Revisi RTRW Provinsi Jawa Timur Dorong Kerawanan Pangan

Penulis : Gilang Helindro

Agraria

Rabu, 27 September 2023

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Alih fungsi lahan pertanian di Jawa Timur (Jatim) sangat erat kaitannya dengan perubahan tata ruang. Berdasarkan kajian Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur, perubahan tata ruang tersebut membuat luasan lahan komoditas pangan seperti padi di Jawa Timur tahun 2022 turun dari 2021, dari 1,75 juta hektare menjadi 1.69 juta hektare.

Wahyu Eka Styawan, Direktur Walhi Jatim menyebut, sebelum diketoknya undang-undang bermasalah seperti UU Cipta Kerja yang mendorong munculnya PP No 21 Tahun 2021, rencana tata ruang sudah bermasalah. Di semua wilayah kabupaten dan kota hampir terdapat tumpang tindih peruntukan, seperti kawasan pangan dengan kawasan industri, infrastruktur dan tambang. 

“Tidak hanya itu, mengenai penetapan lahan pangan dan pertanian berkelanjutan juga tidak konsekuen dengan kenyataan ruang, hasilnya penetapan tersebut tidak tepat sasaran dan minim,” katanya Rabu, 26 September 2023. Bahkan Walhi Jatim menemukan beberapa alih fungsi lahan pangan dan pertanian berkelanjutan dikarenakan pembangunan masif yang tidak sesuai dengan perencanaan ruang. Sudah begitu tidak pernah ada tindakan, alih-alih kerumitannya ditambah dengan diberikannya aneka izin dari hak guna bangunan, hak guna usaha, hingga izin usaha pertambangan.

“Bukannya hal tersebut menjadi evaluasi, malahan dalam revisi rencana tata ruang dan tata wilayah yang hampir dilakukan di seluruh wilayah Jawa Timur baik dari level provinsi hingga kabupaten dan kota memfasilitasi alih fungsi tersebut dengan menetapkan kawasan yang sebelumnya bermasalah menjadi terakomodir,” katanya.

Kecenderungan meluasnya alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian saat ini. Foto: Kominfo Jatim

Kemudian UU Cipta Kerja muncul.

UU Cipta Kerja memperparah keadaan

Wahyu menjelaskan, UU Cipta Kerja itu memperparah keadaan karena mempunyai semangat untuk merampas ruang hidup, termasuk kawasan pertanian dan pangan, sebagai jalan meningkatkan investasi. Melalui PP No 21 Tahun 2021, meskipun aturan induknya inkonstitusional, revisi tata ruang didorong untuk menyesuaikan dengan kehendak determinasi pusat, dengan membuka ruang untuk kebutuhan proyek infrastruktur nasional seperti jalan bebas hambatan, pengembangan energi seperti geotermal, pembangunan kilang minyak dan jaluran pipa, sampai dorongan pembangunan kawasan ekonomi khusus. 

“Selain itu rencana tata ruang ini juga memfasilitasi pertambangan skala besar dan pembangunan-pembangunan yang menyalahi kondisi ruang untuk dilegalkan,” Wahyu menambahkan.

Lahan pertanian seluas 340 hektar akan dialihfungsikan menjadi tapak kilang minyak.

Menurut Wahyu, revisi rencana tata ruang yang kini dibuka selebar-lebarnya untuk kepentingan investasi besar telah mendorong ketidakamanan pangan, pasalnya akan ada banyak alih fungsi lahan pertanian. Seperti yang terjadi di Tuban,  untuk memenuhi alokasi lahan guna pembangunan kilang minyak, sebanyak 340 hektar lahan pertanian akan dialihfungsikan menjadi tapak kilang minyak. 

Sementara sawah-sawah sepanjang Pesisir Utara Jawa Timur juga terancam digusur untuk kepentingan pembangunan jalan tol dari Tuban hingga Banyuwangi. Lalu lahan-lahan pertanian di wilayah Pesisir Selatan Jawa Timur juga bernasib sama dengan pesisir utara di mana banyak lahan akan dialihfungsikan untuk jalan bebas hambatan. Bahkan akan banyak wilayah pertanian yang akan tergusur karena ditetapkan sebagai kawasan industri seperti Ngajuk, Pasuruan sisi timur, dan Banyuwangi di area pesisir utara.

Tidak cukup di situ, aturan tata ruang telah mendorong tumpang tindih kawasan, seperti memunculkan kawasan pertambangan bersanding dengan kawasan pertanian dalam satu area, hal ini dapat dilihat dalam rencana tata ruang Provinsi Jawa Timur yang memasukan hal tersebut sebagai salah bagian dari revisi rencana tata ruang. Lahan-lahan pertanian di daerah seperti Trenggalek, Malang, Lumajang, Jember dan Banyuwangi menjadi sangat rentan dialifungsikan untuk kebutuhan pertambangan. 

“Hal ini juga berlaku di kawasan-kawasan urban, di mana lahan pertanian dihapus dari peta ruang hanya untuk memfasilitasi ekspansi masif industri properti seperti yang terjadi di Surabaya, Gresik, Sidoarjo, dan Malang Raya,” Wahyu mengungkapkan.