Kaum Muda Berharap para Capres Perangi Krisis Iklim

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Iklim

Rabu, 07 Februari 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Kepedulian terhadap ancaman krisis iklim tak hanya jadi bahan pikiran para aktivis dan pemerhati lingkungan. Kaum muda di Jawa Timur (Jatim) baru-baru ini juga menumpahkan kegelisahan dan harapannya terkait krisis iklim lewat ratusan surat aksi iklim yang ditujukan kepada para kandidat calon presiden (capres).

Surat-surat itu dikumpulkan oleh Aeshnina Azzahra Aqilani, sebelum dikirim ke para kandidat. Meski ia masih terlalu muda untuk memberikan suara pada pemilihan umum nanti, tapi hal tersebut tidak menghentikan Nina--panggilan akrab Aeshnina--untuk menuntut ketiga calon presiden mengadopsi kebijakan yang lebih ramah lingkungan untuk memerangi krisis iklim.

Dalam 6 bulan terakhir pelajar berusia 16 tahun ini mengumpulkan hampir seribu surat, baik secara online maupun di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi, dari anak-anak muda di seluruh Jawa Timur. Para penulis surat--60% di antaranya akan menjadi pemilih pemula dalam pemilihan presiden dan legislatif pada 14 Februari--semuanya menuntut tindakan yang lebih tegas terhadap perubahan iklim dan daur ulang.

“Mereka berharap bahwa isu-isu lingkungan akan diprioritaskan oleh ketiga calon presiden kita,” kata Nina, yang tinggal di Kabupaten Gresik dan meneruskan surat-surat tersebut kepada para kandidat pada akhir Januari, dilansir dari Context, 1 Februari 2024 lalu.

Aeshnina Azzahra Aqilani berpose dengan dua map berisi surat-surat aksi iklim yang ia kumpulkan dari kaum muda di Jawa Timur, untuk dikirimkan kepada para kandidat capres. Foto: Thomson Reuters Foundation/Asad Asanawi.

Tapi sejauh ini, hanya ada sedikit tanda-tanda apa yang diharapkan kaum muda itu akan terjadi, kata para aktivis lingkungan, yang telah mendesak para kandidat untuk berkomitmen pada kebijakan yang kuat dan terperinci untuk memerangi perubahan iklim di negara yang kaya akan hutan dan lahan gambut serta salah satu dari 10 penghasil gas rumah kaca terbesar di dunia.

Para pegiat lingkungan mengatakan, meskipun para kandidat telah berbicara selama kampanye tentang risiko mendesak yang ditimbulkan oleh perubahan iklim--sebuah perkembangan baru dari pemilu sebelumnya--kebijakan untuk mengatasi krisis iklim sering kali kurang rinci dan ambisius.

Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, mantan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan mantan Gubernur Jakarta Anies Baswedan, semuanya berlomba-lomba untuk menggantikan pemimpin populer Joko Widodo, yang juga dikenal sebagai Jokowi, setelah satu dekade berkuasa.

Namun, meskipun ketiganya telah membuat janji tentang lingkungan, ada kekhawatiran bahwa janji tersebut mungkin akan dikurangi, terutama karena para analis mengatakan bahwa para kandidat politik di Indonesia seringkali memiliki atau mengembangkan hubungan dekat dengan perusahaan-perusahaan sumber daya alam untuk membantu mendanai ambisi mereka, dan hal ini dapat mempengaruhi kebijakan iklim dan ekonomi.

“Para pemimpin Indonesia selanjutnya harus menjadikan isu iklim sebagai bagian dari kebijakan utama mereka,” ujar Nirarta Samadhi, Country Director World Resources Institute (WRI) Indonesia, yang mencatat mayoritas dari mereka yang memberikan suara pada 14 Februari nanti adalah kaum muda.

Sekitar 205 juta dari lebih dari 270 juta orang di Indonesia memenuhi syarat untuk memilih, dengan sekitar sepertiga di antaranya berusia di bawah 30 tahun dan 52% di bawah 40 tahun, menurut Komisi Pemilihan Umum (KPU).

“(Kaum muda) akan menjadi salah satu pihak yang paling terdampak oleh perubahan iklim, sekarang dan di masa depan,” kata Samadhi.

Aktivisme iklim yang dipimpin oleh kaum muda berkembang pesat di Indonesia, dan terdapat kesadaran publik yang kuat akan dampak krisis iklim dan perlunya para politisi bertindak cepat.

Sebuah survei yang diterbitkan tahun lalu oleh Pusat Studi Ekonomi dan Hukum dan lembaga penelitian UniTrend di Universitas Gadjah Mada menunjukkan 81% masyarakat Indonesia percaya bahwa pemerintah harus mengumumkan keadaan darurat iklim, sementara 60% berpikir pemerintah telah gagal dalam menangani krisis iklim.

Namun di masa lalu, masyarakat cenderung tidak memberikan suara mereka terutama pada isu-isu lingkungan, dan kelompok-kelompok lingkungan dituduh menghambat pertumbuhan ekonomi oleh para politisi dan pelaku bisnis.

Nina, yang terinspirasi untuk meluncurkan kampanyenya karena keprihatinannya terhadap sungai-sungai yang tercemar dan dampaknya terhadap kesehatan di daerah tempat tinggalnya, berharap kampanye suratnya dapat membantu mendorong tindakan.

“Ini adalah cara yang efektif untuk mendorong perbaikan lingkungan di masa depan,” katanya.

Seruan untuk kejelasan dari para kandidat

Disebutkan, Indonesia merupakan salah satu dari 17 negara megadiverse di dunia, rumah bagi hutan tropis terbesar ketiga di dunia dan juga penghasil sawit terbesar, komoditas yang dituding oleh banyak pemerhati lingkungan sebagai penyebab tingginya laju deforestasi.

Merusak hutan hujan merupakan ancaman besar bagi aksi iklim, karena pohon menyerap sekitar sepertiga emisi karbon dioksida yang menyebabkan pemanasan bumi yang diproduksi di seluruh dunia, namun melepaskan karbon kembali ke udara saat pohon-pohon tersebut membusuk atau terbakar.

Sebagian besar hutan hujan di Indonesia telah ditebangi untuk tanaman seperti kelapa sawit atau untuk industri seperti pertambangan, pulp dan kertas, atau untuk urbanisasi.

Laju deforestasi telah melambat dalam beberapa tahun terakhir karena kebijakan yang lebih ketat dan pengendalian kebakaran hutan, namun Indonesia masih menduduki peringkat keempat di dunia dalam hal kehilangan hutan tropis primer pada 2022 oleh WRI.

Terlepas dari pentingnya keanekaragaman hayati yang kaya bagi Indonesia dan dunia, ketiga kandidat presiden telah memfokuskan kampanye mereka untuk mendorong pertumbuhan, lapangan pekerjaan, kesejahteraan, anti-korupsi dan pluralisme.

Meskipun mereka telah berjanji untuk memperkenalkan atau mempertahankan kebijakan-kebijakan ramah lingkungan--seperti memberikan insentif untuk investasi energi terbarukan, menghapus pembangkit listrik tenaga batu bara, memberdayakan upaya-upaya konservasi hutan, dan berpotensi mengakhiri monopoli PLN--para analis mengatakan bahwa masih banyak hal yang harus dilakukan.

Tiza Mafira, Direktur Climate Policy Initiative, mengatakan, setiap presiden baru harus mendukung target-target transisi energi yang ada saat ini dan memastikan penghentian penggunaan bahan bakar fosil terus berlanjut. Indonesia telah berjanji untuk mengurangi emisi lebih dari 30% pada 2030 dan mencapai emisi nol pada 2060. Target untuk sektor energi adalah mencapai nol bersih pada 2050.

Pada akhir 2022, Jakarta mengambil langkah besar untuk mencapai target ini dengan meraih salah satu kesepakatan pendanaan iklim terbesar yang pernah ada untuk menutup pembangkit listrik tenaga batu bara lebih awal dan beralih ke energi terbarukan.

Transisi dari bahan bakar fosil ini belum diterjemahkan ke dalam tindakan yang tegas, dan meskipun ada kekhawatiran di daerah-daerah yang kaya akan sumber daya alam mengenai lapangan pekerjaan, potensi dampaknya belum sepenuhnya dipertimbangkan oleh sebagian besar pemilih, yang sebagian besar di antaranya masih terguncang oleh dampak ekonomi pandemi COVID-19.

“Ketiga kandidat telah menyebutkan tujuan iklim, yang menunjukkan bahwa perubahan iklim bukanlah isu yang terpolarisasi,” kata Mafira. “Perdebatan yang menentukan adalah kebijakan mana yang akan berhasil mencapai tujuan iklim sesuai tenggat waktu--nol bersih pada 2060 atau 2050--dan oleh karena itu menghindari biaya tinggi dari tindakan yang lambat.”

Mafira mengatakan, moratorium izin pembangkit listrik tenaga batu bara baru dan transparansi mengenai penghentian dini pembangkit listrik tenaga batu bara juga harus dipertahankan, dan ia memperingatkan bahwa subsidi bahan bakar fosil dan energi memperlambat transisi ke energi terbarukan.

Seiring dengan percepatan transisi tersebut, ia menyebut pedoman mengenai pertambangan yang beretika akan dibutuhkan untuk mineral seperti nikel, yang digunakan dalam energi terbarukan dan teknologi ramah lingkungan seperti kendaraan listrik.

“Perlu ada rencana berapa banyak pertambangan yang dibutuhkan, untuk apa dan berapa lama, dan transisi ke rantai pasokan sirkular di mana mineral tidak ditambang, melainkan diambil dan didaur ulang,” ujarnya.

Risiko hilangnya keanekaragaman hayati

Menurut Firdaus Cahyadi, Indonesia Team Lead Interim, 350.org, kebijakan-kebijakan hijau yang diperkenalkan oleh Presiden Jokowi saat ini harus dilanjutkan, namun pemimpin yang baru juga harus melakukan perbaikan dan mencoba pendekatan-pendekatan yang berbeda.

Sebagai contoh, katanya, kesepakatan transisi energi harus dinegosiasikan ulang untuk menghindari sebagian besar dana yang masuk dalam bentuk pinjaman demi pembiayaan yang lebih berimbang.

Kesepakatan tersebut juga harus meningkatkan transparansi, mengalihkan fokus dari proyek-proyek energi terbarukan berskala besar ke energi terbarukan berbasis masyarakat dan menghapus ketentuan-ketentuan yang masih mengijinkan pembangunan pembangkit listrik tenaga batu bara, tambahnya.

“Setiap kandidat telah memasukkan ekonomi hijau ke dalam dokumen-dokumen yang menguraikan visi dan misi mereka,” kata Cahyadi.

Namun, imbuhnya, ada kemungkinan semua kandidat dapat mengalihkan agenda ekonomi hijau untuk melayani kepentingan bisnis yang berkelanjutan di bidang energi fosil dan perkebunan skala besar, yang berpotensi berkontribusi pada peningkatan deforestasi.

Koordinator Pantau Gambut, Iola Abas, menambahkan, kebijakan-kebijakan yang ada saat ini untuk perlindungan dan restorasi lahan gambut, dan juga hutan secara lebih luas, harus didukung oleh presiden yang akan datang. Menurut Iola, selama kampanye, ketiga calon presiden cenderung mempersempit isu iklim pada energi dan menghindar untuk meninjau ulang undang-undang yang berisiko deforestasi.

"Mereka juga belum mengumumkan kebijakan baru untuk menangani perusahaan-perusahaan yang melakukan deforestasi ilegal," ujarnya.

Samadhi dari WRI mengatakan kebijakan business-as-usual yang berfokus pada keuntungan ekonomi jangka pendek sudah tidak lagi memadai. Ia berpendapat, berfokus pada keuntungan jangka pendek berarti mempertaruhkan hilangnya keanekaragaman hayati dan keseimbangan ekosistem yang hanya akan mempercepat ketidakstabilan iklim dan biaya-biaya yang ditimbulkannya.