Di Balik Senyap RTRWP Kaltim

Penulis : Aryo Bhawono

LIPUTAN KHUSUS

Kamis, 17 Agustus 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Bentang hijau nan teduh itu seolah tak pernah berakhir kala menapak di ujung jalan bekas hutan produksi PT Ratah Timber di dekat Desa Nyaribungan, Kecamatan Laham, Mahakam Ulu, Kalimantan Timur. Di muka adalah Hutan Lindung Kelompok Hutan (HL KH) Sungai Ratah-Sungai Nyuatan-Sungai Lawa yang berbatasan dengan Kalimantan Tengah.

Pepohonan setinggi belasan meter tegak memayungi sempurna dataran di bawahnya. Rimbun dan anggun.

Hutan ini menjadi bagian Sub Daerah Aliran Sungai (DAS) Ratah yang bermuara di Sungai Mahakam. Anak Sungai Ratah, diantaranya Sungai Nyaribungan dan Sungai Pari, berhulu pada kawasan sekitar hutan lindung itu. Status hutan lindung tersemat untuk menjaga asupan air di sungai tersebut.

Betahita tiba di rimbun hutan lindung tanpa nama lokal ini setelah menempuh jalan tanah berbukit. Perlu sekitar satu jam berkendara menggunakan sepeda motor dari pemukiman terdekat, Desa Nyaribungan.

Kondisi Hutan Lindung di Mahakam Hulu Kalimantan Timur. (Dokumentasi Yayasan Auriga)

Sedangkan aktivitas terdekat yang kami lalui adalah kamp milik PT Pari Coal, perusahaan tambang batu bara milik Grup Adaro.

Sejenak terlena keindahan hutan, secepat kilat juga ingatan segera berkelebat. Kehadiran Betahita sebenarnya adalah untuk membuktikan bahwa hutan lindung itu terancam lenyap. Proses revisi rencana tata ruang Kalimantan Timur adalah penyebabnya. Keberadaan PT Pari Coal merupakan salah satu ancaman lainnya.

Analisis Yayasan Auriga Nusantara mencatat hutan lindung itu telah dibebani lima izin usaha pertambangan seluas 56.396 hektare (ha). Selain PT Pari Coal yang mengantongi izin seluas 23.287 ha, perusahaan lainnya adalah PT Ratah Coal seluas 21.465 ha, PT Maruwai Coal seluas 10.223 ha, PT Lahai Coal seluas 1.354 ha, dan Energy Persada Khatulistiwa seluas 65,7 ha.

Empat perusahaan diantaranya yang disebutkan tadi merupakan Grup Adaro: PT Pari Coal, PT Ratah Coal, PT Maruwai Coal, dan PT Lahai Coal.

Dalam proses Rencana Tata Ruang Tata Wilayah Provinsi (RTRWP) Kaltim hutan lindung yang kami singgahi ini diturunkan statusnya menjadi Hutan Produksi Terbatas (HPT). Auriga Nusantara mencatat penurunan status ini sebagai satu dari banyak kontroversi RTRWP Kaltim.

RTRWP Kaltim mengusulkan perubahan dan penurunan status kawasan 736.055 ha. Seluas 612.366 ha berupa pelepasan kawasan hutan dan 101.788 ha penurunan kawasan hutan. Hanya seluas 19.858 ha mendapat peningkatan status kawasan hutan, dan sisanya, seluas 2.054 ha atau 2,7 persen tidak berubah statusnya.

Analisis lebih lanjut Auriga Nusantara menunjukkan penurunan status HL KH Sungai Ratah-Sungai Nyuatan-Sungai Lawa mencapai 100.417 ha. Lahan konsesi milik lima perusahaan di atas hutan lindung itu termasuk dalam penurunan status ini. Sisanya seluas 44.021 ha belum dibebani izin, namun siap untuk dimiliki dan dieksploitasi sebab statusnya sudah diturunkan.

Angka ini tidak sinkron dengan data Tim Terpadu bentukan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang menyebutkan penurunan status kawasan ini mencapai 100.316 ha. Angka tersebut tertera dalam Buku Lokasi Usulan Perubahan Peruntukan dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Dalam Rangka RTRWP Kaltim.

Kondisi asri Desa Nyaribungan yang masih dikepung hutan lindung. (Dok. Yayasan Auriga Nusantara)

Dalam buku disebutkan dua lokasi penurunan status kawasan hutan lindung menjadi HPT dengan kode MU.15 seluas 80.774,33 ha dan MU.16 seluas 19.542,07 ha. Keduanya berada di HL KH Sungai Ratah-Sungai Nyuatan-Sungai Lawa.

Angka penurunan status ini dianggap misterius dan rawan penyusupan kepentingan. Sebab selain berbeda tim kolaborasi Betahita dan Koran Tempo menemukan munculnya tidak sedari awal proses, melainkan mendekati tenggat akhir proses rencana revisi.

Anggota Tim Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), Yohanes Budi Sulistioadi menekankan penurunan status akan melegalkan perusahaan melakukan pertambangan terbuka.

“Modus-modusnya begitu, kalau Hutan Lindung kan dia harus dari bawah. Memang rawan sih di situ,” ucap dia dalam wawancara, pada Matriks KLHS RTRWP Kaltim hanya melakukan verifikasi terhadap HL KH Sungai Ratah-Sungai Nyuatan-Sungai Lawa seluas 19.545,79 ha. Artinya asal usulan HPT berkode MU.15 di HL KH Sungai Ratah-Sungai Nyuatan-Sungai Lawa sah misterius.

Verifikasi itu pun justru mendapati kondisi ekologis yang masih bagus, yakni berhutan, lahan pertanian, perladangan, dan perkebunan. Persentase luas kawasan hutan terhadap luas daerah aliran sungai (DAS) di Kabupaten Mahakam Ulu mencapai 86,27 persen.

Alhasil Tim KLHS pun merekomendasikan untuk mempertahankan kawasan itu agar fungsi hutan lindung tetap dipertahankan.  (Baca juga: Adaro dan Sinarmas Si Peraup Untung Revisi RTRW Kaltim)

Budi tahu jika ada konsesi Grup Adaro di sekitar hutan lindung itu. Ia mengaku pernah melakukan pembicaraan dengan mereka ketika menyusun profil dan rencana induk pengelolaan keanekaragaman hayati Mahakam Ulu. Perusahaan itu mulai melakukan eksplorasi dan meminta masukan mengenai peta habitat satwa, termasuk badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis).

Kamp Pekerja milik PT Pari Coal. (Dokumentasi Yayasan Auriga)

Namun keberadaan konsesi perusahaan tambang di atas hutan lindung ini tak disadari oleh Anggota Pansus RTRW di DPRD Kaltim. Ketua Pansus RTRW DPRD Kaltim dari Fraksi PAN, Baharuddin Demmu, mengaku tak tahu menahu soal keberadaan perusahaan tambang di balik hutan lindung itu.

Pembahasan, kata dia, cukup rumit karena tebalnya dokumen dan proses konfirmasi dengan pemerintah daerah hingga masyarakat. Namun pihaknya diburu waktu karena Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang hanya memberi waktu tiga bulan pembahasan.

“Saya tidak tahu kalau ada perusahaan, seperti Grup Adaro. Pastinya itu tidak muncul di kami,” ucapnya.

Ia tak menafikkan kepentingan perusahaan cukup lekat dalam RTRWP Kaltim ini, baik tambang, kebun, ataupun usaha kehutanan lainnya. PT Pari Coal sendiri sejak dua tahun lalu telah melakukan eksplorasi di dekat kawasan hutan lindung.

Mereka mengantongi SK 191.K/30/DJB/2018 yang juga mencakup kawasan hutan lindung. Proses AMDAL telah mereka lakukan sejak sekitar 2021.

Kepala Divisi Komunikasi Perusahaan Adaro, Febriati Nadira, menyebutkan grup Adaro senantiasa patuh dan mentaati peraturan yang ditetapkan, termasuk terhadap adanya revisi perubahan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), karena revisi tersebut sepenuhnya merupakan kewenangan dari Pemerintah.

“Perusahaan mematuhi ketetapan pemerintah dalam mengelola cadangan sumber daya alam dengan terus memperhatikan kaidah dan peraturan pelestarian lingkungan serta konsisten menerapkan Good Mining Practices atau praktek pertambangan yang baik dan benar dalam menjalankan kegiatan operasionalnya,” ungkapnya dalam pernyataan tertulis kepada redaksi. (Baca juga: Usulan Revisi RTRW Kaltim Sarat Kepentingan Korporasi)

Meski masyarakat tak menolak secara tegas dalam persetujuan itu namun kekhawatiran mereka mengenai dampak tambang terhadap Sungai Ratah mulai muncul.

Kepala Kampung Adat Nyaribungan, Ismail Bang, mengungkap jika Sungai Ratah rusak karena tambang maka habis sudah kehidupan orang dayak disana. “Itu sama saja mati konyol karena kami tak bisa apa-apa lagi,” ujarnya.

Ya, tanpa hutan juga sungai semua tidak bisa apa-apa lagi. Ismail lalu diam. Lama sekali.

**Liputan ini merupakan kolaborasi betahita dengan koran tempo. Tulisan yang membahas proses revisi RTRW Nasional ini akan turun secara berangkai. Selamat membaca.

Senarai mereka yang diuntungkan. Infografer: Robby