti sulfur dioksida, nitrogen oksida, dan merkuri. Standar emisi nasional yang lemah menjadi faktor utama. 

Lauri menekankan, penghentian PLTU batu bara juga harus memasukkan pembangkit captive, yang khusus dibangun untuk memasok listrik ke kawasan industri. 

“Standar yang lebih kuat membutuhkan investasi dalam pengendalian polusi udara, dapat mencegah hingga 8.300 kematian akibat polusi udara per tahun pada tahun 2035, dengan biaya kesehatan yang dapat dihindari jauh melebihi biaya yang terkait dengan teknologi tersebut,” kata Lauri. 

"Penelitian kami menunjukkan bahwa mengurangi emisi dari PLTU batu bara tidak hanya baik untuk kesehatan dan kesejahteraan, tetapi juga dapat menguntungkan masyarakat Indonesia secara ekonomi. Biaya kesehatan yang dihindari dapat lebih dari sekadar mengkompensasi investasi yang diperlukan untuk menutup pembangkit listrik tenaga batu bara dan membangun pembangkit listrik bersih sebagai penggantinya," jelas Lauri.  

Peneliti Senior IESR Raditya Wiranegara, salah satu kontributor dalam laporan tersebut mengatakan, penelitian ini turut merinci daftar PLTU batu bara yang diurutkan berdasarkan dampaknya terhadap biaya kesehatan per unit pembangkit. "Ini dapat menjadi metrik tambahan bagi pengambil kebijakan dalam membuat prioritas penghentian pembangkit listrik," kata Raditya.

Studi tersebut menyebut, provinsi paling terdampak berdasarkan skala dampak adalah Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Jakarta Raya, dan Jawa Timur. Kemudian Lampung, Sumatra Utara, Sumatra Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Selatan. 

Studi IESR bersama University of Maryland sebelumnya menghitung terdapat 12 PLTU batu bara dengan kapasitas total 4,5 GW yang bisa dipensiunkan pada periode 2022-2023. Penilaiannya termasuk penurunan kinerja dari sisi teknis, ekonomi, dan lingkungan. 

PLTU Bangka Baru berkapasitas 60 megawatt (MW), PLTU Banten Suralaya 1.600 MW, PLTU Merak 120 MW, PLTU Cilacap Sumber 600 MW, dan PLTU Paiton 800 MW. 

Kemudian ada PLTU Tarahan berkapasitas 100 MW, PLTU Asam-asam 260 MW, PLTU Tabalong 200 MW, PLTU Tabalong Wisesa 60 MW, PLTU Muara Enim 260 MW, PLTU Cikarang Babelan 280 MW, dan PLTU Ombilin 200 MW. 

“Hal ini merupakan masukan yang sangat penting karena sekretariat JETP saat ini sedang menyusun Comprehensive Investment Plan and Policy (CIPP), di mana pemensiunan pembangkit listrik tenaga batubara merupakan salah satu bidang investasi yang termasuk dalam dokumen tersebut," ujar Raditya. 

Sebagai catatan, analisis tersebut dilakukan dengan mengembangkan inventarisasi emisi PLTU batubara di Indonesia yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Para peneliti kemudian mensimulasikan penyebaran polusi dari PLTU batubara dengan menggunakan pemodelan atmosfer yang terperinci; lalu mengukur dampak kesehatan akibat polusi udara yang dihasilkan dari perubahan konsentrasi polutan di udara.

Peneliti juga menilai dampak kesehatan dalam bentuk uang dengan menggunakan biaya ekonomi per kasus dari hasil kesehatan yang berbeda yang dikumpulkan dari berbagai literatur dan ditransfer ke tingkat pendapatan dan PDB per kapita di Indonesia. 

Sementara itu data yang digunakan berasal dari berbagai data yang kredibel dan pemodelan yang paling maju, kata Lauri.