Penemu Serangga: Gampang-susah Mengidentifikasi Spesies

Penulis : Aryo Bhawono

Biodiversitas

Rabu, 20 Desember 2023

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Hampir tiap hari, Garda Bagus Damastra selalu menyempatkan diri mengamati serangga daun yang didapatnya di kaki Gunung Arjuna, tepatnya Desa Bremi, Kecamatan Krucil, Probolinggo, Jawa Timur. Tangannya membentangkan tangan dan kaki serangga itu. 

Sekitar setahun berlalu, ia baru sadar warna ungu pada ketiak serangganya berbeda dengan kerabat terdekat serangga itu. 

“Saat itu tahun 2016, saya masih mengira itu Phyllium jacobsoni. Saya baru sadar soal perbedaan corak warna itu pada 2017,” ucapnya dalam perbincangan melalui telepon pada November lalu. 

Phyllium jacobsoni sudah diidentifikasi sejak lama dan banyak didapati di sekitar kaki Gunung Halimun, Jawa Barat, dan kaki Gunung Bromo, Jawa Timur. Ciri fisik serangga di tangan Garda benar-benar mirip, bentuknya seperti daun, panjang betina mencapai tujuh cm dan jantannya 5 cm. 

Garda Bagus Damastra (Kanan) tengah berburu serangga bersama tiga rekannya. Sumber Foto: akun instagram Garda Bagus Damastra

Pada 2017, perbedaan yang didapatinya menjadi bekal diskusi dengan peneliti asal Berkeley, Amerika Serikat, yakni Frank H. Henneman, Davis Marthin Damaledo, Royce T. Cumming, serta Stephane La Tirant. Hasil riset mereka menunjukkan bahwa serangga itu merupakan spesies baru. 

Garda sendiri tak memiliki latar belakang akademik soal biodiversitas, termasuk soal serangga. Kala itu ia merupakan mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.   

Namun tiga tahun kemudian nama Garda menjadi nama spesies baru itu, Phyllium gardabagusi dalam jurnal publikasi spesies baru berjudul ‘Notes on the leaf insects of the genus Phyllium of Sumatra and Java, Indonesia, including the description of two new species with purple coxae (Phasmatodea, Phylliidae).

Serangga daun yang diidentifikasi oleh garda Bagus Mastra, Phyllium gardabagusi. Sumber foto: instag

Identifikasi serangga bukan perkara sepele. Garda yang sudah sejak kecil mengoleksi serangga pun butuh setahun untuk menyadari bahwa serangga yang dimilikinya merupakan spesies baru. Ia mengaku ketelitian dan ketekunan adalah syarat pokok melakukan identifikasi.

Sejak memperolehnya dari pemburu serangga di kaki Gunung Arjuna, observasi dilakukan Garda tiap hari. Ia mencatat semua morfologi, seperti bentuk, ukuran, organ, warna, hingga menjaga suhu dan kelembaban di kotak penyimpanan serangga. Seluruh siklus hidup tak lepas dari catatannya. 

“Dari menetas sampai dia jadi dewasa bertelur itu butuh empat sampai lima bulan. Ketika suhu lebih tinggi maka akan lebih cepat tumbuh, tapi suhu ini dalam batas yang ditolerir,” ucapnya.

Sedangkan telur itu, kata dia, ditaruh dalam inkubator dari plastik dan diberi substrat untuk mempertahankan kelembaban. 

Seluruh catatan ini sangat penting apalagi ketika para peneliti yang ia ajak diskusi memiliki dugaan bahwa serangga Garda merupakan spesies baru. Seluruh catatan ini dipakai sebagai data penting. Mereka pun melakukan tindak lanjut dengan penelitian di laboratorium. 

Garda mengakui perbedaan Phyllium gardabagusi dengan kerabatnya, Phyllium jacobsoni, adalah pada warna. Ia mengira perbedaan warna ungu pada tiap ketiak itu tadinya hanya cacat saja. Namun setelah telur menetas, seluruh anakannya memiliki corak sama. 

“Jadi perbedaan hanya di warna saja,” ucap dia. 

Identifikasi serangga ranting dan daun dianggap memiliki tingkat kesulitan tersendiri. Maklum, dokumentasi atas spesies ini masih terbatas. Penghobi serangga di Kalimantan Timur, Miftah Ayatussurur, mengungkapkan kesulitan ini berbeda dengan identifikasi kupu-kupu (ordo Lepidoptera) dan capung (ordo Odonata). Dokumentasi dua jenis serangga ini cukup banyak. 

Sehingga setiap temuan dapat dicocokkan dengan spesies yang sudah teridentifikasi. Hal ini memudahkan penghobi seperti dirinya untuk mengidentifikasi spesies.

Kliwon, nama sapaan Miftah Ayatussurur, hobi mendokumentasikan capung dan kupu-kupu. Biasanya ketika menemukan serangga, ia mengelompokkan berdasar jenis terlebih dahulu. 

Setelah dikelompokkan berdasar jenis, pencatatan secara morfologi dilakukan. Pada kupu-kupu misalnya, harus dilihat dari warna, bentuk tubuh, sayap, venasi (tulang sayap).

Segerombolan kupu-kupu sedang menikmati kotoran burung. Sumber foto: Teguh Burhan

Sedangkan pada capung, ketelitian serupa juga harus dilakukan. Misalnya saja abdomen perut yang berbuku-buku, letak kelamin jantan dan betina, dan lainnya. Terkadang terdapat perbedaan warna tetapi ternyata masih satu spesies. 

“Nah, setelah itu baru dicocokkan dengan dokumentasi yang ada. Saat ini untuk kupu-kupu dan capung ada beberapa dokumentasi, cukup banyak,” ujarnya. 

Saat ini terdapat banyak buku mengenai kupu-kupu dan capung yang dapat menjadi perbandingan temuan, seperti Butterflies of Southeast Asia, Butterflies of Southeast Asia Islands, An Introduction of Dragonflies of Borneo, Kupu-kupu Sumatera, hingga berbagai karya ahli insekta Donald J Borror. 

Identifikasi ini tetap saja penuh dengan kejelian. Karena beberapa spesies memiliki kemiripan. Misalnya kupu-kupu, ada Prosotas nora yang mirip dengan Prosotas pia. Keduanya benar-benar mirip tetapi sebenarnya spesies yang berbeda. 

Kemudian pada capung misalnya adalah Orthetrum chrysis dan Orthetrum testaceum, yang memiliki kesamaan. 

“Kadang kalau ada keraguan biasanya ditulis ‘sp’ di belakang nama genusnya. Itu artinya ‘species’ dan menjadi catatan karena ketika pengamatan tidak dapat detailnya sehingga tidak dapat ditentukan spesiesnya,” jelasnya. 

Para penghobi satwa biasanya menyematkan hasil dokumentasi melalui website inaturalist. Namun website ini merupakan sarana dokumentasi satwa secara menyeluruh sehingga tidak hanya mengidentifikasi satu jenis satwa saja. 

Sedangkan para penghobi kupu-kupu dapat memanfaatkan aplikasi kupunesia. Aplikasi ini membantu mengidentifikasi spesies kupu-kupu di Indonesia. 

Akademisi Institut Pertanian Bogor, Damayanti Buchori, mengungkap peran penghobi serangga melakukan dokumentasi dan identifikasi cukup signifikan. Proses itu tidak bisa dilakukan sembarangan. 

Bahkan setelah dokumentasi diperoleh, jika ada peluang serangga tersebut merupakan spesies baru atau sudah punah tetapi kembali ditemukan, maka perlu penelitian di laboratorium.   

“Itu sangat sulit karena harus hafal, harus melihat rambut-rambut dari spesiesnya yang ada di toraks, kepala, duri di kaki, dan lainnya. Makanya ketekunan dan kejelian mereka patut diapresiasi,” ucapnya.

Ia menyatakan kolaborasi antara peneliti dan penghobi sangat penting dilakukan untuk memperkaya identifikasi serangga di Indonesia. Ia meyakini kekayaan biodiversitas di Indonesia, terutama serangga, sangat besar. Apalagi serangga memiliki siklus hidup yang cepat sehingga keragamannya tinggi.