Rencana Transisi Energi Bisa Kian Merusak HAM dan Lingkungan

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Energi

Kamis, 23 November 2023

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Sejumlah aktivis dari Greenpeace Indonesia, Trend Asia, dan Enter Nusantara yang tergabung dalam gerakan #BersihkanIndonesia melakukan aksi kreatif teatrikal dan penyerahan dokumen berisi komentar dan masukan publik #BersihkanIndonesia terhadap Rencana Investasi dan Kebijakan Komprehensif atau Comprehensive Investment Plan and Policy (CIPP)-Just Energy Transition Partnership (JETP) di Kedutaan Besar Jepang (Embassy of Japan), Jakarta Pusat, Senin (20/11/2023) kemarin.

Para aktivis tersebut juga membawa spanduk berisikan pesan: ‘Just Energy Transition For People, Not Profit’ (Transisi Energi yang Berkeadilan untuk Rakyat, Bukan Profit) dan ‘Say No To False Solution, Say No To False Transition’ (Katakan Tidak untuk Solusi Palsu, Katakan Tidak untuk Transisi Palsu).

Aksi kreatif dan penyerahan dokumen ini dilakukan untuk menyampaikan masukan masyarakat sipil di Indonesia kepada Pemerintah Jepang terhadap dokumen CIPP-JETP. Jepang merupakan salah satu negara yang menjadi pemimpin International Partners Group (IPG) bersama Amerika Serikat. Dokumen komentar dan masukan publik #BersihkanIndonesia tersebut, juga dikirimkan kepada negara-negara anggota IPG lainnya.

Pada KTT G20 di Bali tahun lalu, Pemerintah Indonesia dan IPG meluncurkan skema JETP untuk pembiayaan transisi energi di Indonesia melalui komitmen sebesar US$20 juta. Nilai tersebut di antaranya untuk mendanai pemensiunan dini PLTU batubara, pengembangan pembangkit listrik berbasis energi terbarukan, hingga penerapan aspek berkeadilan untuk menanggulangi risiko sosial-ekonomi dari transisi energi.

Gerakan #BersihkanIndonesia gelar aksi teatrikal dan serahkan dokumen masukan atas CIPP-JETP ke Kedutaan Besar Jepang, Senin (20/11/2023). Foto: #BersihkanIndonesia

Di dalam dokumen rekomendasi CIPP-JETP gerakan #BersihkanIndonesia, diungkapkan diseminasi informasi yang terbatas dan pelibatan publik yang tidak bermakna terjadi dalam proses konsultasi publik. Sekretariat JETP Indonesia hanya memberikan waktu kepada publik untuk menganalisis dokumen setebal 300 halaman selama dua pekan yakni 1-14 November 2023, dan rancangan CIPP berbahasa Indonesia baru tersedia pada 10 November 2023, tiga hari kerja sebelum batas akhir pemberian masukan.

Reka Maharwati, Koordinator Enter Nusantara mengatakan, secara prosedural, Sekretariat JETP seharusnya menjadi garda terdepan untuk mempertimbangkan bagaimana idealnya transparansi dan partisipasi yang dihadapkan ke publik. Dengan tenggat waktu yang hanya 3 hari kerja (dihitung dari ketersediaan dokumen berbahasa Indonesia), masyarakat tentu tidak bisa menganalisis secara komprehensif, padahal dalam dokumen ini termuat banyak proyek yang akan berdampak luas bagi masyarakat.

"Bagaimana publik bisa memahami isi dokumen tersebut apabila mereka tidak diberi waktu untuk memahami dengan optimal?” ujar Rena, dalam keterangan resmi, Senin (20/11/2023).

Dalam program JETP ini, Jepang mengucurkan dana terbesar kedua, setelah Amerika Serikat, dengan persentase 14,7 persen yakni senilai US$1,7 miliar dari total jumlah dana JETP senilai US$11,5 miliar melalui mekanisme pinjaman konsesi JICA dan investasi non-konsesi JBIC.

Dana yang dijanjikan dari IPG dalam program JETP ini terlihat besar dan bertambah dengan masuknya skema ETM (Energy Transition Mechanism) untuk memastikan tujuan pensiun dini PLTU masuk pada skema, yang awalnya US$20 miliar menjadi US$21,5 miliar.

“Dengan nilai hibah yang digabung dengan bantuan teknis yang hanya 1,38% dari jumlah total dana JETP saat ini, ini akan berimplikasi potensi beban utang Indonesia yang tinggi. Hal ini seharusnya dikomunikasikan dengan terang karena diterimanya JETP secara langsung atau tidak akan mempengaruhi masyarakat untuk jangka menengah maupun jangka panjang,” kata Beyrra, Program Manager Trend Asia.

Selain menyoroti soal mekanisme utang yang diberikan melalui program JETP ini, dokumen komentar dan masukan dari #BersihkanIndonesia juga menyoroti tujuh masalah substansial dalam dokumen CIPP, di antaranya masuknya solusi palsu sebagai alternatif pengganti bahan bakar fosil. Sayangnya, negara IPG seperti Jepang dan Amerika Serikat turut mengampanyekan penggunaan solusi palsu seperti co-firing biomassa dan CCUS sebagai upaya untuk menekan pemanasan global.

Didit Haryo Wicaksono, Pengampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia menuturkan, dokumen CIPP-JETP terbukti telah mengkhianati semangat transisi energi yang berkeadilan. Karena sama sekali tidak mendorong dan memaksimalkan pemanfaatan energi terbarukan berbasis komunitas seperti matahari, mikrohidro, dan angin berskala mikro.

"Dokumen ini malah memberikan ruang bagi solusi palsu seperti co-firing, hidrogen, amonia, CCS/CCUS dan nuklir yang jelas-jelas berpihak pada korporasi besar, berorientasi pada profit, menghasilkan hutang karbon yang besar, menghasilkan kerusakan lingkungan, dan memperparah pelanggaran HAM,” ucap Didit.