Bank dan Investor Alirkan US$307 M untuk Percepat Kerusakan Hutan

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Hutan

Rabu, 10 Januari 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Kebijakan bank dan investor besar terbukti ikut mempercepat kerusakan hutan, hilangnya keanekaragaman hayati, perubahan iklim, dan pelanggaran hak asasi manusia. Menurut analisis Forest & Finnace (F&F) Coalition atau Koalisi F&F yang terbit awal Desember 2023 lalu, cuan US$307 miliar mengalir dari pendanaan besar ke komoditas yang berisiko terhadap deforestasi hutan tropis besar-besaran.

Dalam rilis resminya Koalisi F&F menjelaskan, analisis berjudul Banking on Biodiversity Collapse: Melacak bank dan investor yang mendorong deforestasi hutan tropis itu memetakan aliran keuangan komersial ke sektor kehutanan yang beroperasi di 300 perusahaan dalam enam sektor komoditas yang berisiko terhadap hutan--daging sapi, minyak sawit, pulp dan kertas, karet, kedelai, dan kayu--yang secara kolektif menyebabkan sebagian besar deforestasi di hutan tropis secara global.

Laporan tersebut mengidentifikasi bank dan investor mana yang memainkan peran terbesar dalam penyediaan kredit, penjaminan emisi, kepemilikan obligasi, dan kepemilikan saham. Di antara 30 bankir terbesar yang berisiko terhadap hutan adalah bank-bank besar dari negara-negara hutan tropis termasuk Brazil dan Indonesia, serta bank-bank yang berasal dari yurisdiksi impor dan keuangan yang signifikan seperti AS, UE, Jepang, dan Tiongkok.

Laporan ini selanjutnya menilai kualitas kebijakan bank yang mengatur investasi di sektor-sektor yang berdampak besar. Kebijakan bank dan investor dinilai berdasarkan 38 kriteria. Hasilnya mengecewakan, sebab rata-rata skor kebijakan hanya sebesar 17% saja.

Foto udara deforestasi di konsesi PT Mayawana Persada, Blok RKTPH, Ketapang, Kalimantan Barat, Mei 2023. Dok Auriga Nusantara/Fajar Sandhika

Hasil penilaian pun menunjukkan hanya 20 bank dan investor yang mendapatkan skor 30% atau lebih. Hanya dua bank yang mendapat skor di atas 50% untuk skor kebijakan--yang menunjukkan kesenjangan besar antara jumlah uang yang disalurkan ke sektor-sektor ini dan upaya perlindungan yang diterapkan untuk mencegah deforestasi massal dan pelanggaran hak asasi manusia.

Laporan tersebut menemukan, bank pemberi dana terbesar, Banco do Brasil dan Bradesco, yang sebagian besar membiayai sektor daging sapi dan kedelai di Brazil, memiliki kebijakan yang minim untuk mencegah deforestasi dan pelanggaran hak asasi manusia.

Raksasa JPMorgan Chase, Bank of America dan Citigroup memainkan peran utama dalam industri pulp dan kertas serta minyak sawit, namun terbukti gagal melindungi hutan, keanekaragaman hayati, dan hak asasi manusia dalam kebijakan mereka. JPMorgan Chase, Bank of America dan Citigroup menerima skor yang sangat buruk, yakni JPMorgan Chase hanya sebesar 15%, Bank of America sebesar 22%, dan Citigroup sebesar 37%.

Temuan-temuan dalam laporan ini menyoroti kebutuhan mendesak akan peraturan yang kuat yang mencakup lembaga-lembaga keuangan untuk diterapkan di yurisdiksi-yurisdiksi utama. Laporan tersebut menekankan bahwa pemerintah dan lembaga keuangan mempunyai tanggung jawab berdasarkan Pasal 2.1c Perjanjian Paris dan Target 14 dan 15 Kerangka Keanekaragaman Hayati Global untuk menyelaraskan aliran keuangan mereka guna mencapai tujuan iklim publik dan keanekaragaman hayati.

Meskipun data menunjukkan adanya fluktuasi dalam total kredit dan investasi tahunan dari tahun 2016 hingga 2023, tidak ada tren penurunan modal yang memfasilitasi perluasan produksi komoditas yang berisiko terhadap hutan.

“Banyak orang mungkin terkejut mengetahui bahwa banyak, bahkan sebagian besar, yurisdiksi, lembaga keuangan legal untuk membiayai perusahaan yang terlibat dalam kejahatan lingkungan,” kata Merel van der Mark, Koordinator Forests & Finance.

Menurut Merel, data yang dihasilkan menunjukkan betapa munafiknya lembaga-lembaga keuangan yang tergabung dalam inisiatif keberlanjutan seperti Principles for Responsible Investment or Principles for Responsible Banking, atau yang memiliki komitmen Net Zero tetapi terus membiayai perusahaan yang membuat tujuan tersebut mustahil tercapai.

"Membiarkan lembaga-lembaga keuangan untuk menetapkan standar-standar ESG mereka sendiri tidak akan cukup untuk mengalihkan aliran keuangan menuju praktik-praktik berkelanjutan. Pada akhirnya, pemerintah harus menetapkan kebijakan dan sanksi yang diperlukan untuk menjaga masyarakat dan ekosistem tempat kita bergantung," katanya.

Selain mencatat aliran dana dan menganalisis kebijakan sektoral, laporan ini juga menyajikan beberapa kasus yang menggambarkan dampak pendanaan ini terhadap hutan dan masyarakat di Indonesia dan Amazon di Brazil.

4 Perusak Hutan Kelas Berat

Penelitian ini mengungkap empat perusak hutan yang terus meraup miliaran dolar pendanaan meskipun mereka telah dikaitkan dengan dampak sosial dan lingkungan yang berbahaya dan terdokumentasi dengan baik, sering kali dalam jangka waktu bertahun-tahun dan menunjukkan pola perilaku penipu dalam jangka panjang. Mereka adalah, menurut Koalisi, JBS, Cargill, Royal Golden Eagle (RGE), dan Grup Sinar Mas.

Dalam laporan ini Koalisi F&F menyebut perusahaan-perusahaan yang diduga berada di bawah kendali yang sama dengan produsen pulp dan kertas yang berbasis di Singapura, RGE Group, mendorong terjadinya deforestasi di Indonesia. Tanpa adanya kebijakan yang diterapkan pada seluruh grup perusahaan, para kreditur RGE mengeluarkan miliaran pinjaman keberlanjutan namun tetap terpapar pada risiko deforestasi, sehingga membuat masyarakat menjadi rentan.

Kemudian, Koalisi juga menyebut rantai pasok pulp dan minyak kelapa sawit Sinar Mas Group (SMG) terkait dengan pelanggaran hak asasi manusia yang mengerikan, emisi gas rumah kaca, dan deforestasi. Meskipun gagal menghentikan deforestasi, SMG tetap menjadi penerima pembiayaan terbesar untuk komoditas yang merisikokan hutan tropis dengan nilai kredit sebesar US$20 miliar sejak 2019.

Laporan ini menyimpulkan bahwa regulator keuangan dan lembaga keuangan harus mengambil langkah-langkah mendesak untuk menyelaraskan aliran keuangan mereka guna mendorong transisi yang adil yang diperlukan untuk menjaga masyarakat dan ekosistem tempat kita bergantung, sejalan dengan tujuan kebijakan publik internasional.

Untuk mencapai hal tersebut, Koalisi F&F menyerukan sektor keuangan untuk mengadopsi 5 prinsip dasar, yang mencakup menghentikan dan memulihkan hilangnya keanekaragaman hayati, menghormati dan memprioritaskan hak-hak masyarakat adat dan komunitas lokal, mendorong transisi yang adil, memastikan integritas ekosistem, dan menyelaraskan tujuan serta instrumen kelembagaan lintas sektor dan isu.

Forests & Finance adalah koalisi organisasi kampanye, akar rumput, dan penelitian termasuk Rainforest Action Network, TuK INDONESIA, Profundo, Amazon Watch, Repórter Brasil, BankTrack, Sahabat Alam Malaysia, dan Friends of the Earth US.