Aceh Tenggara Dilanda Banjir, Bukti Kerusakan Hutan Makin Masif

Penulis : Gilang Helindro

Deforestasi

Senin, 28 Agustus 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Kabupaten Aceh Tenggara dilanda banjir dalam sepekan terakhir. Hal ini menjadi bukti masifnya kerusakan hutan di kawasan tersebut.

Ahmad Salihin, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh, menyebut kerusakan akibat penabangan liar, perkebunan sawit hingga pembukaan jalan baru. “Seperti pembangunan jalan tembus dari Jambur Latong, Kutacane sampai perbatasan Sumatera Utara,” katanya saat dihubungi.

Menurutnya, pembukaan jalan baru tersebut dapat memicu illegal logging maupun konflik satwa dan kejahatan lingkungan lainnya. Dengan adanya jalan tersebut para perambah hutan semakin mudah untuk mengakses kawasan hutan untuk menebang kayu. “Intensitas banjir yang terjadi di Aceh Tenggara sepakan ini membuktikan bahwa kerusakan hutan semakin masif terjadi di Aceh Tenggara,” katanya.

Berdasarkan data dari Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA), banjir yang melanda Aceh Tenggara sepekan terakhir ini telah berdampak terhadap 8.101 jiwa  dan 2.230 kepala keluarga. Sebanyak 326 jiwa terpaksa harus diungsikan, meskipun hingga sekarang belum ada laporan korban jiwa data per 22 Agustus 2023.

Banjir Masih di Aceh Tenggara. Foto: Google Earth

Ada 5 kecamatan dan 28 desa dikepung banjir setelah intensitas hujan lebat melanda Aceh Tenggara. Akibatnya merusak lahan padi 350,50 hektar dan lahan jagung 53 hektar. Bahkan dilaporkan jembatan Lawe Hijo Ampera putus. Dari luas wilayah Kabupaten Aceh Tenggara 92 persen masuk dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), hutan yang memiliki nilai konservasi tinggi. Berdasarkan SK 580  total luasnya  414.664 hektar, jadi  380.457 hektar adalah KEL. 

Padahal, kata Om Sol, sapaan Ahmad Salihin, KEL merupakan salah satu hamparan hutan hujan tropika terkaya di Asia Tenggara, serta lokasi terakhir di dunia yang ditempati gajah sumatera, badak sumatera, harimau sumatera, dan orang utan sumatra dalam satu area.

Parahnya kerusakan tutupan hutan di Aceh Tenggara mayoritas terjadi dalam Hutan Lindung (HL) dan Taman Nasional (TN) yang seharusnya dijaga dan dilindungi. Dampaknya saat musim hujan dengan intensitas tinggi, banjir dengan mudah terjadi, karena daya tampung semakin berkurang karena hutan sudah gundul.

Hutan Lindung di Aceh Tenggara berdasarkan SK 580 seluas 79.267 hektare, sekarang tersisa hanya 68.218 hektare. Artinya pada 2022 terjadi kehilangan tutupan hutan di kawasan ini seluas 11.049 hektare, hampir dua kali lipat luasan kota Banda Aceh.

Kemudian Taman Nasional (TN) di Aceh Tenggara awalnya luasan 278.205 hektare, sekarang  tersisa 257.610 hektare, artinya telah terjadi kehilangan 20.595 hektar pada 2022 atau hampir setara 4 kali luasan kota Banda Aceh. “Kondisi hutan di Aceh Tenggara terus menyusut setiap tahunnya sejak 2014 lalu, ini yang kemudian menjadi pemicu mudah terjadi banjir bila hujan lebat melanda,” katanya.

WALHI Aceh mendesak pemerintah Aceh memproteksi kerusakan hutan di Aceh Tenggara yang terus terjadi setiap tahunnya. Begitu juga tidak membuka jalan baru, cukup memaksimalkan jalan yang sudah ada dengan memperbaiki agar mudah dilalui. Jika ada jalan baru dibangun, kata Om Sol, semakin memantik pembalakan liar yang berakibat fatal terhadap kondisi lingkungan di Aceh Tenggara. Selain berdampak terjadinya banjir, juga mengakibatkan konflik satwa karena habitat dan koridor terganggu dan kejahatan lingkungan lainnya.

Berdasarkan pengamatan WALHI Aceh, Aceh Tenggara memiliki data riwayat banjir yang tinggi dibandingkan daerah lainnya. Ini tidak terlepas masih terjadi sengkarut ruang yang harus secepatnya diperbaiki. Merujuk pada Qanun Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Aceh Tenggara,  Nomor 1 tahun 2013 tahun 2013 – 2033, lima kecamatan yang dilanda banjir berada dalam Wilayah Sungai Strategis Nasional Alas – Singkil yang meliputi Daerah Aliran Sungai (DAS) Singkil seluas 327.829,24 hektare.

Uniknya, dalam qanun tata ruang kata Om Sol, lima kecamatan tersebut tidak masuk dalam sistem pengendali banjir dan sistem pengamanan sungai. Artinya, Kabupaten Aceh Tenggara memiliki masalah dalam konteks pengaturan ruang, tidak heran kemudian jika bencana banjir bandang menjadi agenda tahunan, bahkan berpotensi terjadi beberapa kali dalam setiap tahun.

Qanun Aceh No 19 Tahun 2013 tentang RTRW Aceh tahun 2013 hingga 2033 sekarang sedang direvisi. “Pemerintah Aceh Tenggara seharusnya mengambil peluang ini untuk menyinkronkan tata ruang kabupaten dengan provinsi terkait kepentingan penanggulangan bencana banjir,” tutupnya.