Di Acara Lemhanas, Walhi Usulkan PP Pasir Laut Tahun 2023 Dicabut

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Kelautan

Senin, 04 Desember 2023

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Walhi mengusulkan pencabutan Peraturan Pemerintah (PP) No. 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut dalam sebuah diskusi di Lemhanas (Lembaga Ketahanan Nasional). Salah satu alasannya, menurut Manager Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WalhiParid Ridwanuddin, karena masyarakat pesisir di seluruh Indonesia tidak membutuhkan PP tersebut.

Parid Ridwanuddin menyampaikan usulan tersebut dalam Diskusi Terfokus dan Terhimpun atau Focus Group Discussion (FGD) Kajian Urgen dan Cepat dengan tajuk “Mekanisme Peraturan Pemerintah 2023 No. 26 Tahun 2023 Tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut”, yang digelar Direktorat Pengkajian Ekonomi dan Sumber Kekayaan Alam, Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), 21 November 2023.

Lemhanas adalah lembaga yang menyelenggarakan pengkajian yang bersifat konsepsional dan strategis mengenai berbagai permasalahan nasional, regional, dan internasional yang diperlukan oleh Presiden, guna menjamin keutuhan dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Parid mengatakan dalam FGD itu, masyarakat pesisir tak butuh PP No. 26 Tahun 2023. Oleh karena itu Walhi mendesak regulasi ini segera dicabut dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Desakan pencabutan PP ini, menurut Parid, sejalan dengan rekomendasi yang telah disampaikan oleh Tim Percepatan Reformasi Hukum pada 23 September 2023 lalu.

Puluhan nelayan dari Desa Suka Damai Kecamatan Rupat Utara yang mayoritasnya Suku Akit melakukan aksi bentang spanduk untuk menyuarakan tuntutan penyelamatan Pulau Rupat dari ancaman tambang pasir laut, Senin, 12 Juni 2023. foto: Istimewa

Dalam dokumen yang berjudul Rekomendasi Agenda Prioritas Percepatan Reformasi Hukum, kata Parid, disebutkan salah satu langkah mendesak yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah membatalkan PP No. 26 Tahun 2023. PP ini, katanya, membuka kembali pintu ekspor pasir laut.

Penambangan dan ekspor pasir laut telah terbukti menyebabkan konflik dan memberikan dampak buruk terhadap SDA dan lingkungan hidup. Pemanfaatan sedimentasi hasil laut pernah dilarang lewat SK Menperindag No 117/MPP/Kep/2/2003 dengan alasan mencegah kerusakan lingkungan yang lebih luas (di antaranya tenggelamnya pulau-pulau kecil), khususnya di sekitar daerah terluar dari batas wilayah.

"Alasan lainnya yaitu belum diselesaikannya batas wilayah laut antara Indonesia dan Singapura, sehingga dikhawatirkan mempengaruhi batas wilayah antara kedua negara," kata Parid, Selasa (28/11/2023).

Ironisnya, masih kata Parid, rekomendasi Tim Percepatan Reformasi Hukum ini diabaikan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan. Pada 16 Oktober 2023 lalu, Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono, mengeluarkan aturan teknis, yaitu Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 33 Tahun 2023 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.

Sedimentasi laut adalah penambangan pasir laut

Parid juga menyoroti tentang istilah sedimentasi laut yang digunakan dalam PP No. 26 Tahun 2023 dan Peraturan Menteri (Permen) Kelautan dan Perikanan No. 33 Tahun 2023. Menurut Parid, istilah itu digunakan sebagai upaya untuk menyembunyikan tujuan sebenarnya dari regulasi ini.

Frasa Pengelolaan Sedimentasi Laut sebenarnya bermakna ‘Penambangan pasir laut’. Selain itu, penyebutan istilah sedimentasi laut yang diambil untuk memulihkan ekosistem dalam regulasi ini, pada dasarnya upaya pemutarbalikan tujuan sebenarnya, yakni pengambilan sedimen atau pasir laut untuk tujuan komersil.

Tak hanya itu, penggunaan kata pembersihan dalam regulasi tersebut terlihat sangat bermakna ramah lingkungan dan menjaga kesehatan laut. Tetapi sebenarnya hal itu bermakna pengambilan material pasir dengan cara keruk ataupun menggunakan kapal hisap skala besar.

“Dengan demikian, penggunaan sejumlah istilah yang terkesan ramah lingkungan, merupakan politik bahasa yang digunakan oleh Pemerintah untuk mengelabui pikiran masyarakat. Ini adalah upaya manipulasi biru (blue washing),” ujar Parid.

Walhi, katanya, juga menggarisbawahi dasar atau konsideran PP 26 Tahun 2023 yang hanya mencantumkan Pasal 5 UUD 1945 tentang kewenangan Presiden membuat PP, serta UU No. 32 Tahun 2014. “Hal ini menunjukkan bahwa PP ini tidak bertujuan untuk menjaga lingkungan, terutama di pesisir, laut, dan pulau kecil, karena beragam undang-undang yang mengatur khusus urusan itu (lex specialis) tidak dijadikan dasar hukum oleh Pemerintah,” ungkap Parid.

Lebih jauh, Parid menjelaskan bahwa biaya pemulihan lingkungan akibat pertambangan pasir laut jauh lebih besar dibandingkan dengan keuntungan ekonomi yang dihasilkan. Hasil kajian Walhi bersama dengan para ahli mengungkapkan, jika 1 meter kubik menghasilkan Rp1, maka biaya yang dibutuhkan untuk memulihkan lingkungan sebesar Rp5. Artinya, biaya pemulihan lingkungan hidup itu lebih besar lima kali lipat dari pendapatan.

Data ini disampaikan untuk membantah pemerintah Indonesia yang menargetkan peningkatan PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) dari sektor kelautan dan perikanan terutama mendorong eksploitasi sumber daya pesisir dan laut.

Sebagai contoh, jika digunakan asumsi harga per meter kubik sebesar SGD7,5, maka biaya yang diperlukan untuk pemulihan lingkungan akibat penambangan pasir sebanyak 344,8 juta meter kubik pasir laut sebesar SGD129,3 juta atau setara Rp1,507 triliun per tahun.

Dengan demikian, penambangan pasir laut hanya akan melanggengkan kerusakan di laut Indonesia, menghancurkan kehidupan lebih dari 8 juta rumah tangga perikanan tradisional, dan pemerintah Indonesia harus mengeluarkan dana pemulihan jauh lebih besar dari keuntungan yang didapatkan.

“Oleh karena itu, pencabutan PP No. 26 Tahun 2023 dan seluruh aturan di bawahnya adalah jalan terbaik bagi masa depan lautan Indonesia dan masa depan masyarakat pesisir, khususnya nelayan dan perempuan nelayan,” ucap Parid.