Polisi Diduga Kriminalisasi Warga Konawe Selatan

Penulis : Aryo Bhawono

Hukum

Rabu, 29 November 2023

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Polisi diduga melakukan penangkapan sewenang-wenang terhadap petani di Konawe, Sulawesi Tenggara. Walhi Sultra beranggapan penangkapan ini merupakan kriminalisasi. 

Sekelompok polisi berpakaian preman menangkap Ande bin Tokoano atau kerap disapa dengan Nderi, warga Desa Sandey, Kecamatan Angata, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, pada Senin dini hari (27/11/2023). Saat itu, usai menari Malulo dalam acara adat, kerumunan warga Sandey mulai terurai dan desa mulai sepi. Tiba-tiba sekelompok orang berpakaian preman dan mengaku sebagai polisi memaksa Nderi untuk ikut bersama mereka. 

Awalnya beberapa warga tersisa menduga tindakan itu merupakan penculikan. Namun seorang dari berteriak bahwa mereka adalah polisi.

“Penangkapan itu adalah cacat karena polisi tidak menunjukkan identitas dan tidak menunjukkan surat penangkapan,” ucap Direktur Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sultra, Andi Rahman, ketika dihubungi melalui telepon. 

Poster kampanye hentikan kriminalisasi masyarakat sipil Indonesia. Foto: LBH Pers

Andi mengaku, informasi yang diterimanya menyebutkan bahwa istri Nderi baru dikirim surat keesokan harinya. Pada surat tersebut Nderi disangka melakukan pembakaran lahan milik PT Marketindo Selaras (MS) dan dan dijerat dengan Pasal 187 Ayat (1) KUHPidana jo. pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHPidana dengan ancaman kurungan 12 tahun.

Menurut Andi, tindakan polisi merupakan upaya kriminalisasi. Sebanyak 8 desa di Kecamatan Angata, termasuk Sandey, ujarnya, tengah berkonflik dengan PT MS. Sudah lebih dari 20 tahun warga membuktikan penguasaan tanah, ditandai dengan adanya aktivitas masyarakat dalam pengelolaan lahan dalam bentuk perkebunan dan tanaman yang menjadi penghidupan masyarakat seperti sagu, jambu mete, jati putih, dan palawija sebagai bentuk kehidupan lokal yang perlu dilestarikan.

Sesuai PP Nomor 24 Tahun 1997 Pasal 24 ayat (2), penguasaan tanah masyarakat terhadap tanah garapan selama lebih dari 20 tahun menjadi landasan untuk masyarakat Angata memiliki penguasaan tanah secara legal. Sedangkan PT MS mengklaim lahan seluas 1.300 hektare. 

“Polres Konsel secara terang melakukan kriminalisasi terhadap petani Angata dengan Pasal 187 ayat 1 juncto, Pasal 55 ayat 1 KUHP yang dilakukan serampangan dan cacat prosedural secara hukum dalam melakukan penangkapan hingga pelimpahan penahanan ke Polda Sultra,” tegasnya.

Andi mengungkap sejak tahun 2002, lahan garapan seluas 1.300 hektar dulunya diolah PT Sumber Madu Bukari (SMB), namun tidak pernah sah secara hukum. Sama halnya peralihan kuasa perusahaan ke PT MS pada tahun 2019, juga cacat hukum dan inprosedural.

Penetapan Hakim Pengadilan Niaga (PN) Jakarta No 33/Pailit/2003/PN.Niaga/JKT PST tertanggal 20 Februari 2004 menyebutkan aset yang dimiliki PT SMB, yakni pabrik gula seluas 66,24 hektar termasuk mess, kendaraan, tanah pelepasan kawasan Hutan 12.600 hektare yang di dalamnya terdapat lahan ploting 1.300 hektare yang terletak di Desa Motaha, Puao, Teteasa, Lamooso dan Sandarsi Jaya. “Akan tetapi dalam lampiran aset, lahan ploting 1.300 bukan bagian dari aset PT SMB,” tutur dia.