Dua Petinggi PT AG Jadi Tersangka Tambang Nikel Ilegal di Kolaka

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Hukum

Rabu, 15 November 2023

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Dua petinggi PT AG ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana penambangan nikel ilegal di Desa Oko-Oko, Pomalaa, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara (Sultra), pada Senin, 13 November 2023. Keduanya terancam pindana penjara paling lama 10 tahun.

Tersangka pertama, LM (28) yang beralamat di Dusun Salu Kasisi RT 001/RW 001, Kelurahan Malewong, Kecamatan Larompong Selatan, Kabupaten Luwu, Provinsi Sulawesi Selatan adalah Direktur PT AG, sementara AA (26) yang beralamat di Dusun Salu Kasisi RT001/ RW 001 Kelurahan Malewong, Kecamatan Larompong Selatan, Kabupaten Luwu, Provinsi Sulawesi Selatan, merupakan Komisaris PT AG.

Tersangka LM dan AA ditangkap dan ditahan oleh Penyidik Balai Gakkum LHK Wilayah Sulawesi dan dititipkan di Rumah Tahanan Negara (Rutan) Kelas 2A Kendari. Barang bukti sebanyak 17 unit alat berat jenis excavator PC 200 telah disita dan dititipkan di Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan) Kelas I Kendari.

Penyidik menjerat kedua tersangka dengan Pasal 98 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 10 tahun dan denda paling sedikit Rp3 miliar dan paling banyak Rp10 miliar.

LM dan AA, direktur dan komisaris PT AG, dijadikan tersangka dalam kasus tambang nikel ilegal di Kolaka, Sultra. Foto: Gakkum LHK

Direktur Jenderal Penegakan Hukum KLHK Rasio Ridho Sani, mengatakan penindakan tegas harus dilakukan kepada kedua tersangka dengan dihukum maksimal. Menurut Rasio, dua tersangka ini mencari keuntungan finansial dengan mengorbankan lingkungan hidup serta merugikan negara.

"Apa yang dilakukan kedua tersangka ini merupakan kejahatan serius. Kami akan menindak kedua tersangka dengan pidana berlapis," katanya, dalam keterangan resmi, Senin (13/11/2023) kemarin.

Rasio menambahkan, dirinya sudah memerintahkan penyidik agar kedua tersangka dikenakan pidana tambahan dan dijerat dengan kejahatan korporasi, selain pengenanaan pidana pokok berupa pidana penjara dan denda sebagaimana Pasal 98 Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Sesuai dengan Pasal 119 UU PPLH, terhadap badan usaha dapat dikenakan pidana tambahan atau tindakan tata tertib berupa perampasan keuntungan dan perbaikan akibat tindak pidana, dalam hal ini pemulihan lingkungan.

Di samping itu, ia juga meminta kedua tersangka dan pihak lain yang terlibat harus dilakukan penyidikan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Karena tindak pidana lingkungan hidup dan tindak pidana kehutanan merupakan tindak pidana asal dari TPPU sebagai Pasal 2 ayat 1 huruf w dan huruf x UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (PPTPPU).

Ancaman pidana TPPU sebagaimana Pasal 3 UU PPTPPU adalah pidana penjara paling lama 20 tahun dan denda paling banyak Rp10 miliar. Pengenaan pidana tambahan bagi korporasi berupa perampasan aset untuk negara dilakukan sebagaimana Pasal 7 UU PPTPPU.

Penyidikan TPPU, kata Rasio, akan dilakukan mengingat saat ini Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) KLHK sebagai penyidik tindak pidana Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah mendapatkan kewenangan untuk melakukan Penyidikan TPPU berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor: 15/PUU-XIX/2021.

Rasio mengungkapkan, untuk percepatan dan penguatan Penyidik TPPU dari Tindak Pidana Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 11 Mei 2023 telah dibentuk Tim Gabungan KLHK dan PPATK untuk Penyidikan Dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang pada Tindak Pidana Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

“Penegakan hukum pidana berlapis termasuk TPPU dilakukan disamping untuk meningkatkan efek jera terhadap penerima manfaat utama (beneficiary ownership) dari kejahatan ini," katanya.

Upaya tersebut, imbuh Rasio, untuk memulihkan kerugian lingkungan dan kerugian negara. Dari kasus-kasus tambang illegal yang telah ditindak selama ini, pengenaan pidana pokok berupa pidana penjara dan denda semata, tampaknya belum cukup memberikan efek jera.

"Pengenaan Pidana Tambahan berupa perampasan keuntungan dan TPPU menjadi prioritas kami agar benar-benar dapat menimbulkan efek jera”, ucap Rasio.

Rasio berharap penindakan tegas yang dilakukan Gakkum LHK ini bisa menjadi peringatan dan pembelajaran bagi pelaku kejahatan pertambangan baik nikel, batu bara maupun timah. Ia yakni penyidikan TPPU melalui Tim gabungan KLHK dengan PPATK serta dukungan kejaksaan dan kepolisian akan dapat memberikan efek jera dan menyasar kepada penerima manfaat utama dari kejahatan ini melalui aliran keuangan, follow the money follow the suspect.

Kepala Balai Gakkum KLHK Wilayah Sulawesi, Aswin Bangun menjelaskan, penanganan kasus tambang ilegal ini bermula dari adanya laporan masyarakat tentang adanya kegiatan penambangan nikel ilegal yang diduga tidak memiliki izin. Mendapat informasi tersebut, Balai Gakkum LHK Wilayah Sulawesi membentuk Tim Operasi Penyelamatan SDA untuk menindaklanjuti laporan masyarakat tersebut.

Tim Operasi Penyelamatan SDA menemukan adanya kegiatan penambangan dengan menggunakan alat berat Excavator. Selanjutnya Tim melakukan pengamanan Barang Bukti, pengambilan keterangan terhadap Operator Excavator, Pengawas Lapangan dan Kepala Dusun II Lowani Desa Oko-Oko serta melakukan pemasangan Plang Segel “Penghentian Pelanggaran Tertentu” di lokasi penambangan illegal seluas 23,84 hektare.

"Dengan dukungan Brimob Polda Sultra dapat dilakukan upaya penanganan/pemindahan barang bukti 17 (tujuh belas) unit alat berat Excavator dari lokasi penambangan untuk dititipkan di Rupbasan Kelas I Kendari," ujar Aswin.

Hasil pemeriksaan oleh Penyidik Gakkum KLHK Wilayah Sulawesi terhadap MA (39), pengawas Lapangan/Grid Kontrol, diperoleh keterangan bahwa kegiatan penambangan sudah dilakukan sejak 2022 dan penanggung jawab kegiatan penambangan tersebut adalah LM (28) Direktur PT AG, sedangkan AA (26) Komisaris PT AG diduga turut serta terlibat membantu kegiatan pertambangan tersebut.

"Kedua orang tersebut telah melakukan penambangan tanpa dilengkapi Izin Usaha Penambangan (IUP), Perizinan Berusaha Bidang Lingkungan Hidup dan Dokumen Lingkungan Hidup (AMDAL)," katanya.

Plt. Direktur Pencegahan dan Pengamanan Hutan, Sustyo Iriyono, menambahkan, pihaknya akan terus mengembangkan kasus ini untuk mengungkap kemungkinan adanya pelaku lain yang terlibat termasuk korporasi. Direktoratnya sudah mendapatkan perintah untuk mendalami penerapan penyidikan TPPU dan Penyidikan bersama dalam penanganan kasus tambang ilegal ini.

"Kami akan segera berkoordinasi dengan penyidik-penyidik lainnya sehingga para pelaku dapat dihukum seberat-beratnya agar ada efek jera,” ucap Sustyo.

Sustyo menyebut, Gakkum KLHK selama beberapa tahun ini telah melakukan 2.016 Operasi Pengamanan Hutan, Pembalakan liar dan TSL serta membawa 1.449 kasus ke pengadilan (P-21).