Dari Perundingan ke Perundingan, Bumi Semakin Memanas

Penulis : Syahrul Fitra, Greenpeace Indonesia

Opini

Kamis, 07 Desember 2023

Editor : Yosep Suprayogi

All these rules don't apply
When you're high in the sky
So come on down
Come on down

[Peter Gabriel: Down to Earth]

SIAPA sangka, pada 17 November lalu, suhu muka bumi harian berdasarkan data Copernicus Climate Change Service telah melampaui ambang batas "aman". Lembaga penyedia informasi dan data perihal iklim Uni Eropa itu mencatat, suhu muka bumi hari itu naik 2,07 derajat celsius, dan 2,06 oC sehari setelahnya. Padahal, ambang batas yang disepakati dalam kesepakatan Paris, yang lahir karena mengkhawatirkan soal lonjakan suhu ini, adalah 1,5 derajat celcius, atau angka toleransinya 2 derajat celsius.

Kenaikan suhu pada tengah November tersebut sudah tentu dirasakan banyak orang. Tidak terkecuali di Indonesia. Orang-orang mengeluhkan cuaca yang kian panas ini. Kalau saya, Anda, dan kita semua hingga pertengahan November kerap merasakan cuaca panas yang begitu ekstrim tersebut, itu baru sebagian kecil dari dampak krisis iklim. Di tempat lain, karena krisis ini telah terjadi kekeringan, gagal panen, kebakaran, dan banyak lagi kasus lainnya.

Ilustrasi suhu panas. Foto: Shutterstock

“Untung sekarang sudah masuk musim hujan...,” belakangan ujaran ini yang kerap terdengar. Setidaknya di sekitar Ibu Kota, di mana hujan mulai datang secara teratur. Tapi, coba perhatikan dampaknya. Ketika hujan, intensitasnya jadi begitu tinggi. Situasi ini akhirnya membawa akibat negatif lagi. Kalau gak longsor, ya banjir. Lagi-lagi ini dampak nyata krisis iklim. Maju kena mundur kena!

Kalau suhu muka bumi ini terus naik dan semakin ekstrem, apa dong dampak perundingan mengenai perubahan iklim yang dihelat hampir tiap tahun?

Perundingan teranyar itu sedang berlangsung di Dubai, dikenal sebagai Konferensi Para Pihak ke-28 (Convention On PartiesCOP28). Ada banyak sekali tema yang dibahas dalam konvensi ini. Jika kita lihat lagi fakta bahwa suhu muka bumi sudah pernah menyentuh angka lebih dari 2 derajat celsius, apa yang bisa dilakukan oleh perwakilan negara-negara yang hadir berbondong-bondong ke Dubai?

Pertanyaan di atas penting untuk kita sampaikan di setiap helatan tahunan ini. Apalagi, perundingan ini ikut menghasilkan emisi yang begitu besar dari penerbangan delegasi tiap negara anggota UNFCCC ke lokasi acara. Emisi adalah salah satu biang krisis iklim. Tentu, emisi yang telah dihasilkan dalam pertemuan tersebut tidak ingin terbuang percuma atau memperparah krisis iklim. Bagaimana manfaatnya (better-off) harus jauh lebih besar dibanding mudarat (worse-off) dari kegiatan ini.

Masalahnya saat ini, harapan untuk memperoleh manfaat lebih besar tersebut belum terlihat. Kenaikan suhu muka bumi justru makin cepat menurut laporan IPCC. Bagaimana kita harus melihat pertemuan selanjutnya?

Sekedar reality check, alias check fakta, Indonesia, sebagai negara hutan hujan tropis terluas nomor tiga di dunia, telah melakukan apa untuk menurunkan emisi? Salah satu kontributor emisi dari Indonesia ada pada sektor penggunaan lahan. Konversi hutan menjadi bukan hutan, seperti perkebunan sawit dan kayu atau alih fungsi menjadi area tambang telah melepaskan emisi dalam jumlah yang signifikan. Belum lagi dari kebakaran hutan dan lahan gambut, atau dari pengeringan lahan gambut. Jika dijumlahkan total emisinya jelas jauh lebih besar lagi.

Lantas, sejak ikut sebagai anggota UNFCCC dan menghadiri setiap pertemuan COP, apakah Indonesia telah serius menghentikan kehilangan hutan? Kalau kita lihat dalam dokumen yang dibuat pemerintah, mereka masih merencanakan menghilangkan hutan (deforestasi) lebih dari 400 ribu hektare tiap tahun. Ini baru satu contoh, ternyata pemerintah gak serius mencegah kenaikan suhu lebih ekstrem. Contoh lainnya, lahan gambut masih boleh dikelola untuk perkebunan. Niat baik ikut UNFCCC jadinya tampak palsu.

Bukan bermaksud mengajak kita untuk pesimis. Tapi, coba lihat siapa di balik sponsor pemerintah. Ya! Mereka yang selama ini dikenal sebagai “penjahat” iklim. Aktivitas bisnis mereka telah menghancurkan hutan dalam skala luas, melepas emisi dalam jumlah yang banyak, berkonflik dengan masyarakat adat, dll. Tidak perlu disebut satu-satu, kita bisa telusuri siapa saja yang kerap menjadi sponsor paviliun Indonesia di setiap helatan COP UNFCCC. Jadi, apakah mungkin pemerintah akan menyuarakan aksi nyata atau lebih agresif lagi?

Tidak mengherankan jika akhirnya pemerintah masih merencanakan menghabisi hutan alam seluas 400 ribu hektare tiap tahun. Atau, kasus lainnya, membiarkan begitu saja para perusak hutan melanglang buana tanpa ada proses hukum.

Tidak mengherankan jika akhirnya, dari perundingan ke perundingan, bumi semakin memanas. Sebab, para perundingnya mungkin tidak benar-benar punya niat untuk mencegah atau menghentikan kenaikan suhu muka bumi yang begitu ekstrim. Perundingan hanya dijadikan sebagai anjangsana, untuk show-off sesuatu yang dilakukan secara tidak transparan. Klaim-klaim capaian, kerap kali mudah disanggah sebab pemerintah hadir tanpa bukti yang kuat.

Karena itu, saya, Anda, dan kita semua harus menaruh perhatian pada perundingan ini dan implementasinya setelah itu. Karena tulisan ini tidak hendak membuat kita pesimis, melainkan mengajak kita semua untuk perlu takut akan situasi yang mulai sulit kita kendalikan ini. Krisis iklim begitu nyata. Generasi kita dan generasi yang akan datang, akan merasakan situasi yang lebih buruk dari saat ini, jika kita tetap membiarkan pemerintah berkomitmen sekenanya. Dan menerapkan seadanya nanti.

Kita harus meminta para pemimpin negara-negara peserta COP28, terutama Indonesia untuk down to earth. Jangan lagi mereka melihat dari atas langit kekuasaan mereka. Komitmen yang mereka buat, bukan untuk mereka yang bernegosiasi hari ini saja. Tetapi untuk generasi-generasi muda saat ini dan mereka yang baru atau baru direncanakan akan lahir.