Caturwulan Pertama Lisensi FLEGT

Penulis : Redaksi Betahita

Analisis

Kamis, 13 April 2017

Editor : Redaksi Betahita

Betahita.id – Empat bulan pertama penerapan lisensi forest law enforcement, governance, and trade (FLEGT) dilalui dengan penuh keluhan. Pasca sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) mendapat lisensi dari FLEGT. Sejumlah produsen dan pengrajin mebel mengeluhkan keberadaan SVLK yang dinilai menghambat produksi dan pemasaran industri furnitur serta kerajinan.

Desakan untuk memangkas regulasi pun disuarakan oleh Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia yang disampaikan pada saat Indonesia International Furniture Expo (INFEX) di Jakarta International Expo, Kemayoran (Kompas, 13/3/2017).

Keluhan serupa juga disampaikan oleh produsen mebel yang mengikuti Jogja International Furniture and Craft Fair Indonesia (Jeffina), 2017. Produsen mebel yang berasal dari kelompok industry kecil menengah (IKM) mengeluhkan mahalnya biaya pengurusan SVLK. Sementara mereka harus mengantongi SVLK, kalau tidak ingin terjerat kasus hukum.

SVLK Untuk Siapa?

Sejumlah pekerja menaikan kayu jati di Benculuk, Banyuwangi, Jawa Timur, Selasa (17/11). Asosiasi Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) menyebutkan, Penerapan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) oleh kementrian Lingkangan hidup dan Kehutanan terkendala kurangnya sosialisasi pemerintah daerah. ANTARA FOTO/Budi Candra Setya/nz/15.

Menyimak beberapa keluhan dan usulan untuk memangkas regulasi yang memberatkan pelaku usaha tersebut. Patut kiranya muncul pertanyaan SVLK untuk siapa? Menjawab pertanyaan tersebut kita harus menoleh ke belakang. Sekilas melihat sejarah pembentukan SVLK.

Proses pembentukan SVLK telah berlangsung cukup lama dengan pembahasan yang alot yang melibatkan multistakeholders di bidang kehutanan, termasuk perwakilan dari asosiasi pengusaha. Pembahasan yang dimulai sejak 2001 ini, berawal dari maraknya pembalakan liar di Indonesia yang mempercepat laju deforestasi.

Berdasarkan laporan keadaan hutan Indonesia yang publikasi Forest Watch Indonesia bersama Global Forest Watch, menunjukkan perubahan tutupan hutan dataran rendah untuk periode 1985-1997 di tiga pulau terbesar di Indonesia mencapai 60 persen.

Para pihak yang kemudian terlibat dalam pertemuan di Bali tahun 2001 menyepakati untuk membentuk suatu sistem yang menjamin legalitas kayu. Legalitas yang dimaksud pada saat itu bukan semata legal secara dokumen tetapi lebih lebih memastikan aspek kelestarian dan keberlanjutan dari pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan, khususnya hasil hutan kayu.

SVLK pun dalam perkembangannya mengarah menjadi instrumen pengendalian perdagangan. Oleh sebab itu, pada tahun 2007 Pemerintah mulai membangun komitmen dengan Uni Eropa, dan Australia untuk mengakui SVLK sebagai standar legalitas kayu dari Indonesia.

Uni Eropa dengan European Union Timber Regulation (EUTR)-nya membangun instrumen lisensi forest law enforcement, governance, and trade (FLEGT). Di mana negara yang mendapat lisensi FLEGT akan mendapat greenline atau akses khusus ke Uni Eropa tanpa melalui prosedur due diligent sebagaimana dimandatkan EUTR.

Bagi Indonesia, lisensi FLEGT ini menjadi penting, khususnya untuk mendapat pengakuan akan SVLK. Tanpa adanya pengakuan dari negara lain, khususnya negara tujuan ekspor SVLK tidak akan memiliki daya tarik bagi pelaku usaha.

Setelah berlangsung lebih dari 15 tahun proses pembentukan instrumen SVLK dan negosiasi dengan Uni Eropa untuk lisensi FLEGT, pada November 2016 lalu menjadi momen penting bagi Indonesia. Di mana Indonesia menjadi negara pertama yang mendapat lisensi FLEGT. Artinya SVLK sebagai instrumen yang diinisiasi oleh Indonesia untuk memastikan legalitas kayu diakui oleh negara lain.

Begitu juga dengan Australia berdasarkan illegal loging prohibition act 2012 kemudian membuat komitmen dengan Indonesia. Di mana Australia mengakui SVLK Indonesia, sehingga produk kayu asal Indonesia mendapat jalur khusus ke Australia.

Proses negosiasi dengan Australia bahkan dilakukan dengan begitu cepat. Pada tahun 2014, Australia mengakui SVLK. Atau lebih dahulu mengakui SVLK daripada Uni Eropa yang telah memulai negosiasi lebih awal.

Sebagai penegasan, pengakuan negara lain terhadap SVLK sebatas eksistensi agar memiliki daya tarik bagi pelaku usaha, bukan tujuan awal SVLK. SVLK justru untuk memastikan setiap produk hasil hutan kayu yang beredar di Indonesia atau pun keluar dari Indonesia merupakan kayu yang dikelola secara lestari dan bertanggungjawab.

Sehingga kalau pelaku usaha merasa berat akan prosedur pengurusan SVLK hal itu menjadi kewajaran, karena saat ini perlu upaya ekstra bagi pemerintah mempertahankan tutupan hutan yang setiap tahun terus berkurang.

Empat Bulan Lisensi FLEGT

Uni Eropa pada dasarnya bukan negara utama ekspor produk kayu asal Indonesia. Bahkan hingga saat ini berdasarkan informasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) per Maret 2017 China menempati posisi pertama sebagai negara tujuan ekspor produk kayu Indonesia dengan nilai mencapai 445,6 juta USD, atau 31% dari total nilai ekspor produk kayu Indonesia ke top 10 negara tujuan ekspor.

Sementara dari negara Uni Eropa ada pada posisi empat yang ditempati oleh Prancis dengan nilai ekspor 117 juta USD, dan Belanda pada posisi sepuluh dengan nilai 47,8 juta USD.

Namun demikian, posisi Uni Eropa menjadi penentu dalam keberlanjutan SVLK di Indonesia. Hal ini tidak terlepas dari posisi strategis Uni Eropa dalam perdagangan global. Oleh sebab itu, lisensi FLEGT merupakan sesuatu hal yang penting bagi Indonesia dalam memperkuat posisi SVLK.

Join expert meeting terakhir antara Uni Eropa dan Indonesia yang diselenggarakan awal Maret 2017 lalu menghasilkan beberapa rekomendasi dan masukan, khususnya mengenai kendala penerapan SVLK di lapangan.

Bahkan dalam pertemuan tersebut, ditegaskan kembali komitmen Kementerian untuk mendukung industri kecil dan menegah untuk memperoleh SVLK. Karena itu cukup mengherankan apabila masih ada pelaku usaha yang mengeluhkan mahalnya biaya pengurusan SVLK.

Hal yang perlu menjadi fokus utama dari SVLK saat ini justru penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku usaha yang teridentifikasi melanggar ketentuan SVLK. Hingga saat ini belum ada informasi adanya pelaku usaha yang telah memiliki SVLK yang dikenakan sanksi seperti pencabutan izin atau pembekuan dokumen SVLK yang mereka miliki.

Beberapa temuan KLHK tahun 2016-2017, di beberapa daerah masih ada kayu ilegal yang beredar, terakhir penangkapan kayu ilegal di TN Tesso Nilo, Riau. Sayangnya dari kasus tersebut, tidak ditelusuri siapa penampungnya. Belum lagi, terhadap perusahaan-perusahaan yang areal kerjanya terbakar pada tahun 2015 silang. Sebagian bahkan telah memiliki SVLK yang masih berlaku hingga saat ini.

Bahkan, temuan Auriga sepanjang 2016 dan 2017 di Papua, ditemukan beredarnya kayu bulat yang tidak memiliki SVLK. Uniknya melihat kondisi Papua, justru posisi SVLK menjadi tidak jelas. Belum adanya upaya pemerintah untuk menjembatani ketidak harmonisan antara UU 21/2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua dengan UU 41/1999 tentang Kehutanan, juga menimbulkan ketidakpastian dalam pemanfaatan hasil hutan di Papua.

Menyisakan PR Serius

Walau instrumen SVLK telah dibahas lebih dari 15 tahun, bahkan telah mendapat pengakuan dari Australia dan Uni Eropa. SVLK masih menyisakan pekerjaan rumah yang cukup serius. Apalagi beberapa waktu belakangan temuan-temuan dari KLHK sendiri menunjukkan masih banyaknya kayu ilegal yang beredar.

Di samping itu, terdapat beberapa isu yang perlu diperhatikan untuk pengembangan SVLK yaitu Pertama, pola ilegal loging yang semakin berkembang menuntut pengembangan indikator penilaian dalam SVLK, seperti adanya indikasi korupsi dalam penerbitan izin. Bahkan temuan kajian KPK tahun 2015 menunjukkan adanya potensi kerugian negara akibat PSDH dan DR yang tidak terpungut mencapai Rp 5,24 - 7,24 triliun per tahun sepanjang 2003-2014.

Kondisi tersebut, menjadi bukti sekaligus tantangan bagi SVLK untuk mampu merespons dengan baik apabila suatu izin pemanfaatan hasil hutan kayu diperoleh secara korup atau dijalankan secara korup.

Kedua, model penilaian yang terlalu document based membuka ruang bagi pelaku usaha untuk “memalsukan dokumen”, atau sekedar memenuhi prasyarat. Seperti adanya indikator ketersediaan mekanisme penanggulangan gangguan usaha seperti kebakaran. Yang menjadi penilaian adalah dokumen yang menyebutkan bahwa sarana prasarana penanggulangan kebakaran ada.

Ada, belum tentu mampu menjangkau semua areal yang berpotensi terbakar. Atau seperti mekanisme penyelesaian konflik, yang dinilai adalah adanya mekanisme penyelesaian konflik bukan konfliknya sudah terselesaikan atau belum.

Sementara dari sisi penerapan FLEGT, perlu juga penguatan dari sisi Uni Eropa untuk memastikan tidak ada lagi importir di negara mereka yang memasok kayu yang tidak memiliki SVLK dari Indonesia.

Karena keberhasilan upaya berbagai pihak untuk mewujudkan pengelolaan hutan lestari harus dilakukan bersama-sama, tidak bisa sekedar mempersalahkan negara eksportir tetapi juga mengawasi importir. Atau, dalam konsep ekonomi klasik adanya suply karena ada demand.

Artinya permintaan akan produk kayu yang tinggi, menyebabkan pemasok berupaya memenuhi permintaan tersebut. Terkadang tidak memedulikan sumber dari pasokan.