Polresta Solok Diminta Stop Kriminalisasi 6 Warga Bidar Alam

Penulis : Gilang Helindro

Agraria

Senin, 02 Oktober 2023

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Konflik antara masyarakat Nagari Bidar Alam dan Masyarakat Nagari Ranah Pantai Cermin dengan PT Ranah Andalas Plantation (PT RAP) di Kabupaten Solok Selatan berujung pada kriminalisasi 6 warga. Keenamnya ditetapkan sebagai tersangka oleh Polres Solok Selatan. Pemanggilan enam orang masyarakat di Bidar alam ini berawal dari laporan polisi Nomor LP/168/IX/2020/SPKT terkait tindak pidana pencurian pada tanggal 14 September 2020 yang dilaporkan pihak perusahaan.

Menanggapi kriminalisasi warga, Diki Rafiqi, Koordinator Divisi Advokasi LBH Padang menyampaikan LBH Padang dan Walhi Sumatera Barat Sumbar menyampaikan tiga tuntutan. Pertama, mendesak Polresta Solok Selatan menghentikan Kriminalisasi kepada masyarakat Bidar Alam. Kedua, mendesak Bupati Solok Selatan mencabut izin PT RAP. Ketiga, Polres Solok Selatan mengusut dugaan pidana PT RAP di antaranya berkebun tanpa izin, penggelapan uang bagi hasil masyarakat, dan tindak pidana perpajakan.

Diki menjelaskan, permasalahan bermula dari konflik agraria yang masih belum terselesaikan di Kabupaten Solok Selatan. Padahal PT RAP yang diduga melaporkan masyarakat tidak lagi memiliki legalitas apapun. “Hal ini diperkuat dengan Surat Keputusan Bupati Solok Selatan yang mencabut izin lokasi PT RAP pada tertanggal 29 Juli 2008 yang lalu. Selain itu, PT RAP juga tidak mengantongi Hak Guna Usaha (HGU) di Nagari Bidar Alam dan Nagari Ranah Pantai Cermin,” katanya dalam keterangan resmi Senin, 25 September 2023. 

Awalnya, kata Diki, PT RAP hadir akibat perjanjian antara ninik mamak dengan PT RAP akan adanya pembagian hasil 60 persen – 40 persen semenjak dibangunnya perkebunan, tapi hingga pada saat ini masyarakat tidak mendapatkan haknya sama sekali dari PT RAP. “Puluhan tahun masyarakat menunggu itikad baik dari PT RAP untuk memberikan perolehan bagi hasil 40 persen dari hasil panen tak kunjung jua didapatkan,” katanya.

LBH Padang dan WALHI Sumatera Barat menyampaikan 3 tuntutan terkait kasus Bidar Alam. Foto: LBH Padang

Dampak dari kesepakatan 60 persen hingga 40 persen tersebut, PT RAP sudah ingkar janji pada masyarakat. Pertengahan tahun 2020 masyarakat mengambil alih tanahnya dengan melakukan panen di tanahnya masing-masing. Selain itu, tidak ada juga kejelasan penyelesaian konflik oleh Bupati Solok Selatan hingga saat ini. Pilihan melakukan reklaiming hak oleh masyarakat didasari situasi kebutuhan ekonomi yang dulunya dijanji-janjikan perusahaan akan sejahtera.

Namun, Polres Solok Selatan malah menanggapi reklaiming hak atas tanah tersebut dengan penetapan tersangka dalam dugaan tindak pidana pencurian. Kondisi ini tentunya semakin memperuncing konflik di Nagari Bidar Alam dan Nagari Ranah Pantai Cermin. 

Menurut Diki, ini jelas salah satu upaya kriminalisasi yang dilakukan oleh kepolisian yang dapat membungkam perjuangan hak yang dilakukan masyarakat. Kriminalisasi ini juga memberikan rasa takut kepada masyarakat agar perusahaan dapat kembali menguasai lahan masyarakat. Jika kepolisian membaca perjanjian-perjanjian antara masyarakat dan PT RAP yang bermitra membangun kebun sawit maka dapat ditarik kesimpulan kebun sawit milik masyarakat dan perusahaan. 

“Lalu bagaimana mungkin seorang yang memiliki dituduh mencuri di atas tanahnya sendiri dan pohon sawit yang dimodali 40% oleh masyarakat pemilik lahan. Jangan berpikir kebun hanya dibangun oleh perusahaan karena mekanisme yang dibangun antara perusahaan dan masyarakat adalah kemitraan serta bagi hasil tegasnya,” katanya.

Sebelum Polres Solok Selatan menerima pelaporan PT RAP kata Diki, mestinya kepolisian mempertanyakan legalitas perusahaan, karena perusahaan sudah tidak memiliki legalitas yang sah lagi disana. Selain itu PT RAP tidak hanya merugikan masyarakat namun juga merugikan negara dengan tidak membayar pajak. Seharusnya negara menindak hal seperti ini bukan malah menghukum orang yang sudah lama dicurangi. “Selain itu, persoalan PT RAP dan masyarakat pemilik lahan bukan persoalan pidana tapi persoalan perdata,” kata Diki.

Tommy, Kepala Advokasi Walhi Sumbar menyatakan bahwa aktivitas budidaya perkebunan kelapa sawit yang dilakukan oleh PT RAP tanpa memiliki hak atas tanah dan perizinan berusaha adalah perbuatan yang tidak sah secara hukum. Sebab, Kegiatan usaha budidaya perkebunan dan/atau usaha pengolahan hasil perkebunan hanya dapat dapat dilakukan oleh perusahan perkebunan apabila telah mendapatkan hak atas tanah dan memenuhi perizinan berusaha terkait perkebunan dari pemerintah pusat (pasal 42 ayat (1).

Selanjutnya kata Tommy, pasal 55 UU 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 06 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang juga menegaskan norma yang melarang setiap orang (termasuk perusahaan ) secara tidak sah mengerjakan, menggunakan, menduduki, dan/atau menguasai lahan perkebunan (termasuk diatas tanah ulayat), memanen atau memungut hasil perkebunan.

Dengan tidak sahnya aktivitas mengerjakan, menggunakan, menduduki, dan/atau menguasai lahan perkebunan oleh PT RAP tidak memiliki hak atas tanah dan tidak memiliki perizinan berusaha. 

Maka, kata Tommy, PT RAP dapat dikenai pidana perkebunan, diatur pada pasal 107 UU 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 06 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah. Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang yang menegaskan bahwa setiap orang yang tidak sah mengerjakan, menggunakan, menduduki, dan menguasai lahan perkebunan, tanah masyarakat atau tanah hak ulayat masyarakat adat. 

“Dengan maksud usaha perkebunan, melakukan penebangan tanaman dalam kawasan perkebunan; memanen atau memungut hasil perkebunan sebagaimana dimaksud dalam pasal 55, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp. 4.000.000.000,” katanya.