Ihwal Hancurnya Damai dalam Gulungan Revisi RTRW

Penulis : Aryo Bhawono

Hutan

Jumat, 18 Agustus 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Ingatan Fidelis Nyongka masih cukup tajam merekam polah bocah-bocah asal kampungnya di Desa Lambing, Kecamatan Muara Lawa, Kutai Barat, Kalimantan Timur bermain di Sungai Kedang Pahu. Mereka dengan bebas mencebur, berenang, hingga tak sengaja menenggak air sungai yang berwarna cokelat itu.

Namun kini siapapun bakal berpikir dua kali untuk menggunakan air sungai itu.

Sungai Kedang Pahu melintas di tiga kecamatan, yakni Damai, Muara Lawa, hingga Muara Pahu yang menjadi pertemuan dengan Sungai Mahakam. Aktivitas pertambangan di hulu sungai itu membuka hutan di kawasan tangkapan air hingga membuat air itu tak lagi bisa diminum dan bagi sebagian orang membuat kulit gatal-gatal.

“Sekarang kalau di Sungai Kedang Pahu hanya sebagian kecil yang masih mandi ke sungai, lebih banyak mandi dengan air sumur. Untuk kebutuhan minum dan konsumsi bahkan sudah tidak ada yang berani lagi,” katanya.

Kelestarian sungai terancam industri ekstraktif akibat revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Kalimantan Timur. (Dokumentasi Yayasan Auriga Nusantara)

Hilir sungai ini mengarah ke Desa Besiq, Kecamatan Damai. Sepanjang perjalanan sungai, anak-anak sungai mengasup air ke Kedang Pahu, seperti Beloan, Jelau, Lawa, Idan, Nyuwatan, Nyahing, dan Pirak. Sungai Lawa sendiri berada dekat dengan kampung Nyongka.

Ia menyebutkan seluruh kawasan tersebut tadinya dalam kondisi asri. Tutupan pohon dan populasi satwa masih melimpah.

Namun perusahaan tambang dan perkebunan sawit di tahun-tahun selepas 2010, membuka kawasan DAS dan sub DAS Kedang Pahu. Aktivitas ini memiliki berdampak besar terhadap Sungai Kedang Pahu.

Nyongka menyebutkan pada kawasan tersebut tersebar berbagai perusahaan tambang batu bara dan perkebunan sawit. Pada kawasan hulu Sungai Kedang Pahu di Desa Besiq, Kecamatan Damai misalnya terdapat PT Trubaindo Coal Mining (TCM).

Olah data Yayasan Auriga Nusantara menyebutkan dua kecamatan itu dibebani izin 14 tambang. Dengan luas di masing-masing kecamatan, 191 ribu hektar di Kecamatan Damai dan 46.296 ha di Kecamatan Muara Lawa.

Aktivitas perusahaan ini cukup berpengaruh terhadap Sungai Kedang Pahu. Laporan Teknis Survei Monitoring Pesut Mahakam dan Kualitas Air Periode Agustus 2018 Hingga Mei 2019 yang disusun oleh Yayasan Konservasi Rare Aquatic Species of Indonesia (YK RASI) menyebutkan habitat musiman Pesut di Sungai Kedang Pahu sangat mengkhawatirkan.

Uji kualitas air menunjukan konsentrat tinggi logam berat seperti kadmium (Cd) dan timbal (Pb) yang melampaui baku mutu hingga 23 kali dan merupakan kasus yang terparah.

Pencemaran logam berat sangat membahayakan kesehatan pesut dan manusia yang makan ikan dari sungai tersebut. Timbal dan kadmium biasanya terasosiasi dengan industri batu bara khusus. Logam berat tersebut juga tidak dapat terurai jadi akan tetap di dalam ekosistem dan rantai makanan.

Sedangkan polusi perkebunan kelapa sawit, sistem parit, dan sistem tanggul menghilangkan wilayah rawa yang penting untuk perkembangbiakan ikan juga sangat memperburuk kualitas air seperti ditemukan di Muara Pahu.

Tak ayal jika warga sudah tak lagi mengkonsumsi air Sungai Kedang Pahu. Dewan Daerah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kutai Barat, Innocentius Syukur, menyebutkan kondisi air ini menyebabkan warga harus membeli air untuk memenuhi kebutuhannya. (Baca juga: Usulan Revisi RTRW Kaltim Sarat Kepentingan Korporasi)

Harga air per tandon mencapai Rp 80 ribu dan air galon untuk minum mencapai Rp 10.000.

“Kalau Membuat sumur bor bahkan mencapai jutaan apalagi listrik tak begitu lancar mengalir, kan harus sedia genset juga,” ungkap Syukur.

Buruknya kondisi ini menjadi ironi. Pasalnya penurunan kualitas lingkungan terjadi secara drastis.

Akademisi Universitas Mulawarman, Yohanes Budi Sulistyoadi, mengungkap kondisi sebelumnya tutupan hutan dan kondisi biodiversitas di kawasan ini cukup baik dan kaya. “Melihat dari lokasi ketinggian dataran kawasan ini tadinya sangat kaya biodiversitas,” ujarnya.

Apalagi pada 2016 ditemukan badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) di Desa Besiq. Temuan ini dilanjutkan dengan proses evakuasi demi penyelamatan spesies. Namun sesaat lepas badak itu dibawa pergi industri ekstraktif terus membatat hutan bekas habitatnya.

Kerusakan Sungai Kedang Pahu ini dikhawatirkan bakan kian parah. Pembahasan revisi RTRW Provinsi Kalimantan Timur akan menurunkan status kawasan hutan lindung yang berada di dekat Desa Nyaribungan, Kecamatan Laham.

Buku Lokasi Usulan PerubahanPeruntukan dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Dalam Rangka RTRWP Kaltim menyebutkan nama hutan lindung ini adalah HL KH Sungai Ratah-Sungai Nyuatan-Sungai Lawa. Artinya, Sungai Lawa dan Sungai Nyuatan yang bermuara di Sungai Kedang Pahu jugaakan terdampak atas penurunan status kawasan ini.

Lebih lanjut buku itu menyebutkan dua lokasi penurunan status kawasan hutan lindung menjadi HPT dengan kode MU.15 seluas 80.774,33 ha dan MU.16 seluas 19.542,07 ha.

Analisis Auriga Nusantara mencatat hutan lindung itu telah dibebani lima izin usaha pertambangan seluas 56.396 ha. Perusahaan itu diantaranya PT Pari Coal seluas 23.287 ha, PT Ratah Coal seluas 21.465 ha, PT Maruwai Coal seluas 10.223 ha, PT Lahai Coal seluas 1.354 ha, dan Energy Persada Khatulistiwa seluas 65,7 ha.

Empat perusahaan diantaranya merupakan Grup Adaro, yakni PT Pari Coal, PT Ratah Coal, PT Maruwai Coal, dan PT Lahai Coal.

Kepala Divisi Komunikasi Perusahaan Adaro, Febriati Nadira, menyebutkan grup Adaro senantiasa patuh dan mentaati peraturan yang ditetapkan, termasuk terhadap adanya revisi perubahan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), karena revisi tersebut sepenuhnya merupakan kewenangan dari Pemerintah.

“Perusahaan mematuhi ketetapan pemerintah dalam mengelola cadangan sumber daya alam dengan terus memperhatikan kaidah dan peraturan pelestarian lingkungan serta konsisten menerapkan Good Mining Practices atau praktek pertambangan yang baik dan benar dalam menjalankan kegiatan operasionalnya,” ungkapnya dalam pernyataan tertulis kepada redaksi. 

Ambrolnya RUmah Satwa di Timur Borneo. Infografer: Robby