BKSDA: Harimau Sumatera di Sumsel Ada 17 Individu

Penulis : Redaksi Betahita

Biodiversitas

Rabu, 12 Februari 2020

Editor : Redaksi Betahita

Betahita.id – Hutan di Sumatera Selatan diyakini masih dihuni belasan hingga puluhan individu harimau. Berdasarkan data dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatera Selatan di tahun 2006, ada 17 ekor harimau yang tersebar di sejumlah kabupaten dan kota di Sumatera Selatan.

Kepala BKSDA Sumatera Selatan, Genman S. Hasibuan, mengatakan, jumlah itu masih bisa bertambah mengingat pihaknya menemukan jejak harimau muda. Selain itu juga tidak ditemukan adanya jejak kematian harimau.

“Bahkan kami juga tidak menemukan adanya perburuan harimau. Tapi untuk jejak kelahiran, ada. Karenanya populasinya tentu akan bertambah,” kata Genman, di sela Lokakarya Penanganan Konflik antara Manusia dan Satwa Liar yang digagas oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan dan Kelola Sendang ZSL Indonesia, Senin, 10 Februari 2020.

Ada pun lokasi populasi harimau tersebut di Pagaralam, Lahat, Muara Enim, OKU Selatan, OKU, Musi Rawas Utara, Banyuasin dan Musi Banyuasin.

Harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae). Dok.menlhk.go.id

BKSDA mencatat populasi terbanyak ada di lansekap Rejang Lebong, yakni di Pagaralam, Lahat, Muara Enim dan dan OKU Selatan.

Menurut Genman, konflik yang terjadi antara manusia dan satwa liar itu cukup banyak sejak tiga bulan terakhir, terutama di Pagaralam, Lahat dan Muara Enim. Bahkan pada pertengahan Januari 2020 lalu sudah ditangkap satu ekor harimau sumatra di Muara Enim yang diduga menyerang warga.

Untuk harimau yang sudah ditangkap 21 Januari lalu, menurut Genman, kondisinya sehat dan perilakunya tidak agresif. Untuk meneliti dan membuktikan apakah ini harimau yang menyerang warga atau bukan masih dipelajari.

Untuk sampel darah belum bisa diambil lantaran Harimau tersebut belum terlalu aktif. Setelah selesai dikaji, kata Genman, kemungkinan harimau yang sudah ditangkap itu tidak akan dikembalikan ke alam. Hal itu karena sebagai antisipasi agar harimau tidak kembali melakukan hal serupa.

“Jika dilepas ke alam, bisa kembali lagi perilakunya. Besar kemungkinan akan ditempatkan di lembaga konservasi atau kebun binatang. Harimau kemarin itu masih muda, sekitar 2-3 tahun dan berkemungkinan baru terlepas dari induknya,” kata dia.

Direktur Proyek Kelola Sendang-Zoological Society of London, Damayanti Buchori mengatakan, upaya penanggulangan konflik antara manusia dan satwa liar memang harus segera dilakukan, bukan hanya oleh pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota melainkan juga semua stakeholder dan peranan masyarakat.

Damayanti mengatakan pihaknya berkoordinasi dengan KLHK, BKSDA dan pemerintah daerah untuk melakukan kajian itu, dengan membantu survei populasi harimau di lapangan.

“Dalam upaya penanganan konflik ini perlu mempertimbangkan banyak hal, di antaranya tata guna lahan. Ini penting. Kami tidak bisa bergerak sendiri, ZSL sebagai organisasi bergerak dalam hal konservasi dan bekerja dengan permasalahan yang ada, kami melakukan kajian untuk ini,” kata dia.

Sementara itu, Asisten I Bidang Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Setda Provinsi Sumatera Selatan Ahmad Najib mengatakan pihaknya sejak awal berkomitmen untuk menanggulangi konflik antara manusia dan satwa liar. Apalagi selama tiga bulan terakhir, jumlah konfliknya meningkat drastis di beberapa kabupaten kota di Sumatera Selatan.

Untuk menangani situasi tersebut, Pemprov Sumatera Selatan telah membentuk tim satgas gabungan yang terdiri dari Dinas Kehutanan, BKSDA, TNI dan Polri, masyarakat setempat dan dukungan organisasi non pemerintah. “Masyarakat menjadi resah dan aktivitas keseharian masyarakat maupun aktivitas ekonomi daerah menjadi terganggu,” kata dia.

TEMPO.CO | TERAS.ID