Membela Lingkungan = Bui dan/atau Hilang Nyawa

Penulis : Kennial Laia

SOROT

Senin, 05 Februari 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Bambang Hero Saharjo telah menjadi saksi ahli lebih dari 700 kali dalam perkara kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Bagi Guru Besar Kehutanan Institut Pertanian Bogor itu, hal ini dia lakukan sebagai pengabdian kepada negara. Namun dia tidak menyangka akan digugat oleh PT Jaya Jatim Perkasa (JJP), perusahaan sawit terduga pembakar lahan. Gugatan itu bahkan terjadi hingga dua kali, pada 2018 dan 2023. 

“Niat saya adalah mengungkapkan fakta yang sebenarnya, sehingga yang saya lakukan itu sesuai metode ilmiah dan profesional,” kata Bambang. 

Gugatan kedua kemudian dicabut pada 17 Januari 2024. “Hanya saja saya sedih, karena yang saya lakukan ini untuk permintaan hukum. Kita ingin menunjukkan bahwa di Indonesia cara yang tidak benar seperti membakar itu tidak boleh. Kita ingin bilang Indonesia itu betul-betul tidak membuka pintu dengan perusakan hutan. Dan ini memberi pelajaran (kepada perusahaan),” ujarnya. 

Menurut Direktur Direktorat Penegakan Hukum Sumber Daya Alam-Lingkungan Hidup Auriga Nusantara, Roni Saputra, Bambang termasuk dalam kategori pembela lingkungan atau environmental defender. Artinya, individu atau kelompok/organisasi yang secara sukarela maupun profesional bekerja untuk melindungi atau membela lingkungan hidup, tanah, serta sumber daya alam lainnya dari kerusakan akibat bisnis berskala besar, seperti pertambangan, perkebunan, reklamasi, dan konsesi kehutanan. 

Orang Samin atau Sedulur Sikep yang hidup bertani di kawasan Pegunungan Kendeng, Jawa Tengah, melakukan protes penolakan pabrik semen di area kelolanya, Jakarta pada 2017. Dok Kennial Laia/Betahita

Tidak jarang pihak yang terganggu oleh upaya penyelamatan sumber daya alam dan lingkungan hidup ini melakukan tindakan seperti menggugat pembela lingkungan, seperti yang dilakukan PT JJP. Ini disebut sebagai Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP).  

Tidak hanya digugat, pembela lingkungan juga sangat rentan terhadap penahanan. Januari lalu, aktivis lingkungan hidup Karimunjawa bernama Daniel Frits Maurits Tangkilisan ditahan oleh Kejaksaan Negeri Jepara. Sejak 2016, Daniel bersama rekan-rekannya m​​emprotes keberadaan tambak udang yang diduga ilegal di Karimunjawa. 

Bambang dan Daniel adalah dua contoh betapa rentannya mereka yang bersuara dalam perjuangan melestarikan sumber daya alam dan menjaga lingkungan. Data terbaru dari Auriga Nusantara, organisasi penggiat konservasi dan kebijakan lingkungan, mengungkap terdapat 133 kasus SLAPP atau ancaman terhadap pembela lingkungan selama periode 2014-2023. Angka ini sama dengan 13,3 kasus per tahun, khususnya yang terekam media massa maupun penelusuran informasi oleh lembaga tersebut. 

Dari jumlah itu, kriminalisasi menempati jenis ancaman dengan kasus tertinggi yakni 82 kasus. Kemudian disusul oleh kekerasan fisik (20 kasus), intimidasi (15 kasus), pembunuhan (12 kasus), serta imigrasi/deportasi dan perusakan properti masing-masing dua kasus. 

Berdasarkan wilayah, Jawa dan Sumatra mencatat kasus tertinggi, masing-masing 36 dan 30 kasus. Pulau Sulawesi dan Kalimantan menyusul, masing-masing 23 dan 22 kasus. Kemudian Bali dan Nusa Tenggara 15 kasus, Kepulauan Maluku 5 kasus, dan Tanah Papua 2 kasus.

Kriminalisasi momok terbesar 

Ketua Auriga Nusantara Timer Manurung mengatakan, kriminalisasi merupakan momok terbesar bagi pembela lingkungan. “Ini karena lebarnya kewenangan penyidik kepolisian, bahkan tidak ada kewajiban bagi penyidik untuk memastikan setiap tersangkanya masuk peradilan,” kata Timer. 

Timer mengatakan, ada beberapa instrumen hukum yang melindungi pembela lingkungan ketika menghadapi kriminalisasi seperti gugatan perdata. Mereka  adalah Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1/2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup, serta Pedoman Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2022 tentang Penanganan Perkara Tindak Pidana di bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingungan Hidup. Kedua aturan ini bertujuan untuk melindungi  perlindungan hukum dan menyediakan proses yang adil bagi pembela lingkungan dalam kasus SLAPP. 

Namun hal ini tidak cukup. Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) periode 2017-2021 Asfinawati mengatakan, instansi kepolisian memerlukan reformasi. Ini karena proses penanganan kriminalisasi dan intimidasi dimulai dari kepolisian. Polisi menerima pengaduan dan melakukan pengumpulan bukti dan keterangan, serta melakukan pemanggilan terhadap orang. 

Dalam operasinya kepolisian tunduk pada Undang-Undang KUHAP dan KUHP. Sedangkan perlindungan terhadap pembela lingkungan (Anti-SLAPP) baru ada di level Kejaksaan dan Mahkamah Agung. Kepolisian tidak tunduk pada aturan Kejaksaan maupun aturan yang berlaku bagi Mahkamah Agung. “Sehingga perlu mendorong lahirnya aturan di tingkat kepolisian yang mengatur tentang penanganan kasus-kasus Anti-SLAPP ini,” kata Roni. 

“Pilihan lainnya adalah harus ada aturan setingkat undang-undang yang memberikan perlindungan terhadap pembela lingkungan yang berlaku untuk semua sektor sumber daya alam,” ujarnya. 

Asfinawati menambahkan: “Mandat dari hukum internasional bahwa setiap orang harus dibawa ke depan pengadilan, untuk dinilai apakah penahanan itu beralasan atau tidak. Praktik yang ada saat ini adalah penahanan langsung.” 

Daniel Frits Maurits Tangkilisan aktivis lingkungan hidup Karimunjawa ditahan usai Polres Jepara melimpahkan kasusnya ke Kejaksaan Negeri Jepara, Selasa 23 Januari 2024. Dok Istimewa

Kepentingan ekstraktif

Tingginya kriminalisasi dan intimidasi sejalan dengan kebijakan mempermudah investasi di Indonesia dan munculnya proyek strategis nasional, yang diberikan keistimewaan dan kemudahan penyediaan lahan oleh pemerintah, kata Roni. Misalnya, sebuah proyek infrastruktur bisa langsung dijalankan di suatu daerah meski tidak termasuk dalam rencana tata ruang dan wilayah daerah tersebut. 

Jika melihat data Auriga Nusantara, tren kenaikan ancaman terhadap pembela lingkungan paralel dengan penerbitan kebijakan terkait bisnis ekstraktif ataupun pembangunan infrastruktur berskala besar. Pada 2016-2017, misalnya, jumlah kasus melonjak dari dua menjadi 14 kasus pada 2017. Pada tahun tersebut, pemerintah dan DPR mengesahkan regulasi mengenai proyek strategis nasional (PSN). 

Kenaikan signifikan lainnya juga terjadi pada periode 2020-2021, ketika pemerintahan Presiden Joko Widodo dan DPR mengesahkan Undang-Undang Cipta Kerja atau Omnibus Law. Aturan ini kontroversial bagi banyak kalangan, karena menurunkan semangat perlindungan terhadap lingkungan. Tidak hanya itu, aturan sapu jagat ini juga disebut sebagai karpet merah bagi oligarki, alias pengusaha sektor ekstraktif dan perkebunan sawit skala besar. 

“Dari data ini kita melihat bahwa lagi-lagi ada korelasi antara pilihan pemerintah dengan korporasi yang terlibat,” kata Timer. “Jadi perlu penelitian lebih lanjut apakah karena (penerbitan kebijakan) itu. Kalo kasus kita lihat ada korelasi, tapi ini bisa memantik riset lebih jauh.”

Sejak 2020, jumlah ancaman terhadap pembela lingkungan meningkat secara konsisten. Tahun 2023 pun menjadi yang tertinggi selama 10 tahun periode pencatatan, dengan 30 kasus. “Ini serius sekali, dan harus menjadi perhatian kita semua,” ujar Timer. 

Tiga orang bocah melihat aktivitas tambang nikel di Morowali, Sulawesi Tengah. Dok Green Justice Indonesia

Timer mengatakan bahwa pemerintahan Jokowi adalah periode yang sangat pro-tambang dan energi (termasuk pembangunan PLTU batu bara captive dan perizinan pertambangan nikel) atas nama hilirisasi. Hal ini terlihat dari sektor tambang dan energi menyumbang kasus terbanyak ancaman bagi pembela lingkungan, yakni 60 dari 133 kasus atau hampir separuhnya. Perkebunan, kehutanan, sengketa adat, perikanan dan maritim, dan lingkungan hidup. 

Kentalnya kaitan antara kegiatan usaha ekstraktif dan ancaman pembela lingkungan ini terlihat dari data. Auriga mencatat terdapat 107 korporasi yang terlibat dalam kekerasan terhadap pembela lingkungan, sembilan di antaranya melakukan kekerasan berulang. “Kekerasan berulang ini dilakukan grup usaha yang sama, berarti ada residivis korporasi. Namun lagi-lagi hukum administratif kita tidak dipakai secara maksimal, sehingga tidak ada sanksi bagi pelakunya,” kata Timer. 

Regulasi lainnya yang menguntungkan perusahaan dan menindas aktivis lingkungan adalah revisi Undang-Undang Mineral dan Batu Bara (Minerba) yang disahkan pada 2020, tahun yang sama dengan pengesahan dengan Omnibus Law. Pasal 162 dalam undang-undang ini mengatur adanya pidana bagi setiap orang yang "merintangi atau mengganggu" aktivitas usaha pertambangan, dengan hukuman penjara paling lama satu tahun atau denda Rp 100 juta. 

“Kalau melihat trennya, dan melihat visi-misi kandidat presiden yang pro-investasi besar dan eksploitasi dan ekstraksi sumber daya alam, sangat mungkin kasus meningkat. Ini alarm bagi semua kandidat,” kata Timer. 

Hukum melindungi sekaligus menyerang

“Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat di tuntut secara pidana maupun digugat secara perdata.”

Itu adalah bunyi dari Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup (PPLH). Meskipun demikian, kekerasan, intimidasi, dan kriminalisasi terus mengintai para pembela lingkungan. 

Menurut Roni, undang-undang tersebut masih dipahami secara sektoral atau hanya berlaku di wilayah lingkungan hidup semata, termasuk oleh penegak hukum. Sebaliknya undang-undang ini harus dipandang sebagai payung bagi semua sektor terkait sumber data alam, termasuk hutan, tambang, energi, maritim, dan agraria. 

“Sehingga setiap upaya menjaga sumber daya alam dari eksploitasi yang mengakibatkan kerusakan dan pencemaran harusnya dipandang sebagai bentuk pelaksanaan terhadap Pasal 66 UU PPLH,” kata Roni. 

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) periode 2017-2021 Asfinawati mengatakan, saat ini hukum menjadi ancaman paling utama bagi pembela lingkungan. 

“Hukum sudah digunakan untuk menyerang rakyat. Penyerangannya formal, tidak hanya dalam praktik seperti diskriminasi, tetapi juga dalam kebijakan itu sendiri,” kata Asfinawati. 

Warga melakukan aksi penolakan aktivitas tambang PT WIN di kawasan pemukiman, Desa Torobulu, Konawe Selatan. Dok Walhi Sultra

Auriga Nusantara menganalisis sejumlah undang-undang dengan “pasal karet” yang kerap digunakan untuk menjerat pembela lingkungan. Salah satunya adalah Undang-Undang Informasi Teknologi Elektronik yang dinilai sering memenjarakan kritik dengan dalih nama baik. Kemudian Undang-Undang Minerba, yang mengatur protes terhadap pertambangan sebagai tindakan kriminal. 

Kitab Undang-Undang Pidana (KUHP) yang dapat dipelintir hanya sekedar untuk membuat para Pembela Lingkungan meringkuk di tahanan sehingga menghentikannya membela sumber daya alam dan lingkungan. 

Aturan lainnya yang kerap menjerat pembela lingkungan adalah Undang-Undang Anti-Demonstrasi, Undang-Undang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negera, Undang-Undang Darurat, Undang-Undang Keimigrasian, Undang-Undang Anti Demonstrasi, Undang-Undang Minerba, dan Undang-Undang Panas Bumi. 

Mereka yang dibunuh karena kritis 

Tidak jarang perjuangan membela lingkungan dari kerusakan dan penghancuran berujung pada hilangnya nyawa. Global Witness mencatat, sepanjang 2012-2022 setidaknya terjadi 1.910 kasus pembunuhan terhadap pembela lingkungan di seluruh dunia. 

Di Indonesia, setidaknya terdapat 13 orang tercatat dibunuh karena aktivitasnya membela lingkungan pada 2014-2023. Mereka adalah petani, wartawan, aktivis, dan advokat. “Angka pembunuhan ini cukup tinggi, hampir ada setiap tahun,” kata Timer. 

Sumatra mencatat pembunuhan paling banyak yakni lima kasus, disusul Jawa (2), Kalimantan (2), Sulawesi (2), dan Papua (1). Timer mengingatkan bahwa ini hanyalah kasus yang terekam media massa atau melalui penyampaian informasi jaringan masyarakat. “Angkanya bisa jadi lebih tinggi. Di Papua, misalnya, tidak banyak terekam karena informasi minim,” kata Timer. 

Banyak kasus pembunuhan terhadap pembela lingkungan belum terselesaikan. Salah satunya adalah Golfrid Siregar, advokat dan aktivis Walhi Sumatra Utara, yang meninggal pada 6 Oktober 2019. Sebelum kematiannya, Golfrid dilaporkan hilang lalu ditemukan terkapar di jalan layang kota Medan pada 3 Oktober 2019. Kematiannya menyisakan banyak kejanggalan, dan para aktivis menduga bahwa kematiannya itu berhubungan dengan advokasi yang dilakukan terhadap PLTA Batang Toru. 

Bungkaman di dunia konservasi

Timer mengatakan data yang dikumpulkan belum memasukkan badan hukum atau organisasi yang juga kerap dirintangi, dihalangi, atau ditekan saat melakukan aktivitasnya melindungi atau memelihara sumber daya alam dan lingkungan hidup Indonesia. 

Ini dialami sejumlah organisasi yang bergerak di bidang konservasi seperti WWF Indonesia, kata Timer.  Para peneliti, terutama dari luar negeri, juga mengalami tekanan. Misalnya David Gaveau, ilmuwan berkebangsaan Prancis, yang dideportasi usai menerbitkan perkiraan luas kebakaran hutan yang lebih tinggi dari data milik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Kemudian ada Erik Meijaard dan rekan-rekannya yang dilarang melakukan kegiatan penelitian di Indonesia usai menerbitkan opini mengenai habitat orang utan di The Jakarta Post

“Kami tahu persis banyak peneliti spesies dari luas negeri yang kesulitan beraktivitas di Indonesia. Kadang tidak disebut dideportasi, tapi tidak diperpanjang izinnya,” kata Timer. 

Negara juga cenderung membatasi dukungan terhadap gerakan masyarakat sipil untuk isu konservasi, terutama terkait pendanaan. “Banyak donor pendukung gerakan organisasi masyarakat sipil semakin dipersulit, dan harus melewati lembaga negara tertentu. Ini seperti Orde Baru tapi lebih canggih,” kata Timer. 

Negara harus hadir melalui perlindungan yang lebih kuat 

Tindakan dan upaya pembelaan terhadap lingkungan merupakan bentuk partisipasi masyarakat yang diakui dan dilindungi oleh undang-undang. Kegiatan ini juga bentuk dari melestarikan sumber daya alam Indonesia dan menjamin ketersediaan untuk generasi mendatang. 

Meningkatnya ancaman terhadap pembela lingkungan menjadi alarm bagi pemerintah dan masyarakat. Timer mengatakan bahwa harus ada niat baik dan kemauan politik dari negara, untuk untuk memberikan perlindungan. Pemerintah dapat mendukung masyarakat dengan menerbitkan peraturan yang memberikan jaminan perlindungan terhadap pembela lingkungan. 

Perempuan adat Papua saat beraksi menuntut pemerintah untuk mengakui hutan dan hak masyarakat adat di Jakarta, November 2018. Dok Kennial Laia/Betahita

Salah satu yang harus diatur adalah remedi atau pemulihan hak pembela lingkungan yang mengalami kriminalisasi atau serangan, kata peneliti Indonesia Center for Environmental Law (ICEL) Marsya Mutmainah. “Ini belum ada. Padahal banyak kerugian yang dialami, mulai dari trauma psikologis, kehilangan pekerjaan atau pendapatan. Hak ini harus dipulihkan secara hukum,” kata Marsya. 

Menurut Marsya, mekanisme remedi hanya dapat diatur dalam undang-undang. Dia mendorong mekanisme Anti-SLAPP ini ditanamkan di KUHAP dan KUHP. Momentumnya ada, karena DPR saat ini tengah membahas revisi KUHAP. 

Selain itu harus ada penyamaan persepsi antara penegak hukum baik kejaksaan maupun kepolisian, terkait pembela lingkungan dan HAM, serta melakukan koordinasi dengan instansi terkait. Misalnya Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), karena saat ini bentuk serangan telah memasuki ranah digital, berupa peretasan akun media sosial dan perisakan daring. Untuk mencegah serangan digital yang lebih luas, lembaga negara itu dapat melindungi data privasi pembela lingkungan dan HAM. 

Timer menilai bahwa tiga kandidat presiden yang ada saat ini tidak memberikan harapan yang lebih baik terhadap perlindungan pembela lingkungan maupun hak asasi manusia. “Tetapi kita tetap merawat harapan. Warga harus solid dan membangun sendiri keselamatannya.”